AMBIVALENSI KESASAKAN (Refleksi Pahlawan Nasional dari Sasak

Dalam banyak catatan penulis luar, sebut saja Wallace, Bartholomew, Ecklund, David Harnish hingga Kraan, terdapat kesamaan pandangan mereka tentang watak orang Sasak. Sangat terbuka, pandai melayani tamu, hidup dan berperilaku sederhana, taat beragama, setia kepada pemimpin, dan pekerja yang kuat, rajin, dan ulet. Secara garis lurus, watak yang digambarkan ini merupakan syarat dasar pembangunan peradaban gemilang bagi sebuah bangsa. Bangsa besar di dunia, secara umumnya mempunyai watak seperti yang disebutkan itu.

Namun di balik watak tersebut, dalam keseluruhan sejarah perjalanan orang Sasak, dapat dikatakan yang mereka tak pernah benar-benar sampai ke puncak kejayaan. Tidak dijumpai catatan yang menerangkan bahwa orang Sasak pernah menjadi penguasa penuh di tanah mereka sendiri. Kembali kepada catatan etnografi beberapa penulis luar di atas, pun ada kemiripan yang menggambarkan bagaimana orang Sasak berada dalam penjajahan.

Jika menilik secara lengkap, maka dapat dijumpai, sebab internal dan eksternal sebagai faktor situasi, di mana orang Sasak, di tengah-tengah watak yang sudah digambarkan itu, mereka kebanyakan berada sebagai warga kelas kedua bahkan kelas paling bawah setelah penjajah. Dalam konteks kekinian sebagai kelas paling bawah setelah turis. Derajat paling rendah setelah orang kaya dari luar.

Berpijak pada realitas yang dapat diamati hingga kini dan diperkuat oleh catatan penulis luar tersebut, orang Sasak tak pernah henti-hentinya berada di tengah konflik sosial dan psikologis internal. Orang Sasak yang sangat mudah diadudomba. Orang sasak yang amat mudah memerangi sesama bangsa sendiri. Itulah sebabnya, faktor luar tidak dilihat sebagai pemicu utama keterbelakangan orang Sasak. Jika pun orang luar, secara ilmu pengetahuan dan teknologi selangkah lebih maju dibandingkan orang Sasak, kemajuan yang lebih tersebut bukan syarat utama bagi mereka untuk dapat menjajah orang Sasak. Syarat utama ialah kelemahan sistem sosial dan kontrol watak orang Sasak itu sendiri. Amat mudah berperang sesama sendiri. Menjunjung orang luar sepenuh tinggi. Merendahkan sesama Sasak serendah tapak kaki.

Situasi tersebut di atas, kemudian digunakan secara cerdik oleh penjajah untuk semakin membenamkan orang Sasak. Penjajah menciptakan kelas sosial dan ekonomi yang kentara. Ada orang Sasak yang diberikan peluang menjadi elite dan dalam masa yang sama, orang Sasak yang lain dikucilkan. Situasi ini menambah watak permusuhan sesama itu semakin membara.

Seperti yang dinyatakan di atas, sebagai bangsa besar yang mempunyai watak rajin, ulet dan pekerja keras, sejatinya masih tergambar hingga sekarang. Bahkan ke belakangan ini, gaung kesasakan itu menjadi kembang telinga. Orang Sasak begitu giat menyemburkan semangat kesasakan ini. Semangat itu ditunjukkan secara politis, kultural maupun melalui perkumpulan.

Dalam ranah politik, setiap pesta demokrasi pemilihan gubernur NTB, misalnya, orang Sasak tak habis-habis membakar semangat agar gubernur ialah orang Sasak. Orang Sasak ialah kemestian. Tidak sampai di situ, ke belakang ini cukup beragam dan banyak bermunculan perkumpulan (boleh dibaca ormas) didirikan oleh orang Sasak cerdik pandai. Bahkan di antara mereka ada yang sudah mapan secara ekonomi dan jabatan, berkumpul dalam beberapa wadah dengan arah perahu yang sama: Kesasakan.

BACA JUGA:  Diterima Presiden, Warga Papua Sampaikan Aspirasi Pemekaran Wilayah

Kesadaran kesasakan terus dibangkitkan, dikuatkan, digerakkan agar Sasak dapat menjadi penguasa di tanah mereka sendiri. Agar orang Sasak mempunyai kehormatan yang memadai di tengah bangsa lain. Bahkan agar orang Sasak diakui secara politik di tingkat nasional, dengan dilantiknya orang Sasak menjadi menteri, misalnya. Namun pertanyaan dasarnya ialah sama dari zaman ke zaman. Apakah orang Sasak dapat mencapai puncak yang mereka tuju?

