Apakah Semua Kata Maulana Tentang RTGB Adalah Benar?

Oleh: DR Salman Faris
(Ketua Jaringan Intelektual Nahdlatul Wathan)

Tentu saja kita sangat berharap semua kata Maulana yang ditujukan kepada RTGB ialah benar. Hanya saja, kita boleh berharap namun tentu saja tak secara otomatis dapat begitu. Karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mengoreksi cara berpikir dan pola komunikasi semeton jari saya di NW yang selalu dan terus-menerus memistikkan situasi untuk tujuan legitimasi.

Saya berharap ada timbalbalik yang memadai dari kaum cendekia. Meski hingga kini, tulisan saya yang berjudul “Keris Empu Gandring di Tangan RTGB” belum ada tanggapan memadai dari kaum cendekia di NW.

Saya tak perlu merujuk teori besar untuk menjelaskan maksud judul di atas. Cukup menggunakan kearifan lokal Sasak. Di bagian selatan Lombok Tengah, hampir semua orang tua atau sebagian memanggil anaknya Lalu atau Gde. Hal ini berlaku baik pada keluarga yang memang sudah Lalu atau pun tidak. Khusus pada keluarga yang tidak tergolong Lalu, adakah panggilan Lalu yang diberikan kepada anak dapat mengubat realitas yang mereka memang bukan Lalu? Sama sekali tidak.

Dalam konteks tersebut, panggilan Lalu tidak dapat dilihat secara lurus begitu saja untuk kemudian beranggapan bahwa semua orang di Lombok Tengah bagian selatan ialah Lalu. Panggilan tersebut dimaknai sebagai hubungan batin orang tua dengan anak. Selain itu untuk menunjukkan harapan yang anak di masa hadapan dapat menjadi orang berguna. Namun sekali lagi, apakah harapan itu secara otomatis dapat terwujud. Tentu saja tidak. Sebab sekali lagi, tidak selamanya harapan dan hubungan batin tersebut mampu mengubah realitas.

Bahkan, semua orang Sasak memiliki serta menjalankan kearifan lokal dengan memanggil anak dengan panggilan dende, inges atau enges, solah, tilah. Lantas, bagi anak yang secara realitas bertolak belakang dari panggilan tersebut akan secara otomatis menjadi enges, dende, solah, tilah? Samasekali tidak. Orang seperti saya yang sudah berwajah jelek dari sananya, sudah pasti selamanya tidak ganteng meskipun orang tua saya memanggil saya nune solah, nune tilah beribu-ribu tahun sekalipun.

BACA JUGA:  Pesta Para Kaya di Kampungku

Satu sisi, adakah kemanfaatan panggilan yang arif tersebut? Tentu saja banyak. Selain sebagai penguat hubungan batin orang tua dengan anak, juga dapat memberikan pewarisan nilai kebaikan yang terkonversi kepada hal-hal lain seperti tingkah laku. Namun sekali lagi, tidak akan mengubah realitas yang berlawanan dengan panggilan tersebut.

Nah, dalam kasus panggilan Maulana kepada RTGB saya ingin singgung dua hal saja. Pertama ialah nama beliau sebagai Zainuddin Tsani yang dapat dimaknai sebagai Zainuddin yang kedua (beliau digelari sebagai Hamzanwadi II). Zainuddin merujuk kepada Maulana sendiri dan Tsani merujuk kepada RTGB. Dengan kata lain, Zainuddin Tsani mengandungi pesan yang RTGB sebagai fotokopi Maulana. Namun adakah tujuan, harapan, dan maksud pemberian nama Zainuddin Tsani kepada RTGB dapat berlaku secara otomatis . Tentu saja tidak. Sekali lagi, tidak.

Logikanya sederhana, sebagai hasil dari sebuah fotokopi, tentu saja sesuatu akan menunjukkan keserupaan yang hampir seratus persen bahkan memang seratus persen. Nah, di sini kita mulai mengukur kualitas dan indikator. Jika Maulana diketahui sebagai orang yang sangat Alim yang, kecerdasannya diakui oleh seluruh guru yang menjadi guru para ulama di dunia, maka sudah tentu fotokopi kecerdasan Maulana tersebut menghasilkan kualitas hampir seratus persen bahkan seratus persen.

Jika kehebatan Maulana bernarasi dan berlogika dalam setiap pengajian di atas rata-rata. Berhasil menjelaskan hukum fiqih dan salafi yang paling rumit sekalipun secara sederhana agar jamaah memahami secara baik dan benar, maka sudah pasti hasil fotokopi juga demikian.

Jika kewalian Maulana terbukti dan tidak ditonjol-tonjolkan, tidak juga dibesar-besarkan, malah disembunyikan melalui pelaksanaan syari’at yang amat ketat, maka sudah pasti fotokopi yang dihasilkan mendekati seratus persen bahkan seratus persen. Yang fotokopi tidak bertolak belakang dengan yang asli. Yang asli tidak akan timpang terlalu jauh: bumi dan langit dengan yang fotokopi.

Pertanyaannya, dari tiga indikator di atas, adakah menunjukkan realitas yang sahih pada RTGB? Atau adakah berlaku secara otomatis ? Tentu saja masyarakat dapat membuat analisis sendiri, adakah hasil fotokopi berlaku secara otomatis pada RTGB atau malah sebaliknya.

