Menjajal “Figur Nomor Wahid” 2024

Sejak 2020 silam, peta sosok bakal calon (Balon) Orang Nomor Wahid Kabupaten Lombok Timur (Lotim) mulai berhantaran. Meski beberapa tokoh yang berupaya pencitraan itu sedang bertapuk jabatan/status atau profesi terkininya, namun aroma politiknya tak kuasa mengecoh.

Suatu kali, ketika ingin bertandang ke Anjani, saya sengaja mencoba jalur hubung wilayah selatan yang melewati Desa Suralaga. Letak Desa Anjani di wilayah utara Lotim. Biasanya ditempuh dari jalur umum, Kecamatan Masbagik melalui Jalan Raya Labuhan Lombok. Namun karena tempat mukim saya di selatan memicu saya meniti jalur terdekat tersebut.

Selain alasan kenyamanan dari bising dan sendatnya arus lalu lintas, pandangan dibuai panorama asri pedesaan, persawahan, pasar tenten dan perkebunan. Betul betul kesan tersendiri buat siapapun. Meski, memang, kondisi jalannya mulai tidak terawat. Padahal keberadaan infrastuktur tersebut merupakan akses aktivitas ekonomi satu satunya bagi para petani, pun penghubung geliat aktivitas masyarakat di sekitar sana. Sangat disayangkan, sudah lama, kondisi jalan tak disentuh proyek pemeliharaan dari pemerintah setempat. Spekulasi pun bergelayut di benakku, apa karena memang tidak dikoordinasikan secara baik oleh pemerintahan desa ke pemerintahan berjenjang, ada kecamatan, wakil rakyat dapil setempat (DPRD Kabupaten Lotim, Provinsi dan Pusat), Dinas PUPR atau yang berkompeten, hingga kepala daerah petahana? Atau apa karena faktor korban polarisasi, semacam kesenjangan haluan politik ketika pileg, pilkada dan lain sebagainya. Entah lah.

Memasuki simpang Desa Suralaga, laju kendaraan kubelokan ke jalur kiri, menuju Anjani, tempat tujuanku. Lalu tersentak, pandangan ini bertumpu pada sebuah ruang baliho berukuran besar yang memampang pesan layanan masyarakat berupa program kegiatan sebuah institusi Pemerintah Provinsi NTB dikemas beserta foto sang pemimpin organisasi perangkat daerah (OPD)-nya tengah menebar senyum. Ibarat rayuan opsi pilihan kepada calon pemilih dalam kontestasi pilkada 2024, nanti. Satu hal yang tak lazim di sini, skala foto lebih dominan ketimbang ukuran fontasi huruf pada pesannya. Padahal, pesan ke rakyat yang bakal dipimpin jauh lebih berharga daripada ulas senyum sang pemilik foto yang tak bermakna apa-apa buat kemaslahatan nyata.

Ada juga baliho foto pigur politikus yang titik peletakannya sembarang hingga bannernya yang merubah fungsi pohon hijau di pinggir jalan dan ruang taman hijau milik publik menjadi penjor hidup. Semuanya terangkum dalam siluet wajah daerahku di jelang pemilu serentak 2024 mendatang. Sebuah kontestasi politik baik pemilihan legislatif, presiden, gubernur, dan bupati/walikota.

Banyak peluang, banyak calon, banyak konsep strategi dari yang lurus hingga bengkok, banyak tim menawarkan ide, dan lain sebagainya, bakal bertaruh peruntungan. Istilah mereka ikhtiar, sejatinya ambisi. Finansial jor-joran, ketika naik minta balik modal dan fee dari berbagai celah. Ketika pecundang, meratapi nasib dan menagih pemberian. Wajah demokrasi yang destruktif. Tak ubahnya bisnis usaha barang/jasa. Bahkan segelintir mengistilahkannya, judi.

Harus diakui bahwa pendewasaan berpolitik kita masih kaku sehingga seringkali salah kaprah. Menilai amanah dengan materi, untuk meraih takhta kekuasaan, keuntungan, dan fasilitas kemegahannya. Harga mahal sebuah jabatan untuk sebuah rutinitas lima tahunan di atas kursi empuk, teken dokumen, beri sambutan rapat internal dan hadiri undangan, tinjau kegiatan lapangan jika diperlukan, perjalanan dinas dalam daerah/antar daerah dalam provinsi/luar daerah/luar negeri, atau jika ia memiliki kriteria skill bargaining bisa bangun loby anggaran pusat atau negosiasi dengan investor. Jarang yang bersandar pada nurani, apalagi sudi berpikir akan apa esensi kepemimpinan dalam perspektif ibadah. Kemegahan, tatkala di belakang sana rakyat tengah kekurangan. Sama saja. Entah itu pemimpin berlatar belakang politisi, birokrat, pengusaha, ulama, sepanjang tidak sunnatullah, ya mubazzir juga.

