Selama ini untuk mengukur ketimpangan pendapatan biasanya digunakan Indeks Gini atau Koefisien Gini. Nilai Koefisien Gini berkisar antara 0 (pemerataan sempurna) hingga 1 (ketimpangan sempurna).
Jika nilai Koefisien Gini sama dengan 0 (nol) atau pemeratan sempurna, maka semua orang memiliki pendapatan yang sama. Jika nilai Koefisien Gini sama dengan 1 (satu) atau ketimpangan sempurna, maka semua pendapatan hanya dimiliki oleh satu orang. Koefisien Gini ini dikemukakan oleh ahli statistik asal Italia melalui publikasi ilmiahnya dalam bahasa Italia pada tahun 1912 dengan judul “Variabilitȧ e mutabilitȧ” dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia yakni variabilitas dan mutabilitas.
Jika nilai Koefisien Gini makin mendekati 1 (satu); maka distribusi pendapatan penduduk dinyatakan makin timpang. Sebaliknya, jika nilai Gini Ratio makin mendekati 0 (nol), maka distribusi pendapatan penduduk dinyatakan semakin merata. Selama ini, Badan Pusat Statistik (BPS) biasanya menggunakan Koefisien Gini dalam mengukur ketimpangan pendapatan. Selain Koefisien Gini, ketimpangan pendapatan juga dapat diukur dengan menggunakan Indeks Palma yang dikembangkan pada tahun 2011 oleh Josē Grabiel Palma, dari Universitas Cambridge Inggris (Palma, 2011). Dalam pada itu, Indeks Palma adalah rasio pembagian pendapatan dari 10 persen penduduk terkaya terhadap pendapatan 40 persen penduduk termiskin.
Dalam Indeks Palma berdasarkan pengamatan bahwa kelas menengah cenderung meraih sekitar 50 persen pendapatan dan separuhnya dibagi antara 10 persen penduduk terkaya dan 40 persen penduduk termiskin.
Nilai minimum Indeks Palma sebesar 0,25 yang berarti terjadi kesetaraan sempurna. Jika nilai Indeks Palma sebesar 2 berarti 10 persen penduduk terkaya menikmati dua kali bagian dari pendapatan dibandingkan dengan 40 persen penduduk termiskin. Indeks Palma ini di Indonesia antara lain dikembangkan oleh Anshory YA (2014).
Berdasarkan perhitungan Anshory YA (2014) diperoleh bahwa nilai Indeks Palma di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 2,08 artinya pangsa pendapatan 10 persen penduduk terkaya 2,08 kali lebih dari pangsa pendapatan 40 persen penduduk termiskin; artinya sekitar 8 kali menjauh dari dari kesetaraan sempurna.
Dari hasil perhitungan Anshory YA (2014) juga diperoleh bahwa dengan menggunakan Indeks Palma dibandingkan Koefisien Gini, maka terjadi perbedaan lebih besar dalam tingkat ketimpangan di perkotaan dan perdesaan. Dengan Indeks Palma, distribusi pendapatan di perkotaan 74 persen lebih timpang dibandingkan perdesaan, dengan Koefsien Gini hanya 34 persen. Dalam 10 tahun terakhir, dengan Indeks Palma ketimpangan mengalami peningkatan sebesar 60 persen; sedangkan dengan Koefisien Gini peningkatannya hanya 30 persen. Artinya. Dengan Indeks Palma terjadi kecenderungan peningkatan ketimpangan berjalan lebih cepat jika dibandingkan Koefisien Gini. Tampakya, Indeks Palma ini perlu dikembangkan oleh BPS dalam mengukur ketimpangan pendapatan pada tingkat nasional maupun daerah. (*)