Lombok Baru, Koran Republik di Jaman NICA

Ketika masih intens dalam aktifitas jurnalistik di tahun 1990-an, saya sering bertanya pada beberapa wartawan senior. Salah satunya tentang media cetak pribumi yang terbit di Lombok di masa revolusi.”Yang saya tahu Gelora, tapi koran ini mulai terbit di tahun 1950-an,” kata Syam Chandra (alm), pensiunan wartawan RRI Mataram yang belakangan menjadi Kepala Perwakilan Kantor Berita Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB).

Informasi ihwal koran Gelora juga saya temukan di majalah Tempo edisi 39 tahun 1974. Majalah ini menurunkan laporan tentang Gelora yang berhenti terbit.

“DI NTB yang berpenduduk 2 1/2 juta jiwa itu, sekarang tak sebiji pun koran yang terbit. Kalau toh ada, hanyalah berupa buletin stensilan dari beberapa humas instansi pemerintah, yang jumlahnya tak kurang dari setengah lusin. Misalnya Pelita (humas kantor gubernur), Wibawa (kantor penerangan kabupaten Lombok Barat), Kumandang (perwakilan P & K NTB), Gembala (inspeksi Peternakan NTB). Bisa difaham kalau NTB merasa iri terhadap kedua tetangga di sebelah-menyebelahnya. Nusa Tenggara Timur, jiran sebelah timur, beruntung punya majalah umum Dian yang dicetak offset. Sedang Bali, tetangga sebelah barat, jangan tanya lagi. Di sana ada Bali Post dan Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara,” tulis Tempo mengawali laporan yang berjudul “Pers Malu-malu Kucing”.

Majalah ini mengungkapkan, untuk mengetahui situasi daerahnya, masyarakat NTB harus mengikuti penerbitan-penerbitan ibukota. “Sedang satu-satunya koran umum di NTB, yaitu GeIora yang sempat bernafas 20 tahun, sejak Mei lalu tak lagi bernafas karena dicabut SIC-nya. Untuk bisa terbit lagi, Gelora mau memperbaharui SIC ke Laksusda Kodam XVI/Udayana di Denpasar,” lanjut Tempo.

Jawaban yang membuat rasa penasaran cukup terjawab, saya dapatkan ketika membaca catatan Kiagus Adnan, perintis pers di NTB, yang dibukukan Rosihan Anwar pada 1977. Ternyata ada koran yang terbit jauh sebelum Gelora muncul.

Di buku berjudul Profil Wartawan Indonesia itu, Kiagus Adnan menjelaskan, di tahun 1947, di jaman pendudukan NICA — masa-masa hubungan dengan Pemerintah RI terputus — ia mulai memasuki dunia kewartawanan. Ia bekerja di surat kabar yang terbit di Kota Ampenan. Nama koran itu Lombok Baru.

BACA JUGA:  Ketika Media Asing Soroti Kemenangan Prabowo Gibran: Winter is Coming

“Menurut penilaian saya, bekerja dalam bidang wartawan adalah suatu pekerjaan yang bebas, merdeka, dan tidak dapat dipengaruhi oleh siapa pun juga. Saya memilih mengabdikan diri melalui profesi ini, walaupun terlalu banyak meminta derita dan pengorbanan bagi pribadi dan keluarga saya. Semoga masa terang akan tiba juga bagi profesi ini,” ungkapnya.

Lalu saya dapatkan ulasan lebih panjang tentang koran Lombok Baru di majalah Pers Indonesia No 31 yang terbit di Bulan Juli 1982. Di media milik Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan itu, Kiagus Adnan memaparkan, redaksi Lombok Baru berada di dekat jembatan Jangkok Ampenan. Menumpang di ruangan bawah kantor Koperasi Serikat Dagang Indonesia (SEDIA). Koperasi ini dipimpin Kiagus Muchsin — akrab dipanggil Kepala Melayu — sekaligus tempat penampungan sejumlah tenaga yang non koperatif dengan Belanda (NICA).

