Penulis: DR Salman Faris
TGB memang istimewa. Super istimewa. Begitu sangat istimewanya, tak ada satupun jamaah yang berani bersuara terkait sikap politik TGB yang akhirnya secara terbuka memilih Dr. Zul dalam pemilihan gubernur NTB 2024.
Beruntung TGB menggunakan terma memilih, bukan terma mendukung. Karena kedua hal ini ialah sangat berbeda. Beruntung juga TGB hanya mengatakan memilih Dr. Zul bukan sekali Zul-Uhel. Karena Dr. Zul dan pak Uhel adalah diskurus yang jauh berbeda.
Ya, TGB memang super istimewa. Saya ingat, ketika beliau masih mulai berdakwah di Lombok, dalam suasana ketegangan antara Pancor dan Anjani yang sangat seru, ketika itu. TGB diterima dengan sangat terbuka dan dielukan sebagai manusia unggul, yang di pundaknya ada beban dan tanggung jawab untuk mengeluarkan jamaah dari kemelut yang begitu berisiko. Ketika itu, saya hanya menjadi pembawa acara (MC) dalam pengajian beliau. Satu kontra level sosial yang sangat jauh. Seperti gurauan teman, di NW kasta saya hanya tukang bawa sandal Tuan Guru. Namun hal ini saya tak panjang lebarkan dalam tulisan ini.
Sejak itu pula, TGB tak pernah bergeser dari posisi manusia istimewa dan unggul di kalangan jamaah. Karena itu, saya meyakini, pasti ada pertimbangan matang, sekurang-kurangnya dari perspektif TGB sendiri, kenapa akhirnya beliau menentukan pilihan secara terbuka di menit-menit akhir. Meskipun dalam video yang beredar, TGB menjelaskan alasan menentukan pilihan, tetapi sebagai sahabat, saya meyakini ada pertimbangan yang lebih jauh dan dalam lagi, yang hanya TGB yang tahu semua itu.
TGB memang super istimewa. Biar tak terlalu jauh. Agar segar dalam ingatan pembaca, belum dua tahun berlalu, TGB membawa gerbong jamaah untuk berpindah haluan politik ke Perindo. Dengan penjelasan yang sangat masuk akal, dari TGB, semua jamaah memberikan dukungan kepada pilihan politik tersebut. Meskipun memilih Perindo bagi jamaah ialah umpama menukar malam ke siang sebelum waktunya.
Sebagai bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada TGB, secara perlahan jamaah belajar melogikan langkah politik TGB tersebut. Jamaah secara perlahan juga merawat hati yang berat, berunding dengan nurani yang tertekan. Karena memang Perindo dengan jamaah begitu susah dinalar. Antara masyrik dengan maghrib. Jalan yang berat itu dilalui jamaah atas keyakinan kepada TGB bahwa tak mungkin mereka dijerumuskan oleh panutan utama.
Tidak hanya jamaah di bawah, jamaah yang waktu itu sedang di puncak semangat berjuang di partai Nasdem NTB pun segera berubah haluan seketika itu juga. Bahkan Ibu Rohmi yang menjadi ketua Nasdem NTB segera meletak jawatan dengan alasan mengarusutamakan kelaurga. Secara automatis, jajaran pengurus segera bubar jalan, termasuk Acip, selaku Sekjen Nasdem NTB, yang dikenal luas oleh jamaah sebagai orang yang paling dekat dengan TGB dalam urusan politik.
Maka, jamaah dengan cepat, setelah mereka dapat menalar hati nurani, bergerak memperjuangkan Perindo atas nama TGB. Bahkan, tidak hanya di NTB, semua pengurus wilayah NWDI yang ada di Indonesia, bergerak serentak berubah haluan menjadi Perindo. Meski mereka dicemooh oleh masyarakat lain, mereka menutup telinga.
Meskipun dikafirkan oleh mereka yang berhaluan kiri, jamaah tetap tutup mata tutup telinga. Bahkan ada seorang Habaib yang mengkritik keras pilihan politik TGB, langsung dipolisikan oleh jamaah. Semua dilakukan atas nama kesetiaan dan kepatuhan kepada TGB. Bahkan ketika baru-baru ini, TGB mengumumkan keluar dari Perindo, tak ada satu pun jamaah yang berani mempersoalkan secara terbuka.
TGB memang super istimewa. Bahkan tidak lama sebelum haluan angin politik itu terjadi, jamaah memberikan seluruh kesetiaan dan kepatuhan kepada TGB ketika akhirnya memutuskan berpisah dengan NW Anjani secara organisasi dengan mendaftarkan NWDI menjadi ormas. Hal ini bukan tidak ada guncangan.
Hinaan, cacian, cibiran dari jamaah sebelah, baik kepada TGB langsung maupun kepada jamaah sendiri bergulir dengan cepat dan kencang.
