
MATARAMRADIO.COM – Ayatollah Ali Husseini Khamenei, figur sentral dalam sejarah modern Iran, telah memimpin negara ini sebagai Pemimpin Agung sejak 1989.
Lahir pada 19 April 1939 di Mashhad, sebuah kota suci di Iran, Khamenei kini berusia 86 tahun dan tetap menjadi sosok yang memengaruhi arah politik, agama, dan militer Iran.
Di tengah ketegangan geopolitik, termasuk konflik dengan Israel, perjalanan hidupnya mencerminkan kombinasi unik antara perjuangan revolusioner, pendidikan agama mendalam, dan kepemimpinan spiritual yang kokoh.


Selain sebagai Pemimpin Agung, ia juga menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata, Imam Salat Jumat Teheran, dan Direktur Yayasan Ensiklopedia Islam, menjadikannya salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia Islam Syiah.
Latar Belakang dan Masa Kecil
Ali Khamenei lahir sebagai anak kedua dari pasangan Hujjatolislam wal-Muslemin Haji Sayyid Jawad Husseini Khamenei dan Mirdamadi.
Ayahnya adalah seorang ulama dan guru agama terkemuka di Mashhad, sedangkan ibunya berasal dari keluarga terpelajar dengan komitmen kuat terhadap ajaran Islam.
Meskipun berasal dari keluarga terpandang, masa kecil Khamenei jauh dari kemewahan. Dalam wawancara yang dikutip dari situs resminya, Khamenei.ir, ia mengenang masa kecilnya yang penuh keterbatasan, sering kali hanya mengandalkan roti dan kismis sebagai makanan sehari-hari.
Kemiskinan ini tidak menghalangi semangatnya untuk mengejar pendidikan dan memperdalam keimanan.
Pendidikan agama Khamenei dimulai sejak usia dini di Mashhad, sebelum ia melanjutkan studinya di Qom, pusat pembelajaran agama Syiah terkemuka di Iran.
Di sana, ia berguru kepada ulama-ulama besar, termasuk Ayatollah Ruhollah Khomeini, yang kelak menjadi mentor sekaligus figur inspirasional baginya. Pengaruh Khomeini tidak hanya membentuk pemahaman agamanya, tetapi juga pandangan politiknya terhadap pemerintahan monarki Iran yang saat itu dipimpin oleh Shah Mohammad Reza Pahlavi.
Perjuangan Revolusioner
Sebelum menjadi pemimpin tertinggi Iran, Ali Khamenei adalah seorang pejuang revolusioner yang aktif menentang rezim monarki. Pada 1960-an, ia bergabung dengan komunitas pemuda yang menyerukan reformasi dan menolak pengaruh Barat yang dianggap merusak nilai-nilai Islam.
Aktivismenya membuatnya menjadi target pemerintah, dan ia ditangkap sebanyak enam kali karena dianggap sebagai pemberontak. Bahkan, ia pernah diasingkan oleh rezim Shah, sebuah pengalaman yang semakin memperkuat tekadnya untuk memperjuangkan perubahan.
Ketika Revolusi Iran 1979 meletus, Khamenei menjadi salah satu tokoh kunci. Ia dipercaya oleh Khomeini untuk bergabung dalam Dewan Revolusi, sebuah lembaga yang bertugas mengawasi transisi kekuasaan pasca-revolusi.
Setelah dewan ini dibubarkan, Khamenei diangkat sebagai wakil menteri pertahanan, menunjukkan kepercayaan besar yang diberikan kepadanya dalam membangun fondasi Republik Islam Iran.
Selain itu, ia juga menjadi wakil pribadi Khomeini di Dewan Pertahanan Tertinggi, posisi yang memperkuat pengaruhnya di kalangan elit revolusioner.
Kebangkitan sebagai Pemimpin
Pada Oktober 1981, Khamenei terpilih sebagai presiden Iran, sebuah jabatan yang saat itu bersifat seremonial. Ia menjabat dua periode hingga 1989, di bawah kepemimpinan Pemimpin Agung Ruhollah Khomeini.
Selama masa ini, kekuasaan eksekutif lebih banyak dipegang oleh perdana menteri, tetapi Khamenei tetap memainkan peran strategis sebagai orang kepercayaan Khomeini.
Konsep velāyat-e faqīh (pemerintahan oleh ahli hukum agama), yang menjadi dasar ideologi Republik Islam Iran, sangat memengaruhi peran politiknya.
