110 Tahun Pariwisata Lombok

Oleh : Buyung Sutan Muhlis

Sejak kapan pariwisata Lombok dimulai? Ada banyak yang mengatakan sejak akhir 1980an. Indikatornya beberapa akomodasi di kawasan Senggigi yang mulai berdiri di masa itu. Sementara nama Sengigi sendiri saya belum temukan dalam dokumen-dokumen yang diterbitkan sebelum tahun 1960an.

Bicara tentang kawasan ini, saya teringat cerita mertua saya. Dia pernah punya tanah di Senggigi, luasnya sekitar dua hektar. Karena tidak pernah sempat dikelola, lahan itu ditukarnya dengan dua ekor kambing di awal 1980an. Jika di masa itu Senggigi sudah menjadi kawasan pariwisata terkenal, tentu mertua saya tak akan mudah melepaskan tanahnya. Jangankan dengan dua ekor kambing, ditukar dengan dua ekor gajah pun ia pasti mikir-mikir.

Nama Lombok sebagai destinasi yang dipromosikan secara global bahkan jauh sebelum pemerintahan republik berdiri. Di buku “Guide Through Netherlands India” yang diterbitkan di tahun 1911, Lombok masuk sebagai daerah tujuan bersama kawasan lainnya, masing-masing Batavia, Jawa Barat, Semarang, Surabaya, Padang, Padang Panjang, Palembang, Bangka, Singapura, Sabang, Borneo, Celebes, Madura, Bali, Ambon, dan Banda. Saya mencari-cari nama Pulau Komodo, tidak ada disebutkan di buku itu.

Buku itu tergolong tebal, sebanyak 287 halaman. Diterbitkan Koninklijke Paketvaart Maatschapp (KPM), menggunakan bahasa Inggris. KPM adalah perusahaan Kerajaan Belanda. Sebuah perusahaan pelayaran yang berkedudukan hukum di Amsterdam, namun kantor pusat operasinya berada di Batavia. Kapal-kapal dari perusahaan ini meletakkan KPM di depan nama kapal. Ada yang sering gegabah menyebut KPM adalah kapal penumpang motor!

BACA JUGA:  Perempuan Sasak Pencipta Perang

Perusahaan ini beroperasi sejak 1888. Sejak Perang Dunia II, KPM berubah fungsi mengangkut tentara dan suplai logistik pasukan sekutu di bawah American British Dutch Australia Command (ABDACOM) yang berbasis di Sydney, Australia. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada 1949, KPM masih tetap beroperasi hingga dinasionalisasi Pemerintah Republik Indonesia pada 1957.

Awal beroperasi, KPM hanya didukung 29 kapal uap kecil, melayani rute pelayaran bagi penumpang dan muatan kargo antar pulau di Hindia Belanda. Perusahaan ini dengan cepat berkembang pesat. Di puncak kejayaannya KPM mengoperasikan 140 kapal. Mulai dari kapal-kapal kecil berukuran kurang dari 50 ton sampai kapal penumpang berbobot lebih dari 10.000 ton, dengan jalur pelayaran di perairan Hindia Belanda, Afrika Selatan, Australia, dan Cina.

“Dari Buleleng, kapal uap berangkat dari titik utara Bali, menyusuri perairan sepanjang pantai timur laut pulau. Setelah itu melintasi jalur luas Selat Lombok menuju Ampenan. Pendaratan ke Ampenan menggunakan blandong, jenis perahu lokal, dengan ongkos 50 sen,” demikian tertulis di buku “Guide Through Netherlands India”, di halaman 179.

Gambaran itu sekaligus menjelaskan bahwa saat itu dermaga Ampenan belum dibangun.

Disebutkan di buku itu, fasilitas jalan di Lombok tergolong istimewa, sangat cocok untuk tamasya bersepeda. Tetapi di tempat pendaratan juga tersedia dokar, gerobak kecil yang nampak menarik, sebagai sarana tranportasi.

BACA JUGA:  Viral! Brimob 'Tegur' TGB yang Asyik Nonton Balapan Dari Bukit 360 Sirkuit Mandalika

Komunikasi di Ampenan bisa terhubung ke Pulau Jawa dan Sulawesi. Sudah ada fasilitas telepon di empat titik, yaitu di Mataram, Praya, Selong, dan Labuhan Haji. Kantor pos dan telegraf ada di Kampung Repok Bebek, dekat benteng yang berada di Taman Kapitan, satu mil dari Ampenan. Ada pesanggrahan tempat menginap, di sekitar wilayah ini, dulunya rumah keluarga Asisten Residen.

Gambaran Pulau Lombok sebagai destinasi di buku itu dipaparkan cukup detil dan akurat. Misalnya ketika menyebut beberapa lokasi, “Tempat-tempat paling menarik di pulau itu adalah Mataram yang berada tiga mil dari Ampenan, tempat markas besar Asisten Residen, Kontrolir, dan Pengawas Agraria. Di depan rumah Asisten Residen, terletak taman indah yang di tengahnya terdapat monumen peringatan para prajurit yang berperang beberapa tahun yang lalu.”

Rute melewati distrik yang subur menuju Cakranegara. “Di sini ada kuil dewa, di sebelahnya terdapat makam Jenderal Van Ham dan sebuah monumen.”

Di Cakranegara juga tempat sebuah resor tamasya yang dikelilingi tembok tertutup bernama Mayura. Menempati sebagian besar area adalah kolam luas yang di tengahnya terdapat pulau dan sebuah bangunan bermotif ornamen Bali. Ada beberapa resor rekreasi milik keluarga kerajaan. Diantaranya Taman Narmada, letaknya sepuluh mil dari Ampenan.

“Taman Narmada memang luar biasa. Terdapat kolam buatan atau danau kecil yang dibangun lengkap dengan teras. Taman yang dikerjakan ratusan pekerja selama lebih dari 11 tahun, meskipun demikian masih banyak yang belum terselesaikan. Dilengkapi sebuah pasanggrahan. Pengunjung yang ingin melewati malam di sana harus mendapat ijin terlebih dahulu dari Kontrolir di Mataram. Air di taman ini sangat dingin sehingga tidak disarankan untuk mandi sebelum jam 9 pagi. Malam hari begitu nyaman dan mesti membawa selimut.

BACA JUGA:  Witan Sulaiman Terima Hadiah Beasiswa Pendidikan S2 dari Walikota Palu

Tempat peristirahatan lainnya berada di Lingsar, letaknya 6,4 km dari Ampenan. Dijelaskan, “Ini juga bekas tempat rekreasi raja. Meskipun sekarang dalam kondisi agak rusak, namun layak untuk dikunjungi.”

Di Gunung Sari, sekitar 5 mil dari Ampenan, adalah lokasi taman rusa, dalam keadaan terabaikan. Untuk mencapainya mesti menyeberangi dua sungai.

Selain itu, di Lombok terdapat tempat-tempat menarik, seperti makam-makam suci dan keberadaan pohon-pohon beringin raksasa.

Buku “Guide Through Netherlands India” juga mencantumkan tarif biaya tranportasi menuju beberapa obyek pelancongan. Ongkos menggunakan dokar dari Ampenan ke Mataram pergi dan pulang sebesar ƒ (gulden) 1, Mataram-Narmada ƒ 4,5, dan ke Narmada melalui lingsar pergi dan pulang ƒ 5.

Promosi atau cara branding pariwisata yang jujur, apa adanya. Sungguh mengesankan. Dan itu dipublikasikan 110 tahun yang lalu. Narasinya sudah demikian menarik. Bagaimana sekarang? Masak kalah dengan orang-orang jadul. (Buyung Sutan Muhlis)