Bukan jamaah tidak merasa terguncang dengan hinaan tersebut. Mereka sangat terombang badai. Bahkan jika diturutkan rasa amarah terhadap hinaan dan cacian itu, pertumpahan darah berpeluang terjadi seperti di masa awal berpisah dulu. Namun, keyakinan jamaah teguh.
Atas nama kesetiaan dan kepatuhan kepada TGB, mereka harus menutup mata dan telinga. Mereka berjuang sangat keras melipur rasa marah dengan pesan-pesan moderasi TGB. Meskipun ada kesejukan terasa, tetapi sebagai manusia biasa, sekali waktu letupan emosi terpancing juga karena hinaan dan cacian tiada habisnya. Namun untuk ke sekian kalin, jamaah hanya berpayung kepada TGB. Ngiring TGB.
Dengan kata lain, kesetiaan dan kepatuhan jamaah NWDI kepada TGB sudah sangat teruji dan terbukti. Risiko tersingkir, terisolasi, terpinggirkan secara sosial merupakan perasaan yang sudah menjadi akar dalam diri jamaah.
Bahkan kalau ada penelitian tentang kadar kesetiaan jamaah paling tinggi terhadap tokoh panutan di antara semua ormas di Indonesia, bisa jadi, skor kesetiaan dan kepatuhan jamaah NWDI kepada TGB yang paling tinggi.
Namun adakah kesetiaan dan kepatuhan itu akan berdiri teguh saat ini? Ketika jamaah NWDI sedang mati-matian, tidak kenal siang dan malam, tidak mempedulikan risiko retak dengan sahabat dan keluarga, tidak peduli akhirnya menjadi miskin, tidak kenal lelah dan istirahat dengan penuh sukarela tanpa biaya memperjuangkan kemenangan Rohmi-Firin?
Memang agak susah dan rumit dijawab. Namun sebagai bahan renungan kepada semua jamaah dan pembaca, sebagai sahabat dari kasta paling rendah di NW/NWDI, saya ingin mengetengahkan beberapa peristiwa yang boleh dihubungkan dengan pertimbangan keputusan akhir sebagai pemilih.
Saya sangat paham, sekali lagi, jamaah tidak mungkin berani bersuara secara terbuka. Apalagi mengeskpresikan diri secara tidak wajar. Sebab memang etika moral itulah yang ditanamkan TGB selama ini. Santun dan santun. Lemah lembut dan lemah lembut. Jadi sekali lagi, meski berada di tengah persimpangan gelap dan nan curam sekalipun, jamaah hanya akan diam.
Begini, bagi mereka yang sudah mengaji langsung dengan Maulana, pasti dapat membedakan hakikat zurriyat pertama dan langsung. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah Ummi Rauhun dan Ummi Raihanun.
Mereka berdua adalah keturunan pertama dan langsung Maulana. Dalam konteks ini, beredar video di kalangan jamaah tentang dukungan langsung kepada Ibu Rohmi. Bahkan Ummi Rauhun tegas dan terang menginstruksikan jamaah untuk memenangkan Rohmi-Firin.
Sudah pasti, jamaah berada dalam dilema besar. Apakah akan taat kepada Ummi Rauhun atau kepada TGB? Mungkin hal ini yang agak terlepas dari pertimbangan TGB dalam menentukan pilihan di menit akhir (termasuk terlepas dari pertimbangan tentang potensi NWDI/NW semakin dicap bukan Sasak oleh para garis keras Sasak). Dilema besar jamaah.
Satu situasi yang telah dialami berpuluh-puluh tahun hingga tiada penghabisan. Namun mereka harus taat dan patuh dalam situasi apa pun.
Karena itu, meskipun saya bukan ahli fiqih, tetapi fiqih sederhana saya ialah, melanggar pilhan TGB dan instruksi Ummi Rauhun sama-sama berisiko salah. Namun jika diukur dari kedekatan darah langsung dengan Maulana, maka melanggar instruksi Ummi Rauhun berpeluang menjadi kesalahan yang lebih besar.
Karena itu, fiqih saya adalah menghindari kesalahan yang lebih besar jauh lebih selamat. Maknanya, siapa pun pilihan TGB, jamaah tetap setia dan patuh kepada instruksi Ummi Rauhun.
Dalam konteks sistem atau cara NWDI dan NW berorganisasi sama dengan NU. Bahwa pimpinan paling tinggi dalam organisasi disebut Rais ‘Am. TGB merupakan ketua umum Tanfidziyah NWDI yang kedudukannya masih di bawah Rais ‘Am yakni Bapak TGH. Muhammad Yusuf Mamun dalam periode 2022-2027.