Tentu saja, jika merujuk kepada catatan sejarah mereka sebagai bangsa, jawabannya ialah amat susah untuk mencapai tujuan puncak tersebut. Kenapa? Karena masalah orang Sasak ialah sama juga dari zaman ke zaman. Amat mudah memusuhi sesama mereka sendiri. Permusuhan yang dilandaskan kepada yang itu-itu juga, yakni terlalu mengistimewakan kampung, keluarga, dan kelompok sendiri. Unlimited fanatik dan fetis kepada kampung, keluarga, dan kelompok.

Pengistimewaan yang menggila itu, sejatinya bukan watak genuin orang Sasak. Karena jika merujuk kepada asal-usul mereka, orang Sasak yang terbuka dan egaliter, maka dapat dikatakan, kegilaan kepada keistimewaan kampung, keluarga, dan kelompok itu merupakan buah dari gerakan politik pembelahan bambu oleh penjajah (dahulu dan kini masih sama saja). Namun sayangnya, malahan watak itu yang sangat menonjol pada diri orang Sasak hinga kini, di tengah bertaburnya orang Sasak yang sudah cerdik pandai, cendekia Sasak yang sudah menjamur dan orang Sasak yang sebagian dari mereka mapan secara politik dan jabatan.

Nah, di situlah salah satu warna ambivalensi kesasakan benar-benar terasa. Sebagai satu contoh, jika orang luar Sasak, sebut saja turis ditanyai pandangan mereka tentang orang Sasak, jawaban mereka secara umum sama dengan penulis luar yang disebutkan di atas. Orang Sasak yang baik, terbuka, pandai melayani tamu, sederhana, taat beragama dan watak menyenangkan lainnya. Namun pada saat bersamaan, orang luar pun akan mengernyitkan dahi dengan realitas lain di balik semua itu. Orang Sasak mudah menyerang sesama. Mudah berperang antarsesama. Amat mudah membunuh orang. Sangat susah menyatu dalam berbeda. Amat mudah terpancing kemarahan oleh sentimen kampung, keluarga, dan kelompok.

BACA JUGA:  Tinjau Lokasi Banjir, Bang Zul Instruksikan Segera Perbaiki Tanggul Sungai Ranjok Gunungsari

Orang Sasak mempunyai kesabaran yang tinggi tentang diri mereka sendiri secara personal. Itulah sebabnya orang Sasak dikenal juga sebagai individu yang kuat dalam arus zaman. Sebagai contoh, ratusan tahun dalam penistaan Hindu Karangasem Bali, orang Sasak tetap sebagai pemeluk Islam yang taat. Namun di tengah-tengah kekuatan sebagai individu itu, jangan sekali-sekali menyinggung kampung, keluarga, dan kelompok mereka. Cerita pasti lain. Dengan mudah kebencian dan darah bertumpahan.

Kembali ke pertanyaan dasar yang sudah disinggung di atas. Apakah orang Sasak dapat mencapai puncak tujuan mereka? Jika watak ambivalen ini tak dapat dimusnahkan oleh orang Sasak, maka puncak tujuan itu akan selalu menjadi sebatas mimpi. Sehebat apa pun orang Sasak sebagai individu, mereka akan hancur juga sebagai kelompok.

Seperti yang sudah diketahui bahwa untuk mencapai tujuan puncak, banyak cara dan banyak falsafah yang diperlukan oleh suatu bangsa. Sebut saja, setiap bangsa memerlukan pemersatu di tengah severalitas mereka. Baik pemersatu dalam ideologi, pandangan, pergerakan, maupun pemersatu yang wujud dalam figur atau tokoh.

Secara khusus, untuk keperluan yang terakhir itulah, orang Sasak hingga kini tak pernah mempunyai solusi. Sekali lagi sebabnya ialah watak penghambaan kepada kampung, keluarga, dan kelompok. Padahal orang Sasak mutlak memerlukan tokoh pemersatu sebagai pusat panduan semangat tujuan mereka sampai di puncak. Pada diri tokoh pemersatu, orang Sasak tidak dituntut untuk menjadi sama. Namun di balik perbedaan pandangan, misalnya, mereka dapat disatukan oleh tokoh tertentu. Itulah yang amat diperlukan.