Ketika kesehatan Khomeini memburuk pada akhir 1980-an, suksesi kepemimpinan menjadi isu mendesak. Khomeini sendiri menunjuk Khamenei sebagai calon penggantinya, meskipun konstitusi Iran saat itu mensyaratkan Pemimpin Agung memiliki status marja (otoritas agama tertinggi dalam Islam Syiah).
Untuk mengatasi hal ini, Khomeini meminta revisi konstitusi, namun sebelum revisi selesai, ia meninggal dunia pada Juni 1989. Dalam situasi darurat, Majelis Ahli memilih Khamenei sebagai Pemimpin Agung, sebuah posisi yang telah ia pegang hingga kini.
Garis Keturunan dan Warisan Spiritual
Ali Khamenei bukan hanya seorang pemimpin politik, tetapi juga figur spiritual dengan garis keturunan yang dihormati dalam tradisi Syiah.
Ia diklaim sebagai keturunan ke-38 Nabi Muhammad melalui garis Imam Sajjad, cucu Nabi Muhammad. Nenek moyangnya berasal dari suku Quraysh di Semenanjung Arab, dan keluarganya memiliki sejarah panjang sebagai ulama terkemuka.
Ayahnya, Sayyid Jawad Husseini Khamenei, adalah ulama terpandang dari Tabriz, keturunan Sayyid Mohammad Husseini’s Tafreshi, yang memiliki hubungan dengan Sultan Sayyid Ahmad, seorang keturunan Imam Sajjad.
Dari sisi ibu, Khamenei juga memiliki garis keturunan ulama yang kuat. Ibunya adalah putri Ayatollah Sayyid Hashem Najafabadi Mirdamadi, seorang ulama terkenal yang merupakan murid Akhund Khorasani dan Mirza Mohammad Hossein Naeeni.
Kakeknya ini dikenal sebagai ahli Al-Qur’an dan pemimpin salat di Masjid Goharshad, salah satu masjid bersejarah di Mashhad. Warisan keluarga ini memberikan Khamenei legitimasi agama yang kuat, yang menjadi pilar utama dalam kepemimpinannya sebagai Pemimpin Agung.
Kepemimpinan di Tengah Tantangan
Sebagai Pemimpin Agung, Khamenei memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan kebijakan negara, termasuk di bidang militer, yudisial, dan agama.
Ia memainkan peran kunci dalam menjaga ideologi Republik Islam Iran, terutama dalam menghadapi tekanan eksternal seperti sanksi ekonomi dari Barat dan ketegangan dengan Israel.
Pada 2025, di tengah eskalasi konflik dengan Israel, kepemimpinan Khamenei tetap menjadi sorotan dunia. Ia dikenal karena pendekatannya yang tegas terhadap musuh-musuh Iran, sambil berupaya mempertahankan stabilitas dalam negeri di tengah tantangan ekonomi dan sosial.
Khamenei juga dikenal sebagai sosok yang rendah hati, mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan yang ia pelajari dari masa kecilnya. Meskipun memiliki kekuasaan besar, ia sering menekankan pentingnya keadilan sosial dan kemandirian nasional.
Di sisi lain, kritik terhadapnya juga muncul, terutama dari kelompok yang menilai pemerintahannya terlalu otoriter.
Warisan dan Pengaruh
Selama lebih dari tiga dekade memimpin Iran, Ali Khamenei telah membentuk arah negara ini melalui visi yang menggabungkan nilai-nilai agama, nasionalisme, dan ketahanan geopolitik. Ia tidak hanya melanjutkan warisan Khomeini, tetapi juga memperkuat posisi Iran sebagai kekuatan regional di Timur Tengah. Pengaruhnya melampaui batas politik, mencakup ranah spiritual dan budaya, menjadikannya salah satu figur paling kompleks dalam politik global saat ini.
Dengan latar belakang sebagai pejuang revolusi, ulama terpelajar, dan keturunan ulama terkemuka, Ali Khamenei adalah perwujudan dari konsep velāyat-e faqīh. Di usianya yang ke-86, ia tetap menjadi pilar utama Republik Islam Iran, memimpin dengan tangan besi di tengah badai geopolitik, sambil menjaga warisan spiritual dan ideologis yang telah membentuk identitas bangsa. (editorMRC)











