Politisi Senior NTB Ini Kritisi ‘Koalisi Kekal’ yang Diwacanakan Presiden Prabowo

Sorotan tajam bahkan dilontarkan Politisi senior NTB Ali Bin Dahlan yang menganggap wacana Presiden kedelapan Indonesia itu sebagai sesuatu yang sangat menarik.

“ Presiden Prabowo ajak partai partai gado gado,membangun koalisi pemerintahan yang permanen.Sungguh sangat menarik membaca istilah koalisi permanen dalam politik kekuasaan di Indonesia,”tulis Ali Bin Dahlan dalam status terbaru di akun facebooknya, Minggu (16/2).

Di usianya yang telah lebih dari 75 tahun, Ali tetap menunjukkan ketajaman berpikir dan kekritisannya yang tak lekang oleh waktu.

BACA JUGA:  PBNU : Bila Terdaftar Jadi Tim Kampanye Pilpres, Khofifah Agar Mundur Jadi Ketum PP Muslimat NU

Ali menyoroti bahwa koalisi yang dibangun Prabowo dengan melibatkan partai-partai yang sebelumnya berseberangan secara ideologi dan garis perjuangan, sejatinya hanya “kabinet gado-gado”.

Istilah ini, katanya, merujuk pada praktik lama di Indonesia di mana partai-partai yang bersuara lantang dan garang tiba-tiba berubah menjadi pendukung setia begitu diberikan jabatan menteri.

“Mereka yang sebelumnya vokal menentang, tiba-tiba menjadi influencer lembut dalam jabatannya yang baru,”*ujar Ali dengan nada sinis.

Koalisi permanen, menurut Ali, hanya bisa bertahan selama kepentingan masing-masing partai terakomodasi. Namun, beberapa bulan sebelum akhir masa jabatan, koalisi ini akan mulai goyah karena partai-partai sibuk menyusun strategi untuk pemilu berikutnya.

BACA JUGA:  AD ART Rampung, Segera Diumumkan Pengurus Pusat IKA SMANSABAYA 2022-2026

“Koalisi permanen hanyalah ilusi sementara yang akan runtuh ketika kepentingan jangka pendek sudah terpenuhi,” tegasnya.

Ali juga mengkritik sistem ketatanegaraan Indonesia yang seharusnya tidak memerlukan koalisi besar-besaran. Dalam sistem presidensial, partai pemenang pemilu seharusnya bisa membentuk kabinet tanpa harus melibatkan partai-partai lawan yang sudah kalah.

“Parlemen tidak bisa menjatuhkan presiden, apalagi jika koalisinya sudah sangat besar. Jadi, koalisi permanen ini lebih mencerminkan ketakutan berlebihan daripada kebutuhan nyata,” paparnya.

Mengacu pada era Presiden SBY (2009-2014), Ali mencontohkan bahwa kabinet saat itu didominasi oleh profesional dan teknokrat, bukan kader partai.

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan yang efektif tidak selalu membutuhkan koalisi besar yang sarat dengan kepentingan partai.

BACA JUGA:  Megawati Lestari : Potensi Santriwati di NTB Luar Biasa Harus Diberi Wadah dan Kesempatan Berekspresi

Ali Bin Dahlan menyimpulkan bahwa istilah “koalisi permanen” hanyalah terminologi dangkal yang digunakan untuk menutupi realitas politik yang sebenarnya: sebuah koalisi artifisial yang dibangun atas dasar kepentingan sementara. “Koalisi permanen hanya akan bertahan selama lima tahun, tapi itu pun sifatnya artifisial. Setiap partai punya agenda tersembunyi yang tidak diungkapkan,”* tandas mantan Bupati Lombok Timur dua periode ini.

Dengan analisis yang tajam ini, Ali mengajak publik untuk lebih kritis dalam melihat dinamika politik kekuasaan di Indonesia, terutama dalam menghadapi era pemerintahan Prabowo yang mengusung konsep koalisi permanen. (editorMRC)