Taruhlah sebagai misal, dalam konteks bulan pahlawan ini, sudah jelas ada seorang dari orang Sasak yang dikukuhkan sebagai pahlawan nasional (Hamzanwadi). logikanya, sebagai bangsa yang tak ada habis-habisnya berjuang untuk mencapai puncak, tujuan orang Sasak tersebut dapat disatukan oleh sang pahlawan nasional tanpa mereka menjadi sama. Sepatutnya Hamzanwadi sebagai pahlawan nasional ialah momentun, ialah arus balik kesasakan yang lebih matang dalam menjadi orang Sasak. Semestinya orang Sasak yang banyak jenisnya itu, membangun kesadaran yang sama berdasarkan tokoh pahlawan nasional yang lahir dari bangsa mereka sendiri.

Orang Sasak yang sudah matang menjadikan Hamzanwadi sebagai simbol pengakuan nasional terhadap Sasak sebagai bangsa. Satu simbol bagaimana Indonesia memberikan ruang bagi orang Sasak berkipah secara lebih luas lagi di level tertinggi. Titik kesadaran kesatuan kesasakan mutlak diperlukan namun di samping itu, mesti ada arus dan arus itu ialah pengakuan nasional terhadap orang Sasak melalui pahlawan nasional Hamzanwadi. Namun apa lacur, malahan banyak orang Sasak sendiri menilai Hamzanwadi memang pahlawan nasional dari orang Sasak, tapi hanya mewakili keluarga, kampung, dan kelompok tertentu saja. Lebih lacur lagi karena penilaian semacam itu pun, beberapa tumbuh dari kalangan cerdik pandai cendekia Sasak.

BACA JUGA:  NTB Masuk 8 Besar Nasional Pasien Positif Covid 19

Kenapa penyatuan kesadaran itu menjadi penting? Karena orang Sasak mempunyai tujuan. Dan tujuan tersebut mereka perjuangkan secara habis-habisan sepanjang zaman. Kecuali kalau orang Sasak mau terjajah terus, ya, wacana tentang penyatuan kesadaran melalui tokoh pahlawan nasional tidak perlu ditaburkan. Karena itu, perlu mempertanyakan satu soalan. Apakah penyatuan kesadaran orang Sasak di bawah tokoh pahlawan nasional dari orang Sasak sudah terbangun?

awabnnya, tidak. Atau sekurang-kurangnya belum. Atau yang paling miris, boleh jadi ialah tidak akan terjadi. Mari kita lihat realitasnya. Hingga kini, pahlawan nasional dari orang Sasak sendiri, masih terkesan hanya milik kampung, keluarga, dan kelompok orang Sasak tertentu saja. Karena merasa pahlawan tersebut bukan dari keluarga sendiri, maka orang Sasak yang lain masih merasa tidak perlu berpayung sebagai bangsa Sasak pada pahlawan nasional dari orang Sasak tersebut. Dengan begitu, orang Sasak malahan lebih memilih pahlawan nasional dari bangsa lain sebagai arus utama.

Begitulah rupanya orang Sasak. Pisang goreng dari luar dihormati melebihi nilai kentucky, sedangkan pisang goreng Dasang Agung yang sedapnya minta ampun itu, hanya dipandang sebagai simbol kelas rendah semata. Maka kita dapat melihat ambivalensi kesasakan dengan seterang-terangnya. Di tengah makin banyaknya kelompok ormas yang berbasis Sasak menggaungkan kesasakan bangkit hingga ke pelosok Indonesia, mereka masih belum tercetus kesadaran kolektif untuk membuat gerakan perjuangan Sasak dengan simbol tokoh pahlawan nasional dari kalangan bangsa mereka sendiri.

Maka nampaklah, orang Sasak yang mempunyai daya juang tinggi mencapai puncak yang tinggi, namun pijakan kaki di bumi sendiri selalu dikeroposkan oleh mereka sendiri juga. Mereka bermimpi tentang Sasak yang tinggi, namun orang Sasak hebat yang bukan dari kampung, keluarga, dan kelompok mereka diketepikan sesuka hati.

Begitulah ambivalensi kesasakan itu. Bertujuan dan berjuang besar namun gagal merawat watak sendiri di rumah diri sendiri. Bermimpi Sasak satu namun hati masih dibakar cemburu sesama. Bermimpi Sasak gubernur namun banyak Sasak bertarung untuk satu orang gubernur.

Eakm kembekn terus?

Malaysia, 4 November 2022
(Menyambut Hari Pahlawan Nasional dari Bangsa Sasak)