Ada Apa My Mates Place Ditutup Paksa Warga Gili Trawangan? Inilah Kronologis Peristiwanya!

Penutupan My Mates Place dengan memasang banner di pintu masuk hostel oleh pemilik lahan H. Suriamin bersama warga Gili Trawangan, pada Jumat (30/5/2025).

Hostel My Mates Place, yang selama ini menjadi magnet para backpacker, kini tersegel rapat. Bukan karena sepinya wisatawan atau masalah keuangan, melainkan akibat konflik sengit soal sewa lahan yang memicu kemarahan warga lokal dan membuka luka lama terkait hak atas tanah di pulau ini.


Pusat konflik ini adalah H Suriamin, tokoh masyarakat sekaligus pemilik lahan, yang menyewakan tanahnya kepada Brendan Edward Muir, pengelola My Mates Place, melalui perjanjian yang ditandatangani pada 27 Mei 2015.

Kesepakatan selama 20 tahun itu mengharuskan pembayaran bertahap: 2,5 tahun pertama, 2,5 tahun berikutnya, dan sisanya setiap lima tahun di awal periode. Namun, setelah satu dekade, Brendan hanya membayar tujuh tahun sewa, meninggalkan tunggakan tiga tahun, menurut Suriamin.

Meski telah diperingatkan berulang kali, baik secara langsung maupun melalui kuasa hukum, Brendan disebut mengabaikan kewajibannya.

H. Suriamin (dua dari kiri), didampingi Kuasa Hukumnya Padil,SS.,SH.,MH (kiri) dan David Pakuba Tana,SH (kanan), serta Tokoh Masyarakat H. Rukding (dua dari kanan), saat menutup hostel My Mates Place, pada Jumat (30/5/2025).


“Sisa pembayaran sewa lahan belum dilunasi Brendan sampai lewat batas waktu yang ditentukan sesuai perjanjian. Bahkan bukannya mau beritikad menyelesaikan tanggungjawab, tapi malah melakukan hal konyol dengan melaporkan saya ke polisi, padahal dia (Brendan) datang ke tempat saya minta keringanan dan saya kasi keringan untuk membayar dengan cara dicicil. Pada akhirnya bukan hanya saya yang kecewa tapi semua warga Gili Trawangan ikut geram dengan prilakunya yang tidak mau kooperatif,” ujar Suriamin, yang juga dikenal sebagai tokoh masyarakat berpengaruh bagi Warga Gili Trawangan.

BACA JUGA:  29 Pengendara Motor Dapat "Surat Cinta" dari Polisi
: Pemilik lahan, H. Suriamin (kiri), didampingi aparat pemerintah desa atau Ketua BPD (kanan) saat mendatangi hostel untuk memberikan peringatan kepada Brendan jika tidak membayar sisa sewa, hostel akan ditutup, ditemui para staff Brendan, pada 18 April 2025 lalu.


Konflik memanas ketika Brendan, alih-alih menyelesaikan masalah, justru melaporkan Suriamin ke polisi dengan tuduhan ancaman dan kekerasan—langkah yang dianggap warga sebagai upaya menghindar dari tanggung jawab. Upaya mediasi berulang kali gagal karena Brendan tak pernah hadir.

Stafnya menyampaikan pesan bahwa ia hanya bersedia membayar ke pemerintah daerah, sesuai arahan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB).

“Brendan hanya mau membayar ke pemerintah daerah, sesuai dengan arahan Pemprov NTB,” kata staf Brendan dalam pertemuan pada 30 Mei 2025, di hadapan Suriamin dan tim kuasa hukumnya. Namun, pernyataan ini dibantah keras oleh kuasa hukum Suriamin, Padil, SS., SH., MH, sebagai alasan semata.

BACA JUGA:  Polresta Mataram Kalah Praperadilan, Status Tersangka Dibatalkan, Nyonya Lusi Murka di Pengadilan


“Kita tidak ada klaim mengklaim dengan masyarakat lain ataupun pihak lain, melainkan ini hanya kita meminta Brendan untuk memenuhi prestasinya berdasarkan perjanjian sewa menyewa antara H Suriamin dengan Brendan,” tegas Padil.

Ia menjelaskan bahwa dari 10 tahun Brendan menempati lahan, hanya tujuh tahun yang dibayar, dengan tunggakan tiga tahun masih menggantung.

Tim Kuasa Hukum H Suriamin Padil,SS.,SH.,MH dan David Pakabu Tana,SH serta Tokoh Masyarakat H. Rukding (Wak Rukding) saat adu mulut dengan staf Brendan


Kekecewaan memuncak hingga warga, dipimpin Suriamin dan didukung tokoh adat seperti Rais Purwadi, memutuskan menutup hostel tersebut.

Penutupan ini bukan sekadar soal tunggakan sewa, melainkan juga mencerminkan keresahan yang lebih besar. Warga Gili Trawangan merasa dizalimi oleh klaim Pemprov NTB atas lahan eks GTI, yang mereka anggap mengabaikan perjuangan puluhan tahun membangun pulau ini menjadi destinasi wisata dunia.


“Kami sudah sering di perlakukan tidak adil. Digusur berulang kali. Disaat kami berjuang membangun kampung halaman kami kemana pemerintah. Sekarang sudah berhasil kami bangun, dengan seenaknya saja mengaku miliknya. Mana yang disebut pemerintah. Mana pemerintah yang membela rakyatnya,” ungkap H Rukding, tokoh senior yang masih lantang menyuarakan aspirasi warga.

BACA JUGA:  Atika Putus Asa, Rela Tidak Terima Gaji Asal Dipulangkan dari Suriah?
H. Rukding, tokoh disegani masyarakat Gili Trawangan


Tim kuasa hukum Suriamin, termasuk David Pakabu Tana, SH, mengaku mendapat dukungan dari Pemprov NTB untuk menindak penyewa yang bermasalah. “Saya sudah telepon Pemprov NTB, bagian hukum dan UPTD Gili Tramena mendukung klien kami untuk menindak tegas Brendan,” tegas David.

Namun, penutupan hostel tak berlangsung mulus. Adu mulut sempat terjadi ketika staf Brendan bersikukuh bahwa Pemprov NTB melarang pembayaran ke warga, klaim yang kembali ditepis Padil sebagai dalih.


“Kita tidak ada klaim mengklaim dengan masyarakat lain ataupun pihak lain. Kita hanya konsen pada perjannjian kita yang tidak dibayar oleh Brendan. Kalaupun ada alasan dilarang membayar oleh Pemda, itu kan hanya alasan dia saja,” tandas Padil. ***