Sabtu, 3 Mei 2025, halaman Kantor Wali Kota Mataram dipenuhi wajah-wajah haru dan bahagia calon jamaah haji. Sebanyak 393 jamaah dari Kloter 3 Kota Mataram dijadwalkan dilepas secara resmi oleh Wali Kota.
Penulis : Saptoto (Jurnalis Senior NTB)
Namun, di balik balutan baju seragam khas Kota Mataram dan senyum penuh harap itu, tersembunyi kegelisahan mendalam. Sebab hingga saat prosesi pelepasan dimulai, lebih dari separuh jamaah belum mengantongi visa.

Situasi ini bukan hanya menciptakan ketidakpastian, tetapi juga menyisakan trauma kolektif di antara para tamu Allah. Banyak dari mereka yang sejak Jumat malam tidak bisa tidur, cemas menunggu kepastian keberangkatan. Bahkan hingga Sabtu pagi, saat mereka dikumpulkan untuk prosesi pelepasan, kepastian soal siapa yang benar-benar akan berangkat masih belum jelas.
Manifest jamaah berubah nyaris setiap menit. Keluarga pengantar pun enggan memenuhi area pelepasan seperti biasanya karena informasi yang diterima tidak menentu. Pada saat yang sama, Kepala Kantor Kemenag Kota Mataram tetap melaporkan bahwa seluruh anggota Kloter 3 lengkap.
Ironisnya, malam harinya terjadi kekacauan di Asrama Haji Loang Baloq. Puluhan jamaah diminta naik ke lantai dua, bukan untuk persiapan keberangkatan, melainkan untuk diberitahu bahwa visa mereka belum keluar.
Mereka kemudian diminta pulang. Sebanyak 43 jamaah gagal berangkat bukan karena alasan kesehatan atau pembatalan pribadi, tetapi karena kelalaian administrasi.
Apa yang dirasakan jamaah ketika kembali ke rumah? Rasa malu, kecewa, dan tekanan sosial yang berat. Mereka telah berpamitan kepada keluarga, tetangga, bahkan mungkin menggelar acara syukuran.
Kini, mereka harus menjelaskan kepada masyarakat bahwa keberangkatan mereka batal. Apakah cukup hanya dengan menjanjikan keberangkatan di kloter berikutnya?
Yang lebih memprihatinkan, Kepala Kanwil Kemenag NTB tidak tampak hadir. Tidak ada permintaan maaf, klarifikasi, atau bentuk pertanggungjawaban. Padahal, selama ini ia dikenal sering tampil percaya diri, bahkan disebut-sebut telah dua tahun berturut-turut menyertakan istrinya sebagai petugas haji.
Ketika terjadi permasalahan yang menyangkut martabat jamaah, ia justru tidak tampak.
Melihat kondisi ini, publik berharap Menteri Agama RI segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap jajaran Kemenag NTB, mulai dari Kepala Kanwil hingga Kepala Kantor Kementerian Agama di tingkat kabupaten dan kota.
Pelayanan yang tidak profesional telah merusak kepercayaan publik. Jika tidak mampu menjalankan amanah, sebaiknya memberikan kesempatan kepada mereka yang lebih kompeten dan bersedia mengabdi dengan sungguh-sungguh.
Kepada Gubernur NTB, publik berharap agar permasalahan ini dikomunikasikan dengan pemerintah pusat. Apalagi Gubernur dikenal memiliki kedekatan dengan Presiden Prabowo. Dukungan dan pengaruh politik yang dimiliki semestinya dimanfaatkan untuk membela hak-hak jamaah asal NTB, bukan sekadar untuk kepentingan simbolik.
Para jamaah adalah tamu Allah. Meskipun mereka tidak banyak bersuara, mereka melihat dan merasakan. Kekecewaan mereka tidak boleh diabaikan. Mereka berhak mendapatkan pelayanan yang terbaik.
Kisruh ini jangan sampai tercatat sebagai catatan kelam dalam sejarah pelayanan haji di Indonesia. ***









