MATARAMRADIO.COM – Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal menyatakan tradisi adat Ngayu Ayu merupakan bentuk ungkapan rasa syukur terhadap kemakmuran dan kesejahteraan yang diberikan Allah SWT.
“Kegiatan ini sebagai penghormatan kepada Gunung Rinjani, bentuk tradisi menjaga keseimbangan alam. Semoga tradisi ini dapat terus dilestarikan,” ujarnya saat memberi sambutan pada upacara adat Ngayu Ayu di Sembalun, Lombok Timur, Kamis, 17 Juli 2025..
Bupati Lombok Timur, Haerul Warisin menyatakan, Tradisi Ngayu Ayu bukan sekadar budaya melainkan menyimpan tuntunan, doa, dan harapan.
Karena itu, generasi muda Sembalun diharapkan tidak sekadar menghadiri dan mengikuti kegiatan tersebut, tetapi dapat diteruskan dan diimplementasikan di masa-masa mendatang.
Menurut Bupati, Ngayu Ayu menggambarkan hubungan dengan alam dan isinya. Dimana, Ngayu Ayu sebagai salah satu bentuk pelesatarian adat budaya di kawasan Utara Lombok Timur

“Atas nama Pemerintah dan masyarakat Lombok Timur, saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh yang hadir, Bapak Gubernur, masyarakat adat, ratu dan raja, dari berbagai wilayah di Indonesia, yang tetap dengan penuh khidmat mengikuti Ngayu Ayu di Sembalun ini,” kata Bupati.
Sebagai informasi, Tradisi Ngayu Ayu dilaksanakan tiga tahun sekali dimulai dengan pengambilan air dari 13 mata air oleh pemangku adat Sembalun untuk dikumpulkan di Berugak Desa Sembalun Bumbung.
Ritual dilanjutkan dengan pembacaan lontar oleh para Pujangga Sasak dan sesampang atau pemberitahuan kepada leluhur dan penguasa alam. Sesudah itu dilakukan penyembelihan kerbau yang kemudian kepalanya dikubur sebagai pantek atau pasak bumi Sembalun dan Lombok Timur umumnya.
Pada hari berikutnya dengan pemberangkatan air dari berugak desa menuju lapangan upacara adat. Prosesi ini diikuti pemuka adat dan pemuka masyarakat diiringi tarian tandang mendet. Puncaknya adalah mapakin yang diawali dengan silaturahmi antara sesepuh adat dengan para tamu undangan.
Tamu undangan tidak saja berasal dari masyarakat dan pemimpin bangsa sasak melainkan dari berbagai daerah lainnya yang ada di Nusantara. Mapakin dilanjutkan dengan tiga prosesi lemparan ketupat sebagai perlambang kesempurnaan shalat lima waktu, kesempurnaan bulan (purnama) dan 25 Nabi dan Rasul.
Prosesi adat ini ditutup dengan Perang Pejer atau perang penolak bala dan penumpahan air dari seluruh mata air di Kali Pusuk sebagai perlambang penyatuan bumi, air, hutan, dan komponen alam lainnya. ***









































































































































