MATARAMRADIO.COM – Penangkapan penyanyi muda Parastoo Ahmadi di Iran telah menimbulkan gelombang perhatian internasional. Penyanyi berusia 27 tahun tersebut ditahan pada Sabtu, 14 Desember, di kota Sari, ibu kota Provinsi Mazandaran, setelah mengunggah konser virtualnya di YouTube. Dalam video tersebut, Parastoo tampil tanpa hijab, melanggar aturan berpakaian ketat di negara itu.
Video yang diunggah pada 11 Desember menunjukkan Parastoo mengenakan gaun hitam tanpa lengan dan membiarkan rambutnya terlihat. Ia tampil bersama empat musisi pria, menyampaikan pesan emosional tentang cinta terhadap tanah air dan seni musiknya. Konser ini telah ditonton lebih dari 1,6 juta kali, memperlihatkan daya tariknya di kalangan audiens global.
Pesan Emosional di Balik Penampilan Parastoo
Dalam deskripsi video, Parastoo menulis, “Saya Parastoo, seorang gadis yang ingin bernyanyi untuk orang-orang yang saya cintai. Ini adalah hak yang tidak dapat saya abaikan.” Kata-katanya menggemakan rasa frustasi terhadap pembatasan yang dihadapi perempuan seniman di Iran.
Sejak revolusi Islam 1979, hukum Iran mengharuskan perempuan mengenakan hijab di tempat umum sebagai bagian dari keyakinan agama. Namun, aturan ini sering dianggap sebagai pembatasan kebebasan pribadi, terutama oleh generasi muda yang menginginkan reformasi.
Band dan Pengacara Juga Kena Dampak
Tidak hanya Parastoo, dua anggota band-nya, Soheil Faghih Nasiri dan Ehsan Beiraghdar, juga ditangkap di Teheran. Pengacara Parastoo, Milad Panahipour, menyatakan bahwa hingga kini pihaknya belum mengetahui tuduhan resmi atau lokasi penahanan mereka. “Kami akan menindaklanjuti kasus ini melalui jalur hukum,” tegasnya kepada Associated Press (AP).
Penangkapan ini menambah daftar panjang kasus serupa di mana seniman, musisi, dan aktivis ditangkap karena diduga melanggar aturan ketat negara.
Protes dan Konteks yang Lebih Luas
Penangkapan Parastoo mengingatkan pada kasus Mahsa Amini pada 2022, yang memicu protes besar di seluruh negeri. Mahsa, seorang wanita muda, meninggal dalam tahanan polisi moral setelah ditangkap karena dugaan pelanggaran aturan hijab. Insiden ini membangkitkan perlawanan terhadap undang-undang diskriminatif dan memperkuat tuntutan akan kebebasan berekspresi.
Para kritikus internasional terus menekan pemerintah Iran atas pembatasan kebebasan budaya dan hak asasi manusia. Penangkapan Parastoo kini menjadi simbol baru perlawanan terhadap aturan ketat negara tersebut.
Profil Parastoo Ahmadi
Parastoo lahir di Nowshahr, Iran, pada 1997. Ia adalah lulusan jurusan penyutradaraan dari Universitas Sooreh. Sejak muda, ia dikenal piawai bermain piano dan membawakan lagu-lagu cover yang diunggah di Instagram. Keberaniannya untuk tampil di YouTube tanpa hijab mencerminkan semangat generasi muda Iran yang ingin mengekspresikan diri secara bebas.
Reaksi Publik dan Media Internasional
Reaksi publik terhadap penangkapan Parastoo sangat beragam. Para pendukungnya menganggap penampilannya sebagai bentuk kebebasan berekspresi yang sah. Di sisi lain, kelompok konservatif menyebut tindakannya melanggar norma agama dan budaya.
Media internasional juga menyoroti peristiwa ini sebagai bukti tekanan yang dihadapi perempuan dan seniman di Iran. Amnesty International dan berbagai organisasi HAM telah menyerukan pembebasan Parastoo dan anggota band-nya.
Kebebasan Seni di Tengah Aturan Ketat
Kasus Parastoo menyoroti perbedaan pandangan tentang kebebasan seni di Iran. Banyak seniman yang merasa terbatas oleh regulasi pemerintah, terutama perempuan. Musik dan seni, yang seharusnya menjadi media universal untuk menyatukan orang, justru menjadi medan konflik antara kebebasan individu dan otoritas negara.
Meskipun berada di bawah ancaman, generasi muda Iran terus mencari cara untuk mengekspresikan diri, baik melalui media sosial maupun platform global lainnya.
Apa Selanjutnya?
Penangkapan Parastoo Ahmadi memicu pertanyaan mendalam tentang masa depan kebebasan berekspresi di Iran. Dengan perhatian internasional yang terus meningkat, banyak pihak berharap pemerintah akan mempertimbangkan reformasi yang lebih inklusif.
Namun, langkah ini tidak mudah di negara dengan aturan yang begitu ketat. Sementara itu, suara Parastoo dan musisinya tetap menggema, menjadi simbol perjuangan untuk kebebasan dan perubahan.
Kasus Parastoo Ahmadi mencerminkan ketegangan yang terus berlangsung di Iran antara tradisi dan modernitas, antara kebebasan pribadi dan kontrol negara. Di tengah situasi ini, semangat para seniman muda seperti Parastoo terus memberikan harapan akan masa depan yang lebih terbuka dan inklusif. (editorMRC)