BACA JUGA:  "WTP" Dibalik Cermin Tata Kelola Keuangan Daerah

“When the politics teaches that it is the duty of politicians to carry out the will of the people, however, they are only concerned with themselves.” Ketika politik mengajarkan bahwa tugas politikus sesungguhnya melaksanakan kehendak rakyat, namun, yang terjadi justru mereka hanya mementingkan dirinya sendiri. Demikian pandangan Joseph Schumpeter (8 Februari 1883 – 8 Januari 1950), seorang ekonom Amerika-Austria dan ilmuwan politik terkemuka dan berpengaruh di abad ke-20.

Jika sedang berkuasa, perspektif akidah memang kerap terabaikan. Tercabik oleh idealisme keduniawian yang seolah tak berbatas. Di belahan Lombok lainnya, lebih menjijikan lagi, black campaign mengumbar adegan syahwat rivalnya di sebuah hotel. Meski begitu, si dia tetap melenggang ke kursi nomor satu. Siapa yang salah? Belakangan dia diketahui berulah menggugat pergantian nama bandara internasional yang sudah ditetapkan pemerintah pusat dengan menjadi sutradara konflik dengan ormas lain. Padahal (itu) semu. Tengok: sebaik-baiknya hamba adalah yang takut kepada Rabb-nya. Dunia fana ini cuma persinggahan sementara menuju tujuan akhir, yaitu kemuliaan hakiki di akhirat, kelak. Dalam Qur’an surah ke-8, Al Anfal, ayat 27, Allah berfirman, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.

Rasulullah Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya menyampaikan bahwa seorang hamba yang diberi amanat menjadi seorang pemimpin oleh Allah SWT, tapi tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik atau tidak amanah, maka dia tidak akan mencium bau surga.

Diriwayatkan oleh Ubaidullah bin Ziyad saat dirinya membesuk Ma’qil bin Yasar yang tengah sakit. Ketika jelang menghembuskan nafas terakhirnya, Ma’qil sempat mengatakan kepadanya, “Saya sampaikan hadits kepadamu yang aku dengar dari Rasulullah SAW.”

Aku (Ma’qil) mendengar Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang Allah beri amanat kepemimpinan, namun dia tidak menindaklanjutinya dengan baik, selain tak bakalan mendapat bau surga.” (HR Bukhari).

  أنَّ عُبَيْدَ اللهِ بنَ زِيَادٍ دَخَلَ علَى مَعْقِلِ بنِ يَسَارٍ في مَرَضِهِ، فَقالَ له مَعْقِلٌ: إنِّي مُحَدِّثُكَ بحَدِيثٍ لَوْلَا أَنِّي في المَوْتِ لَمْ أُحَدِّثْكَ به، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، يقولُ: ما مِن عَبْدٍ اسْتَرْعاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْها بنَصِيحَةٍ، إلَّا لَمْ يَجِدْ رائِحَةَ الجَنَّةِ

Belum terlihat siapa pemimpin dari kalangan di atas tadi yang turun ke tengah-tengah masyarakat langsung. Istilah dalam bahasa Jawa-nya, blusuk an. Apalagi berdialog dan membantu jalan keluar bagi problem sosial masyarakatnya. Seperti yang dituntunkan Baginda Rasulullah Shalallahu Wa Alaihi Wassalam dan para sahabat beliau kepada kita, umatnya. Kenapa kita tidak memetik yang positif dari sistim kepemimpinan yang diperintahkan Allah Azza Wa Jalla atau yang dituntunkan Baginda Shalallahi Alaihi Wassalam dan dilanjutkan oleh para sahabat beliau ketika zaman Khulafaur Rasyidin tersebut. Sebagian orang menyebutnya masa kekhalifahan. Dan sistim atau kaifiyah syariat yang diaplikasikan dalam pengamalannya disebut sistim khilafah.