BACA JUGA:  NU Muhammadiyah Nahdlatain: Sopo Sila Sabua Aren Sak Dulang

Masalah mulai muncul. Bagi elite NW dan jamaah yang beraliran cara pandang mistik, tentu saja akan menjawab fotokopi Maulana secara otomatis berlaku pada RTGB. Namun bagi mereka yang beraliran realistik, akan melakukan komparasi antara teori fotokopi dengan realitas. Mempersoalkan adakah kecerdasan Maulana setara dengan RTGB, adakah kehebatan naratif dan logika Maulana selevel dengan RTGB, adakah kewalian yang disembunyikan pada diri Maulana serasi dengan RTGB?

Perkara kedua adalah panggilan Maulana kepada RTGB sebagai TGB sejak kecil. Maulana ialah orang Sasak. Meskipun dididik dalam situasi keagamaan Islam yang sangat kuat, darah juang nan deras beliau adalah Sasak. Percampuran magma darah Sasak dengan pengetahuan agama Islam yang luas ialah pandangan hidup Maulana.

Dalam konteks tersebut, panggilan TGB yang diberikan kepada RTGB sejak kecil tidak dapat dilihat secara kaca mata kuda. Tidak dapat diartikan yang Maulana melantik, mengesahkan, mematenkan RTGB sebagai TGB atau satu-satunya TGB.

Sedikitnya dua pendekatan untuk menelaah situasi tersebut. Kesatu, panggilan TGB kepada RTGB yang diberikan Maulana dilihat sebagai hubungan batin, sebagai pompa kasih sayang, sebagai harapan, sebagai doa agar RTGB benar-benar menjadi TGB. Namun seperti yang dipersoalkan sejak awal tulisan ini, adakah semua itu dapat berlaku secara otomatis kepada RTGB? Tentu saja tidak. Sebab sebagai orang yang berilmu agama tinggi, seharusnya semeton jari saya di NW paham yang, bahkan tidak semua harapan nabi dan rasul dapat terkabulkan. Bahkan Nabi Muhammad sebagai manusia terbaik pun, memilki harapan yang ditangguhkan Tuhan.

Pendekatan kedua ialah dengan menguji kadar keilmuan, kualitas ketuanguruan RTGB. Jika TGB yang dimaksudkan Maulana ialah seorang yang masih muda sudah berilmu agama tinggi, seorang yang masih muda sudah menunjukkan kelayakan yang tinggi sebagai Tuan Guru, seorang yang masih muda sudah memiliki samudera kearifan, kewibawaan, serta kecendekiaan yang luas, maka maksud Maulana tersebut harus dikomparasikan dengan realitas diri RTGB. Jika seayun dengan maksud Maulana, maka mungkin dapat dibetulkan yang dimaksudkan satu-satunya TGB itu ialah RTGB. Namun jika berlaku sebaliknya, maka realitas tidak boleh dibolak-balikkan dengan pendekatan mistik.

BACA JUGA:  Antara Bencana Alam dan Ekstensifikasi Jagung

Apabila semeton jari di NW terus melakukan pembantahan realitas dengan pandangan mistik, maka yang terjadi adalah memanipulasi kenyataan untuk tujuan kuasa tertentu. Membangun legitimasi dengan dinding semu. Di sinilah bahaya itu sebab legitimasi yang dibangun di atas dinding realitas yang rapuh akan menghasilkan pemaksaan kehendak. Kehendak untuk membuat RTGB menjadi TGB seperti yang digambarkan Maulana tidak hanya akan membebani RTGB sendiri, melainkan akan merapuhkan sekaligus meruntuhkan sistem sosial dan sistem kepercayaan jamaah NW.

Kehendak untuk menjadikan RTGB sebagai Zainuddin yang kedua, sebagai satu-satunya Maulana kedua yang paling sahih, tidak hanya merugikan RTGB (pada situasi tertentu dan pada masa tertentu) melainkan akan menjerumuskan NW kepada kehampaan figur yang kuat. Jamaah NW akan senantiasa digantungkan dalam ikatan pendekatan mistik tanpa mempunyai pijakan realitas yang kuat. Ketergantungan mereka kepada pendekatan rapuh akan membuat NW semakin lemah dan kehilangan ruang di masa depan.

Akhirnya, salah satu dampak yang paling buruk dari gerakan dan pandangan mistik semeton jari di NW ialah membangun legitimasi secara tidak adil bahkan cenderung kejam. Misalnya, kontestasi mereka yang menggemakan mistik dengan yang berpijak pada realitas akan menghasilkan kondisi yang mengkhawatirkan, di mana mereka yang beraliran mistik terus melegitimasi diri yang, hanya mereka sebagai orang NW dan keturunan Maulana yang agung, sedangkan yang lain ialah palsu.

Sungguh bahaya jika sistem kepercayaan jamaah NW sudah terbentuk secara mistik yang, hanya RTGB yang benar-benar TGB kemudian mendistorsi secara brutal TGB yang lain.

Tentu saja, saya tidak berharap NW menuju destinasi bahaya. Namun jika golongan mistik terus menunjukkan kekuatan, potensi itu terlihat besar.

Malaysia, 12 Februari 2021