Lombok Baru terbit dua kali seminggu, mulai Januari 1947, bermodal sebuah mesin stensil tua bermerek Gestetner. Mesin ini pemberian Ahmad Diponegoro, seorang pejuang pro republik. Untuk mengetik berita, digunakan dua buah mesin tik yang juga tua, masing-masing bermerek Remington dan Royal.

“Inilah koran pertama berhaluan republik yang terbit di Pulau Lombok. Diterbitkan untuk membangkitkan semangat rakyat agar tetap membela dan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945,” tulis Kiagus Adnan.

Koran Lombok Baru dinakhodai PSJ Lessikh. Posisinya sebagai pemimpin umum dan penanggung jawab.

Lessikh sosok unik. Ke mana-mana selalu mengunyah sirih. Ia juga punya kedudukan sebagai pegawai terkemuka Nederlandsche Handels Bank, bank milik Belanda yang berkantor di Ampenan. Lelaki yang humoris, namun disegani para ambtenar Belanda. “Seorang pro republik yang menyelinap bekerja di bank Belanda,” katanya.

Jajaran redaksi dipimpin Anuarbek, yang mahir berbahasa Belanda dan Inggris. Lelaki ini bekas wartawan Bintang Borneo, Banjarmasin. Di posisi staf redaksi tercantum nama Eroplan, Kiagus Alwi, dan Kemas Sani. Kiagus Adnan sendiri sebagai reporter utama, membawahi beberapa reporter muda lainnya.

Tidak hanya populer di Lombok, koran Lombok Baru juga dikenal di luar negeri. Itu berkat inisiatif Anuarbek yang selalu mengirimkan setiap terbitan koran ini ke PBB, UNESCO, dan beberapa negara lain. Sehingga redaksi Lombok Baru cukup banyak mendapat kiriman berbagai booklet dan surat kabar luar negeri.

BACA JUGA:  MZ Al Faqih: Optimis Judicial Review Perpanjangan Masa Jabatan Komisioner KPI/KPID Dikabulkan MK

Sedangkan kepala tata usaha dan sirkulasi diserahkan pada Yusran Seman, adik Abdillah Seman. “Apabila orang mengenal nama pemain sepak bola nasional Junaidi Abdillah di masa-masa lalu dan sekarang ini, dia adalah putera dari Abdillah Seman,” jelas Kiagus Adnan.

Lombok Baru di jaman NICA mempunyai klub sepak bola. Nama kesebelasannya Pakat Kita (PK) yang dipimpin Anuarbek. Sedangkan para pemainnya antara lain Abdillah Seman, Eroplan, dan Anuarbek sendiri.

Koran ini punya misi, selain menggemakan semangat republik di daerah pendudukan Belanda, juga mempersatukan generasi muda melalui olahraga sepak bola, bulu tangkis, catur, dan lainnya.

Di samping editorial yang diisi secara bergiliran, Lombok Baru mempunyai pojok dengan nama Papuq Toaq. Istilah dalam bahasa Sasak yang berarti kakek tua. Pojok ini ditangani Lessikh. “Dia seringkali mendapat panggilan polisi NICA karena isi pojok koran ini. Tetapi karena Lessikh sangat fasih berbahasa Belanda dan mafhum tentang pers, akhirnya Belanda kewalahan,” tutur Kiagus Adnan.

Bukan hal mudah menerbitkan koran di masa itu. 24 jam sebelum penerbitan pertama Lombok Baru, redaksi harus mengajukan surat permohonan kepada penguasa. Termasuk lampiran sebanyak lima eksemplar untuk Raad van Justitie atau kejaksaan dan pejabat atau instansi terkait lainnya. Sedangkan untuk keperluan liputan, selain diteken pemimpin redaksi, press card juga harus ditandatangani Komandan Polisi Pulau Lombok. Itu untuk memudahkan kontrol terhadap setiap wartawan.