BACA JUGA:  BSM dan Maestro Dalang Sasak Haji Lalu Nasib (Aruman)

Benar, negara kita menganut falsafah luhur: Bhinneka Tunggal Ika. Sistim ketatanegaraan yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Dan sistim penyelenggaraan pemerintahan yang berasas demokrasi, republik konstitusional, dan sistim presidensial. Pada sila pertama Pancasila berbunyi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Idealnya ejawantah dari pemahaman penyelenggaraan pemerintahan mestinya mengacu pada etimologi yang diatur sesuai kaidah agama. Dalam khilafah, seorang amirul mukminin atau pemimpin memiliki karakter kokoh dan tegas dalam menjalankan syari’at atau kaidah yang berlaku dalam Islam. Ketika zaman kekhalifahan Sayyidina Umar ibn Khattab RA, sangat tegas atas pelaksanaan syari’at. Bisa dikatakan sosoknya pantang menyaksikan segala bentuk penyelewengan atau tradisi keliru dalam masyarakat. Termasuk kesewenang wenangan baik (itu) korupsi, kolusi, dan nepotisme di kalangan pemimpin dan keluarganya.

Disarikan dari sebuah artikel yang dimuat kompasiana, berjudul “Ketegasan Umar bin Khattab dalam Memimpin” menggambarkan sosoknya yang inspiratif buat umat. Dikatakan, Sayyidina Umar Bin Khattab adalah Khalifah kedua pengganti Khalifah Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau (Umar) terkenal dengan sikapnya yang keras menantang kedzholiman. Selalu konsisten dalam mengungkapkan kritik-kritik tegas dan untuk agama Islam. Beliau juga memiliki loyalitas terhadap Rasululullah dan memiliki kedekatan pada Rasulullah. Tak heran bila Baginda Rasul selalu menerima usulan yang selalu diajukan Umar.

Pada tahun 634 M, beliau terpilih menjadi khalifah pengganti Abu Bakar, yang kemudian dibai’ats oleh kaum pengikut di zaman tersebut. Dan pada saat beliau baru mengemban amanat sebagai khalifah, hal paling utama yang dilakukan yakni mencopot Khalid bin Walid sebagai panglima perang (di zaman pendahulunya, khalifah Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq ra). Bukan tanpa sebab dan pertimbangan. Sementara Khalid tengah sibuk memimpin pertempuran di medan laga. Umar mendengar bahwasannya Khalid telah memberikan uang sebesar 1000 keping emas terhadap orang terdekatnya, hingga kabar ini tersebar di masyarakat.

Dalam kasus ini terlihat ketegasan Umar dalam memperlakukan semua orang dengan sama rata. Mengedepankan sunnatullah, tabayyun (klafirifikasi) dengan menanyakan darimana Khalid memperoleh uang sebanyak itu. Walhasil, terungkap bahwa teryata Khalid menyimpan uang tersebut dari harta rampasan perang melebihi ketentuan dalam syari’at. Sebagai konsekwensi hukumnya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengrimkan surat pencopotan Khalid bin Walid sebagai panglima perang ke berbagai provinsi. Ini semua dilakukan demi keadilan dan kebaikan umat.

Justru sebaliknya, di akhirul zaman, justru makin ingin melanggengkan kekuasaan, oligarki dan kesewenang wenangan merajalela, korupsi terang terangan, tidak mengayomi ketika menyelesaikan problem masyarakat dengan alasan lemahnya payung hukum kebijakan atau pos anggaran yang tak tersedia. Belum lagi Dinasti Politik atau sering juga disebut Trah.

Di Lombok, pemimpin yang berlatar kalangan ulama atau umara rata-rata memiliki modal, yaitu simpatisan loyal. Atau kadang diistilahkan, militansi suara. Untuk merawat popularitas dan elektabilitasnya cukup melalui program kajian Islami baik melalui slot saluran televisi lokal atau minimal jejaring media sosial, kemudian didiseminasikan secara masif di setiap titik kumpul para jemaahnya. Agama adalah saluran silaturahmi dan penyejuk qolbu umat, kemasan programnya. Di dalamnya kental aroma politis, L4: Lu Lagi, Lu Lagi. Meski wong cilik yang dipimpinnya tak sekalipun berkesempatan merasakan tangan hangatnya ketika bersalaman. Boro-boro membantu kesusahan yang menjerat mereka, pas butuh suara “iya”.

