Menyoroti Kasus Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan: Peran Semua Pihak dalam Melindungi Anak

Azimah Subagijo : Ketua Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi; Anggota Sub Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi (SGTP3)

Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak aman bagi anak-anak dan meningkatkan masalah pornografi di dunia maya, termasuk kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).

Kasus ini menunjukkan pelanggaran serius terhadap hak anak, yang seharusnya dilindungi oleh berbagai undang-undang, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Undang-Undang Pornografi, dan Undang-Undang Perlindungan Anak, serta prinsip-prinsip dalam Konvensi Hak Anak (KHA).

Dampak Viral dan Stigma

Menyedihkan untuk dicatat bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru ini berlangsung selama bertahun-tahun sebelum terungkap melalui video porno yang viral tersebut. Praktik eksploitasi yang terus menerus ini menunjukkan betapa seriusnya masalah kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Banyak korban mungkin merasa terjebak dalam hubungan yang tidak sehat dan sulit untuk melaporkan tindakan tersebut karena rasa takut dan stigma. Ketidakberdayaan ini sering kali dimanfaatkan oleh pelaku untuk melanjutkan tindakan mereka tanpa rasa takut akan konsekuensi.

Lebih memprihatinkan lagi, keputusan sekolah untuk mengeluarkan anak korban dari sekolah merupakan tindakan yang sangat tidak pantas. Bukannya memberikan perlindungan dan dukungan, sekolah justru memperburuk kondisi anak dengan menciptakan stigma yang lebih besar. Hal ini mencerminkan kegagalan sistem dalam melindungi anak yang seharusnya menjadi prioritas utama.

Di sisi lain, penyebaran video porno ini di masyarakat juga semakin menyudutkan posisi anak korban. Alih-alih menerima dukungan, anak tersebut justru menjadi bahan perbincangan negatif yang memperburuk trauma yang dialaminya.

BACA JUGA:  Inflasi “Volatile Food”

Masyarakat seharusnya lebih bijak dalam menyikapi isu sensitif ini dan tidak terjebak dalam perilaku viral yang hanya menambah penderitaan bagi korban. Stigma yang ditimbulkan akibat tindakan ini berpotensi menghancurkan masa depan anak dan menghambat proses pemulihan mereka.

Perlindungan Anak terhadap Kekerasan Seksual di Indonesia

Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 1990. Dalam konteks kasus ini, hubungan tidak sehat antara guru dan murid jelas melanggar prinsip-prinsip dasar yang dijamin oleh KHA.

Pasal 19 menekankan hak anak untuk dilindungi dari kekerasan, penganiayaan, dan pengabaian, sedangkan Pasal 28 menjamin hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Ketika seorang guru terlibat dalam sexsual abuse, proses pendidikan menjadi terganggu. Pasal 39 KHA menyatakan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan berhak mendapatkan pemulihan, dan dukungan psikologis sangat penting untuk membantu mereka pulih dari trauma.

Selain KHA, Indonesia juga memiliki beberapa undang-undang yang secara khusus melindungi anak dari kekerasan seksual. Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan hak anak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan.

Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan anak sebagai individu yang berusia di bawah 18 tahun, dan Pasal 9 ayat (1a)  menegaskan bahwa setiap anak berhak dilindungi di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

BACA JUGA:  Sampah Rumah Tangga,Ibu-Ibu MT Baitus Salam Pasar Minggu Belajar Membuat Eco Enzim

 Undang-Undang Pornografi melarang eksploitasi anak dan mengategorikan pornografi sebagai sesuatu yang dapat merusak moral anak. Video yang viral jelas melanggar ketentuan ini, dan pelaku dapat dikenakan sanksi berat berdasarkan Pasal 11.

Di samping itu, UU TPKS mendefinisikan kekerasan seksual yang terjadi dalam kasus ini sesuai dengan Pasal 4 ayat (2c) dan (2e), yaitu mencakup tindakan persetubuhan terhadap anak dan pornografi yang melibatkan anak.

Dalam Pasal 7 ayat (2) menekankan hak anak untuk dilindungi dari kekerasan seksual, dan juga Pasal 67 yang memuat hak-hak korban, termasuk akses terhadap perlindungan dan pemulihan korban.

Pencegahan, Penanganan, Restitusi, dan Rehabilitasi

Kasus ini menunjukkan perlunya langkah pencegahan yang lebih kuat. Mengingat pencegahan lebih mudah dan murah ketimbang penanganan. Pasal 79 ayat (4) UU TPKS mendorong adanya upaya pencegahan tentang kekerasan seksual di satuan pendidikah, dan tempat-tempat lain yang berpotensi terjadi tindak pidana kekerasan seksual.

Pelaporan juga menjadi sangat penting; Pasal 70 UU TPKS menetapkan mekanisme yang harus dioptimalkan agar anak korban dan saksi dapat melaporkan tanpa rasa takut akan stigma.

Namun demikian, bila sudah terjadi maka restitusi bagi korban menjadi hal yang krusial untuk diperjuangkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU TPKS. Selain itu, Pasal 16 UU Pornografi juga harus segera dilakukan yaitu melakukan pendampingan, serta pemulihan kesehatan fisik dan mental untuk membantu anak korban pulih dari trauma.

Peran Semua Pihak

Dalam konteks kasus video porno kali ini agar tak terulang kembali, peran semua pihak sangat diharapkan. Orang tua, meskipun menghadapi berbagai masalah, harus aktif berperan memberikan perhatian dan dukungan emosional. Komunikasi terbuka dapat membantu anak merasa aman.

BACA JUGA:  Naik, Kasus Kekerasan Seksual Anak

Begitu juga dengan peran guru yang harus menciptakan lingkungan belajar yang aman dan menjadi pendengar yang baik bagi murid. Mereka harus memahami hak-hak anak dan mengenali perilaku yang tidak pantas.

Dalam hal anak tidak memiliki orang tua, maka pengurus panti yatim piatu juga memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan perhatian yang konsisten dan menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak yang kehilangan orang tua.

Selain itu, masyarakat juga berperan dalam menciptakan lingkungan yang aman. Program penyuluhan tentang kekerasan seksual dan perlindungan anak dapat meningkatkan kesadaran. Dukungan komunitas untuk anak-anak yatim piatu, melalui panti asuhan atau program mentoring, dapat memberikan rasa aman dan memperkuat jaringan perlindungan bagi mereka.

Kesimpulan

Kasus video porno guru dan murid ini menyoroti perlunya penerapan hukum yang tegas dan sistematis untuk melindungi anak dari kekerasan seksual secara umum maupun berbasis elektronik. Undang-undang yang ada, bersama prinsip-prinsip dalam Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak, memberikan kerangka yang kuat untuk melindungi hak-hak anak.

Upaya kolektif dari pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan pengurus panti yatim piatu sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak di seluruh Indonesia. Hanya dengan kerjasama yang solid, kita dapat memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi penerus.***