Pada zaman Maulana, Rais ‘Am lebih banyak dipegang oleh beliau. Dan peran serta kedududkan beliau memang sejati Rais ‘Am. Penentu keputusan dan kebijakan organisasi. Tanfidziyah berada pada hakikatnya sebagai pengurus harian organisasi.
Dalam konteks ormas NWDI, juga tersebar video Rais ‘Am dan hampir semua pengurus dewan musytasyar NWDI mengunjungi kediaman Ummi Rauhun. Pada kesempatan tersebut dideklarasikan dukungan resmi kepada Rohmi-Firin.
Maka, jika menarik ketentuan organisasi, secara asasnya NWDI telah membuat dukungan secara resmi karena yang terjun langsung ialah Rais ‘Am.
Saya memahami keadaan dan kebatinan jamaah. Bahwa ketaatan dan kepatuhan ditumpukan kepada kepada TGB, meskipun secara organisasi beliau berada di bawah Rais ‘Am. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di era Maulana. Seperti yang saya katakan sebelumnya, Maulana menjadi pusat organisasi NW pada masa itu karena beliaulah Rais ‘Am.
Jadi, dalam hal ini pun jamaah benar-benar berada dalam situasi yang sangat sulit dan berat. Karena itu, fiqih saya dalam hal ini juga sederhana.
Dalam konteks berorganisasi, melanggar ketua umum Tanfidziyah dan menampik Rais ‘Am merupakan perkara makar organisasi. Melanggar AD/ART organisasi. Namun jika berpegang kepada hierarki yang juga diatur dalam AD/ART organisasi NWDI, melakukan makar kepada Rais ‘Am jauh besar kesalahannya dibandingkan kepada ketuan umum Tanfidziyah.
Jadi karena kedua-keduanya ialah salah, maka fiqih saya ialah jamaah wajib menghindari kesalahan yang lebih besar. Maksudnya, jamaah tetap mengikuti instruksi Rais ‘Am yang resmi mendukung Rohmi-Firin.
Sekali lagi, saya sangat paham dan merasakan gejolak dalam batin jamaah saat ini. Terutama mereka dari kasta paling bawah seperti saya ini. Namun pasti ada hikmah atas semua cobaan semacam ini.
Pertama, sekurangnya-kurangnya, ini kesempatan yang sangat baik untuk jamaah makin rasional dan jernih dalam memberikan kesetiaan dan kepatuhan. Jamaah perlu lebih jernih lagi dalam melihat batasan pelabuhan kesetiaan dan kepatuhan. Bahwa kesetian dan kepatuhan sejati hanya untuk Alloh SWT. Manusai tetaplah manusia. Makhluk Alloh SWT.
Kedua, ini juga kesempatan yang sangat baik untuk jamaah kembali merenungkan, mengintrospeksi, menelaah cara beroganisasi selama ini. Ini sangat penting karena jika benar cinta mati kepada organisasi NWDI, maka sepatutnya AD/ART organisasi dijalankan secara benar. Rais ‘Am paling tinggi, maka sepatutnya ditinggikan.
Meskipun kesetiaan dan kepatuhan kepada TGB terus dipertahankan, namun itu tidak boleh mengubah kepahaman dan tata cara jamaah berorganisasi bahwa Rais ‘Am ialah pimpinan organisasi paling tinggi.
Ketiga, ini kesempatan yang sangat baik untuk merenung tentang kebergantungan jamaah keapada TGB. Ini bukan sesuatu yang keliru, sangat bagus. Namun jangan sampai jamaah juga menutup hati dan telinga tentang pemikiran TGB yang terbuka dalam berogranisasi. TGB sangat menginginkan NWD dan jamaah mandiri, terus berkembang. Sebagai sahabat dari kelas paling bawah, saya merasa TGB juga khawatir dengan kondisi di mana semua hal selalu digantungkan kepadanya. Karena itu, ini kesempatan yang sangat baik untuk semua merenung dalam menjemput hikmah yang baik dalam situasi ini.
Bagaimana caranya? Jamaah mandiri. Jamaah berdikari. Berjuang di kaki sendiri. Tanpa dipilih TGB, jamaah bisa memenangkan Rohmi-Firin.
Saya yakin, jika perjuangan jamaah berhasil memenangkan Rohmi-Firin tanpa TGB, beliau pasti bahagia dan bangga. Karena bisa jadi itulah salah satu tujuan TGB. Jamaah mandiri. Jamaah menang dengan tangan sendiri.
Jangan berpikir dulu tentang makna yang lain, meskipun ada ribuan yang tersirat di balik sikap politik TGB tersebut.
Malaysia, 24 November 2024
Dr Salman Faris adalah Akademisi dan Pemerhati Sosial Politik,Seni Budaya dan Media. Tinggal di Kuala Lumpur Malaysia.