BUKAN MILIK KITA : Kepada Mereka yang Dikalahkan

Tentang bandara
Inak Tanak Awu berkata

“apa yang kita dapat dari bandara itu
hanya mendongak pesawat
kalau tak ada uang
memandang dari jauh
di luar pagar gubuk miskin berperigi
di dalam sana
orang necis riang gembira”

Inak Tanak Awu tak bodoh
ia hanya tidak tahu

ia masih berpikir masa lalu
membayangkan kerbau
sapi dan piaraan lain
menguning padi
di hamparan sawah nan luas

bahkan membuang tinja di situ
sambil membasuh pipis sekadar saja
telanjang kaki
sekaligus dada terbuka
menghadap alam
sawah menua

bandara itu bukan milik kita
ia hanya di depan rumah
tepat di kampung Awu lama
namun semuanya bukan hak kita

duhai Inak Tanak Awu
kehilangan tanah
kejikan leluhur
melelang tanah
nenek moyang ditumpah nista

namun begitulah
lawan siapa melawan apa
jika tulang hanya beraga
tak kan jadi menang dibawa mati

maka lihatlah
aduhai Inak Tanak Awu
sebab mata tak mungkin menepi
nak lari di tanah ini jua
luka menanti

maka tengoklah
kencing dan bertinja di bandara itu
kini berbayar
orang necis itu
sekadar berludah
apalagi kongko di cafe nan sejuk
lembaran duit mesti keluar

“membayar kepada siapa?”

tanya Inak Tanak Awu

kepada pemilik bandara
bukan kepada kita
tidak juga untuk anak cucu kita

BACA JUGA:  NTB Boyong banyak Juara pada IKADI 2023

tanah yang berpagar itu
bukan lagi milik kita
diapakan saja oleh yang punya
kita tak boleh bercakap
melirik sinis
menjadi gangguan bagi yang punya

jangankan mengubah nama
mengganti papan tanda
yang empunya
berhak segala
kita tak bisa berbuat apa
selain melihat
mengelus dada sekali saja

duhai Inak Tanak Awu
kita tak boleh mengatakan

ini tanah leluhur
nenek moyang berpeluh dan berdarah di tanah ini

seharusnya kita malu
bangga dengan milik orang

semestinya malu dirasa
miskin bertetangga si empunya bandara

pekik ini aku
sudah tak bermutu
kita sudah tak bermahkota

jadi jangan lagi teriak inilah aku
berhenti jeritkan kita
menepuk dada
sembari bangga
sungguh hanya meninggikan malu

bandara itu bukan kita yang punya
bukan

kuburkan leluhur itu
semayamkan nenek moyang
semua jadi tak berguna
jika masa depan sudah tak ada

sebab kita memang sudah tak punya apa

karena tanah itu telah kita jual
maka matilah leluhur
lenyaplah nenek moyang

segala masa musnahlah sudah
di masa nanti
yang pasti diri kita belum pasti
yang punya bandara sudah pasti makin bertaji

tentang Sirkuit Mandalika
Amak Kute merintih tajam

“apa yang kita dapat
mendengar suara mesin bising
meraung-raung
di lintasan seolah tiada kuburan
melihat jingkrak ribuan manusia
di tribun seolah tak ada rintih
jerit tangis air mata”

BACA JUGA:  Kolaborasi Generasi dalam Perayaan Maulid Nabi oleh IKA Apitaik

Amak Kute tak bodoh
ia hanya tak tahu

seluas mata memandang
hingga pasir putih bibir lautan
gelombang seluncur
bahkan gunung-gunung
di KEK Mandalika itu

sudah tak lagi milik kita

kita tak berhak apa pun atasnya
hanya berkata
namun jangan kecewa jika hanya kata
selepas itu
tinja lebih bermakna bagi si miskin papa

kegembiraan dan pekik
para penggila dari sirkuit itu
semuanya berbayar
lalu melindas suara tangis keterasingan
Amak Kute berwajah tua
bendera kemenangan di lintasan
mengibas ke udara
pekik para pemuja
menutupi layar kemiskinan
di balik gunung
dan tebing kelambu pohon yang kedinginan

Amak Kute terhalau
ia tak tahu kenapa

ia belum lagi menyadari
tanah dipijak
sekadar menumpang tanah sudah terjual

ia yang bermimpi ketiban ceruk tawa
mengerut dahi tak percaya
orang-orang itu
menabur duit untuk gembira
Amak Kute menggelengkan kepala
seolah lusa waktu lenyap seketika
ketika ia diberitahu

sirkuit itu dibangun untuk bergembira
mana penting orang miskin

Kek Mandalika
tempat bahagia diperjualbelikan
mana penting orang kalah

Sirkuit Mandalika
tempat maut diperdagangkan
mana penting perut keroncongan
tiada kursi kering tenggorokan

Mandalika, si perempuan itu
tak penting lagi
buat apa menanam legenda
bagi sang empunya sirkuit
hanya tahu uang
duit dan kepeng saja

BACA JUGA:  Kearifan Lokal Di Tengah Arus Perubahan

“di mana Putri Mandalika?”

tanya Amak Kute

sudah dikentuti asap mesin pebalap
tergilas roda motor melaju kencang
terkibas jingkrak penonton
terhempas angkuh manusia vvip

“di mana nyale?”

ringkih Amak Kute

sudah berubah aspal
cat dan belepotan telanjang wanita
seks dan anggur
kangkang nagari beraroma wangi
kondom dan jelaga berahi
judi dan urat nadi
beraduk dalam lumpur nyale tak guna

jadi lupakan Putri Mandalika
tepikan nyalemu

itu sampah bagi yang empunya sirkuit

Amak Kute menundukkan kepala
ia hendak menangis
namun usia melarangnya
malu rasanya
meneteskan air mata
di atas tanah nenek moyang
di depan bangkai leluhur
porak poranda terbang
bersama kekalahan miskin papa

“aku ingin kembali”

terlambat Amak Kute
semua waktu sudah memburu masa depan

yang tinggal hanya bergegas
dan kekalahan yang tak mungkin
menang

duh gamak Amak Kute

kehilangan tanah dan leluhur
ialah senista kekalahan
jika mati di medan perang
manusia dikenang pahlawan
mati di tanah kekalahan
manusia kekal disebut jajahan

Inak Tanak Awu dan Amak Kute
bertemu di simpang
entah ke mana
mereka pergi

mereka menggumam

“kita makin lapar”

duh

Malaysia, 10 November 2021