Aneka rupa memang tipikal kepemimpinan di negeri ini. Terutama Nusa Tenggara Barat, khususnya di Lombok. Agaknya sampai saat ini, belum terlihat sosok pemimpin sejati atau sosok umara, yang berkarakter bijak dan disayang semua lapisan umat serta pengemban kaidah syariat. Bukan lagi pemimpin yang menerjemahkan makna keberhasilan dari skup kuantitas atau fisik: atas seberapa unit mega proyek pengadaan infrastruktur yang terbangun atau seberapa luas daerah dikenal dunia luar karena kontinuitas even seremonial yang terselenggara. Semoga di 2024 nanti menjawabnya, aamiin.

BACA JUGA:  Pemkot Mataram Gempur Rokok Ilegal (Jilid 1)

Di Nusa Tenggara Barat, kontestasi pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilu kepala daerah (Pilkada) adalah suguhan pertarungan sesungguhnya. Euforia-nya melebihi ketika musim sepakbola piala dunia atau the world championship of moto grand prix dan even formula one. Hentakannya melambung di atas voltase gempita sound system akbar di tengah konser artis ternama. Benar-benar berbeda. Kontestasi politik memiliki kekhasan dalam pelaksanaannya. Semua prilaku bersimpuh dalam keyakinan untuk menang. Segala daya dan upaya tumpah ruah demi kemulusan urusan. Pendekatan ke para tokoh agama, sesepuh adat/masyarakat, hingga mencuci otak pemilih pemula dann manula, semuanya dibalut iming-iming dan ditutup salam “selawat” (semacam amplop terima kasih).

Maksud tulisan ini semata mata demi permenungan kita dalam merefleksi kepemimpinan yang sudah dan sedang berjalan saat ini. Dengan harapan mewujudkan perbaikan bagi Lombok Timur di kemudian hari, dan Nusa Tenggara Barat, umumnya. Semuanya memang kembali kepada kita semua selaku rakyat yang memiliki kedaulatan mutlak.

Seorang bakal calon (balon) kepala daerah di  manapun, termasuk Lombok Timur, mestinya menyadari dan mulai berbenah. Apakah mental bertarung sudah dipersiapkan dengan matang, atau pola birokrasi yang dijalankan sudah tepat atau bagaimana? Belum lagi menyelami pandangan publik atas kinerja selama ini serta sejauhmana rakyat kecil menikmati kesejahteraan yang dijanjikan dalam visi misi yang dimaksud itu.

Analisa Almaghfurlah TGH Hazmi Hamzar melalui media ini layak diserap sebagai referensi dalam menentukan pilihan pada 2024. Bukan justru dianggap sebagai momok atau pernyataan stereotip kepentingan kelompok tertentu. Pemimpin yang baik harus bijak dalam menerima pendapat siapapun.

Dalam Islam, perbedaan pendapat adalah keniscayaan. Dari dahulu sampai sekarang ada ragam pendapat dalam Islam. Sehingga perlu kedewasaan berpikir dan bijak dalam melihat varian pendapat ulama.

Sebagian orang tidak siap menerima perbedaan pendapat tersebut. Mereka menganggap apa yang dipikirkan dan dipelajarinya kebenaran final. Sehingga tidak ada lagi ruang dialog dan diskusi. Akibatnya, dia menganggap orang yang berbeda pendapatnya sebagai lawan dan musuh.

Acapkali terjadi lantaran beda pendapat saling mencaci, menyesatkan, bahkan mengafirkan. Kata-kata kasar pun dikeluarkan untuk menunjukan ketidaksetujuan terhadap pendapat yang dilontarkan orang lain. Padahal berkata kasar dalam Islam sangat dilarang. Apalagi bila kata kasar itu meyakiti hati orang lain.

Rasulullah berkata:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Muslim adalah orang yang mampu menjaga orang lain dari lisan dan tangannya” (HR: Bukhari)

Bahkan saya pikir, sosok TGH Hazmi Hamzar sendiri sesungguhnya memiliki kapasitas dan kapabilitas itu berdasarkan latar belakang keilmuan, dedikasi atau kiprahnya di bidang agama dan politik di partai berlambangkan ka’bah. Lombok Timur butuh pembaruan. Butuh sentuhan lebih arif dan keteduhan Sang Pemimpin. Bukan dengan tata cara feodalistik. Dan bukan pula otokritik. (Bersambung..)