Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri telah diatur dalam UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun keberadaan UU ini belum sepenuhnya mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi TKI di luar negeri, utamanya TKI perempuan seperti perdagangan manusia (human trafficking), perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan. Berbagai kasus yang dihadapi TKI di luar negeri antar lain dibeberkan dalam hasil penelitian Bambang Wicaksono Triantoro dari Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Berikut contoh kasus yang dikemukakan Bambang Wicaksono dalam hasil penelitiannya. Pertama, Arfah TKI di Malaysia: dianiaya, dikurung selama 10 hari sebanyak 3 kali, rambut digunting paksa, dibekali uang Rp.200 ribu dengan bantuan KBRI pulang ke Medan. Kedua, Hartati,TKI di Singapura: dianiaya, luka di sekujur tubuh akibat pukulan dan siraman air panas, pulang dan berobat atas biaya sendiri. Ketiga, Tasih TKI di Arab Saudi: kerja dari pagi sampai malam, tidak pernah digaji, dianiaya, dipukul dengan benda keras pada perut dan dada sehingga luka memar, pulang ke kampung halaman dengan diantar oleh adik majikan.
Dalam pada itu, sejumlah contoh kasus tersebut menggambarkan lemahnya perlindungan TKI yang terkandung dalam UU Nomor 38 Tahun 2004. Untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terkandung dalam UU Nomor 38 Tahun 2004 kemudian lahir UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia sebagai pengganti UU Nomor 39 Tahun 2004. Disisi lain dengan lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2017 istilah “Tenaga Kerja Indonesia (TKI)” berganti menjadi “Pekerja Migran Indonesia (PMI)”.
Kehadiran UU Nomor 18 Tahun 2017 adalah agar PMI terlindung dari perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Selain itu, kehadiran UU Nomor 18 Tahun 2017 menjadikan PMI memiliki posisi tawar yang jelas sesuai dengan keterampilan dan kompetensinya. Disisi lain, UU Nomor 18 Tahun 2017 memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran swasta dalam penempatan dan perlindungan PMI.
Semestinya dengan kehadiran UU Nomor 18 Tahun 2017, perlindungan PMI pun menjadi tuntas. Faktanya tidak demikian, masih menyisakan pekerjaan rumah dalam implementasinya. Pekerjaan rumah dimaksud antara lain kasus Atika, 44 tahun, PMI asal Lenek Lombok Timur yang dilaporkan oleh Lembaga Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (LP2MI) NTB.
Berdasarkan siaran pers LP2MI NTB pada tahun 2019 Atika diberangkat ke Abu Dhabi untuk dipekerjakan sebagai penjaga orang tua jompo sesuai dengan “job order” dan perjanjian awal dengan sebuah perusahaan penempatan PMI. Begitu sampai di Abu Dhabi Atika justru tidak dipekerjakan sesuai dengan “job order” dan perjanjian awal, tetapi ia diterbangkan ke Syria Timur Tengah dan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga.
Lebih jauh LP2MI NTB dalam siaran persnya melaporkan bahwa Atika diperlakukan sangat tidak manusia oleh majikannya yakni bekerja 20 jam sehari, gaji yang diterimanya tidak sesuai dengan perjanjian awal, sudah satu tahun tidak menerima gaji, tidak terkadang makan satu kali sehari dan tidak diizinkan menghubungi keluarganya. Atas dasar perlakuan tersebut, Atika menolak untuk memperpanjang kontraknya yang berakhir April 2021 dan ingin kembali ke kampung halamannya di Lenek Lombok Timur.
Merujuk pada UU Nomor 18 Tahun 2017 sejumlah pekerjaan rumah yang semestinya dituntaskan, yakni memberikan bantuan hukum kepada Atika, melakukan verifikasi apakah permasalahan pada Mitra Usaha di luar ngeri atau permasalahan pada perusahaan yang memberangkatkan Atika. Jika permasalahannya pada Mitra Usaha maka diumumkan secara transparan sebagai Mitra Usaha yang bermasalah. Jika permasalahannya pada perusahaan yang memberangkatkan Atika, maka dapat diberikan sanksi administratif. Pekerjaan rumah lainnya yakni dalam UU Nomor 18 Tahun 2017 masih belum ada pasal khusus yang “mengafirmasi” kebutuhan khusus perlindungan PMI perempuan yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga. (Tim Editorial Weekend)
ilustrasi foto utama: Google Image