MATARAMRADIO.COM – Perseteruan hukum antara aktivis M. Fihiruddin dan DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) memasuki babak baru.
Sidang gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilayangkan Fihiruddin terhadap DPRD NTB gagal mencapai titik temu dalam proses mediasi di Pengadilan Negeri Mataram pada Rabu, 30 April 2025.
Pihak DPRD NTB, sebagai tergugat, menolak seluruh alternatif perdamaian yang ditawarkan, memilih untuk melanjutkan perkara ke persidangan. Gugatan senilai Rp105 miliar ini menjadi sorotan publik karena menyangkut isu moralitas wakil rakyat dan keadilan bagi rakyat kecil.

Sidang mediasi yang dipimpin oleh Hakim Glorius Anggundoro tidak membuahkan hasil setelah pihak DPRD NTB dengan tegas menolak usulan damai. Tim Kuasa Hukum Fihiruddin, yang dipimpin oleh Gilang Hadi Pratama, S.H., menyayangkan sikap tergugat yang dinilai tidak menunjukkan itikad baik.
Menurut Gilang, penolakan mediasi ini mencerminkan kurangnya moralitas dan tanggung jawab DPRD NTB sebagai wakil rakyat.
“Selama ini klien kami telah banyak mengalami kerugian, dia dipenjara dan tidak dapat bekerja untuk menafkahi anak dan istrinya, usahanya tutup dan putus kontrak, belum lagi bicara psikologi klien kami selama ditahan, harusnya ini menjadi pertimbangan moralnya,” ujar Gilang usai sidang mediasi di Pengadilan Negeri Mataram, Rabu, 30 April 2025.
Latar Belakang Gugatan Fihiruddin
Gugatan PMH ini berawal dari laporan yang diajukan DPRD NTB terhadap Fihiruddin pada Oktober 2022, terkait pernyataannya di grup WhatsApp Pojok NTB yang dianggap mencemarkan nama baik. Fihiruddin, Direktur Lombok Global Institute (LOGIS), sempat ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan ditahan oleh Polda NTB.
Namun, pada sidang di Pengadilan Negeri Mataram, Fihiruddin dinyatakan tidak bersalah karena tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik, sebagaimana diatur dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Meski telah dibebaskan, Fihiruddin mengalami kerugian besar akibat proses hukum tersebut. Ia kehilangan pekerjaan, kontrak bisnisnya terputus, dan usahanya sebagai Direktur Marketing PT Rajawali Buana Agung terhenti.
Selain kerugian materiil, Fihiruddin juga mengalami tekanan psikologis selama ditahan, yang berdampak pada keluarganya. Atas dasar ini, Fihiruddin melalui Tim Pembela Rakyat mengajukan gugatan PMH pada Mei 2024, menuntut ganti rugi sebesar Rp105 miliar kepada pimpinan DPRD NTB, sejumlah fraksi, serta turut tergugat seperti Polda NTB, Kejaksaan Tinggi NTB, dan Menteri Keuangan RI.
Penolakan Mediasi dan Kritik terhadap Moralitas DPRD NTB
Gilang Hadi Pratama menegaskan bahwa gugatan ini bukan sekadar soal ganti rugi, tetapi juga tentang menegakkan keadilan dan moralitas wakil rakyat. Ia menilai DPRD NTB, yang seharusnya menjadi representasi rakyat, justru bertindak sebaliknya dengan melaporkan Fihiruddin tanpa bukti yang kuat. Penolakan mediasi, menurut Gilang, semakin menunjukkan sikap arogan pihak tergugat.
“Mereka yang merasa sebagai penyelenggara negara ini telah menzolimi rakyatnya dengan melakukan pelaporan yang tidak terbukti, sebagai pemimpin harusnya moral dan hati nuraninya yang berbicara bukan nafsunya. Kami tegaskan pemimpin-pemimpin seperti ini tidak layak untuk dipilih kembali,” tegasnya.
Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap sikap DPRD NTB, yang pada November 2024 juga menghadapi penolakan gugatan Fihiruddin oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram.
Meski demikian, Tim Kuasa Hukum Fihiruddin berencana mengajukan banding dan melaporkan majelis hakim ke Komisi Yudisial (KY) serta Mahkamah Agung (MA) atas dugaan ketidakpatutan dalam putusan tersebut.
Persiapan Sidang dan Bukti Kuat Penggugat
Dengan gagalnya mediasi, Tim Kuasa Hukum Fihiruddin menyatakan kesiapan mereka untuk melanjutkan sidang ke tahap pembuktian. Gilang mengungkapkan bahwa pihaknya telah menyiapkan sejumlah bukti kuat, termasuk putusan pengadilan yang membebaskan Fihiruddin dari dakwaan pidana, dokumen kerugian materiil, serta fakta-fakta yang menunjukkan dampak psikologis dan sosial yang dialami kliennya.
“Kami memiliki bukti yang sangat kuat. Pihak tergugat bahkan tidak mengajukan saksi atau bukti surat yang signifikan selama persidangan sebelumnya, hanya mengandalkan percakapan WhatsApp. Ini menunjukkan lemahnya posisi mereka,” ujar Gilang.
Menurut Dr. Syamsul Hadi, S.H., M.H., ahli hukum dari Universitas Mataram yang dihadirkan dalam sidang sebelumnya, gugatan PMH ini memiliki dasar kuat karena Fihiruddin terbukti mengalami kerugian akibat perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Instrumen ganti rugi melalui PMH, menurutnya, adalah jalur yang tepat untuk menangani kasus seperti ini.
Dampak Kasus bagi Masyarakat NTB
Kasus ini telah menarik perhatian masyarakat NTB, terutama karena melibatkan isu sensitif tentang hubungan antara wakil rakyat dan rakyat yang mereka wakili.
Banyak pihak menilai bahwa sikap DPRD NTB dalam kasus ini mencerminkan kurangnya empati terhadap rakyat kecil, terutama aktivis seperti Fihiruddin yang dikenal vokal dalam mengkritik isu sosial dan hukum di NTB.
Harapan untuk Keadilan di Sidang 2025
Dengan berlanjutnya sidang pada 2025, Fihiruddin dan tim hukumnya berharap Pengadilan Negeri Mataram dapat memberikan putusan yang adil.
Mereka menekankan bahwa gugatan ini adalah upaya untuk meminta pertanggungjawaban DPRD NTB atas tindakan yang telah merugikan rakyat. Publik NTB pun menantikan bagaimana kasus ini akan memengaruhi kepercayaan terhadap lembaga legislatif di daerah tersebut.
Sidang lanjutan ini juga menjadi ujian bagi sistem peradilan di NTB untuk menunjukkan independensi dan keberpihakan kepada keadilan. Bagi Fihiruddin, perjuangan ini bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk memastikan bahwa suara rakyat tidak dibungkam oleh kekuasaan.
Dengan kata kunci seperti Fihiruddin, DPRD NTB, dan gugatan PMH yang terus menjadi perbincangan, kasus ini diprediksi akan terus menjadi sorotan hingga putusan akhir nanti. (editorMRC)