“Waktu itu belum ada percetakan di Lombok, karenanya press card Lombok Baru dibuat di atas kertas agak tebal, kemudian diketik,” kenangnya.

Setelah penyerahan kedaulatan 19 Desember 1949, Kiagus Adnan menggantikan kedudukan Anuarbek sebagai pemimpin redaksi. “Pada saat itu, Saleh Sungkar, tokoh pejuang republikein di Lombok, keluar dari penjara. Mulailah angin politik berhembus, untuk mendirikan partai-partai di Pulau Lombok,” ungkapnya. Ia menyebutkan, Saleh Sungkar, bersama beberapa awak Lombok Baru, diantaranya Kiagus Alwi, Anuarbek, Etoplan, dan Tahir Tayibnapis, lalu bergabung dengan Partai Masyumi.

BACA JUGA:  DPRD Agar Uji Kelayakan dan Kepatutan Seleksi KPID NTB Secara Terbuka

Kiagus Adnan teringat saat ia sempat berurusan dengan polisi NICA gara-gara masalah yang ia anggap sepele. Lombok Baru memuat tentang seorang lelaki bernama Bachrun. Ia pedagang jamu bermerek Asia. Penampilannya perlente. Dengan stelan jas lengkap dengan dasinya, Bachrun yang berasal dari Banjarmasin, menawarkan jamu ke pasar-pasar. Sambil jualan ia mengatakan, apabila jamu Asia dicampur dengan telur, warnanya akan menjadi merah-putih. Karena merah-
putih, jamu tersebut mujarab bagi kesehatan tubuh.

Esoknya, Lombok Baru memuat berita berjudul “Merah Putih Dapat Membasmi Segala Parasit di Dalam Badan”.

Kiagus Adnan diminta menemui Onken, Kepala Polisi NICA yang berkantor di Ampenan. Tulisan itu dianggap politis.

Lalu, Bachrun, pedagang jamu yang dituduh berpropaganda tentang republik diusir dari Lombok.

“Lombok Baru hanya memuat berita fakta. Seorang jurnalis merasa berdosa apabila memuat berita tanpa dukungan fakta,” kata Kiagus Adnan kepada Kepala Polisi NICA.

“Ya, saya juga mengerti. Cuma Pemerintah Kerajaan meminta jangan sampai ada pemuatan berita-berita politis,” tegas Onken sambil menepuk bahu Kiagus Adnan, lalu menyuruhnya pulang.

Pada 1954, Kepala Daerah Lombok Mamiq Ripaah meresmikan press room pertama, di kantornya yang sederhana — bekas kantor DPRD NTB yang sekarang kompleks kantor Gubernur NTB. Kiagus Adnan ditunjuk sebagai ketuanya. Saat acara peresmiannya ia membaca kawat dari Presiden Soekarno dan Penerangan Ruslan Abdulgani. Bunyinya, “Pers Indonesia adalah pers yang berjuang ikut dalam menegakkan kemerdekaan. Karena itu, pemerintah daerah diharapkan agar bekerja sama dengan orang pers untuk kepentingan pembangunan.”

Oplah awal Lombok Baru sebanyak 2.500 eksemplaar. Secara teratur lalu meningkat menjadi 3.500 eksemplar. Tanpa keterangan jelas, koran ini berhenti terbit pada April 1955.

Tapi Kiagus Adnan sendiri, di tahun yang sama lalu mendirikan koran Gelora yang dipimpinnya hingga 1974. Lalu ia diangkat sebagai Kepala Cabang Kantor Berita Antara sampai 1980. Di tahun itu ia terpilih sebagai Ketua Persiapan Perwakilan PWI NTB. Terakhir, ia bekerja sebagai wartawan Kantor Berita KNI Perwakilan NTB di Mataram. (Buyung Sutan Muhlis)