Mempertanyakan Arah Kebijakan Pertanian

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 atau “Sustainable Development Goals (SDGs) 2030” telah disepakati oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia sebagai tujuan pembangunan global.

Pertanyaannya: Apakah kebijakan pembangunan pertanian telah selaras dengan “SDGs 2030” sehingga yang menjadi arah kebijakan pertanian adalah pembangunan pertanian berkelanjutan atau dikenal dengan “sustainable agriculture”.   

     Petani kita masih menggunakan pupuk anorganik. Untuk petani yang tergabung dalam Kelompok Tani dapat memperoleh pupuk anorganik subsidi. Berbeda dengan petani yang tidak tergabung dalam wadah Kelompok Tani, mereka harus membeli pupuk anorganik non-subsidi. Di satu sisi, penggunaan pupuk anorganik dapat meningkatkan produktivitas pertanian dengan cepat, tetapi tidak berlangsung dalam waktu lama. Disisi lain, penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan tanah menjadi sakit (“soil sickness”), kelelahan tanah (“soil fatigue”), dan inefisiensi. 

BACA JUGA:  Indeks Pembangunan Keluarga      

     Penggunaan pupuk anorganik juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan unsur hara dalam tanah, rusaknya struktur tanah, dan pencemaran lingkungan. Kapasitas hampir semua tanah dalam menyerap pupuk anorganik tidak lebih dari 50 persen, sehingga sisanya sekitar 50 persen menjadi tidak terserap kemudian terakumulasi sebagai senyawa beracun bagi lingkungan. Dalam pada itu, menurut Parman dan Sunarpi (2005) bahwa konsentrasi nitrat yang terkandung dalam lingkungan di Pulau Lombok yang berasal dari akumulasi pupuk anorganik telah mencapai 800-1000 ppm dimana konsentrasi ini lebih tinggi dari konsentrasi yang diperbolehkan oleh WHO sebesar sekitar 200 ppm.

BACA JUGA:  Media Pembelajaran

     Bila kita memiliki komitmen ke arah kebijakan pertanian berkelanjutan atau “sustainable agriculture”, maka penggunaaan pupuk anorganik tentu disertai dengan penggunaan pupuk organik. Pengunaan pupuk organik dapat memperbaiki sifat kimia, biologi dan fisik tanah, serta efisiensi penggunaan pupuk. Penggunaan pupuk organik sebagaimana dikemukakan oleh Murnita dan Arita TY (2021) bahwa produksi padi yang dicapai dari penggunaan 75 persen pupuk organik ditambah 25 persen pupuk anorganik yakni sebesar 8,05 ton per hektar.                                          

BACA JUGA:  Larangan Mudik Lebaran, Adendum Minim Perencanaan

    Menurut FAO (2018) bahwa kandungan C-organik tanah di Pulau Lombok tergolong dalam kategori “sangat rendah” sebesar 76,74 persen dan kategori “rendah” sebesar 23,26 persen. Tidak terdapat tanah di Pulau Lombok yang memiliki kandungan C-organik “sedang”, “tinggi”, dan “sangat tinggi”. Ini menggambarkan betapa masih intensif dan masifnya penggunaan pupuk anorganik tanpa disertasi dengan penggunaan pupuk organik. Oleh karena kebijakan pertanian yang mengarah pada pertanian berkelanjutan atau “sustainable agriculture” patut dipertanyakan.(Weekend Editorial)