
Tulisan ini berangkat dari setidaknya tiga isu atau persoalan penting. Kenyataan bahwa pembangunan pariwisata di Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga kini belum sepenuhnya berhasil dalam mendongkrak kesejahteraan masyarakat lokal. Dan adanya potensi besar pariwisata NTB memberangus kearifan lokal bahkan masyarakat lokal itu sendiri.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah sudah munculnya gelombang permisivisme perilaku turis oleh masyarakat lokal yang kelak akan berdampak pada konflik sosial yang tak terduga. Untuk sementara ini, dapat dilihat bagaimana susahnya Bali mengatur perilaku turis yang arogan, yang kelak jika sudah tidak dapat dikendalikan, situasi di Lombok bukan tak mungkin jauh lebih mengerikan dibandingkan Bali saat ini.
Meskipun NTB dikenal memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa, kenyataannya potensi tersebut belum dikelola secara optimal dan berpihak pada kepentingan masyarakat setempat.


Banyak program pariwisata yang terjebak pada pola pembangunan dari atas ke bawah (top-down), yang lebih mengutamakan investasi dan pertumbuhan ekonomi makro, sementara kesejahteraan sosial, keberlanjutan budaya, dan pemberdayaan masyarakat lokal justru terabaikan. Dengan kata lain, ketimpangan ekonomi, degradasi budaya dan permisivisme merupakan ancaman yang ditimbulkan pariwisata NTB.
Untuk itu, tulisan ini menawarkan empat konsep utama sebagai dasar pijakan pembangunan pariwisata NTB yang lebih berdaulat secara kultural dan berkelanjutan secara sosial-ekonomi. Keempat konsep tersebut adalah kearifan lokal, inovasi, invensi, serta adaptasi waktu ke waktu.
Keempat konsep tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam kerangka pembangunan yang berakar kuat pada realitas budaya, agama dan masyarakat lokal. Namun, tulisan ini ingin mengeaskan bahwa kearifan lokal diposisikan sebagai fondasi utama, sebab di sanalah terletak sumber daya kultural yang paling otentik, yang mampu memberi arah bagi inovasi, inensi maupun adaptasi ke depan.
Harus jujur kita akui, di tengah capaian statistik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, sejatinya pariwisata NTB berdiri di persimpangan antara kekayaan lokal dan hasrat untuk maju. Wilayah ini diberkahi dengan sumber daya alam (SDA) yang memesona dan sumber daya manusia (SDM) yang kaya dengan kearifan lokal.
Namun, dalam kenyataan pembangunan pariwisata yang ada, terlihat ketimpangan antara dasar pijakan dan arah tujuan. Tujuan pembangunan pariwisata, sebagaimana sering dideklarasikan dalam dokumen perencanaan dan retorika kebijakan adalah untuk memberdayakan, menyejahterakan, memperkuat identitas dan ekonomi lokal.
Tetapi kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa dasar pengembangan pariwisata NTB masih lemah karena tidak berpijak kokoh pada potensi internal daerah, terutama pada kekuatan kulturalnya sendiri. Kebiasaan meniru bentuk-bentuk pariwisata dari luar, tanpa penyaringan kritis terhadap nilai, konteks, dan dampaknya, menyebabkan praktik pariwisata di NTB rentan menjadi imitasi kering yang menjauh dari realitas lokal. Maksudnya, sejauh ini, pariwisata NTB belum menemukan karakter khasnya, belum juga menunjukkan gap pembeda dengan daerah lain.
Masalah mendasarnya terletak pada pola pembangunan pariwisata yang cenderung mengimpor model dan paket siap pakai dari luar. Seolah-olah pariwisata bisa di-copy-paste dari satu wilayah ke wilayah lain tanpa mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan ekologis yang khas.
Dalam kerangka ini, kehadiran empat konsep utama yang saya tawarkan kearifan lokal, inovasi dan invensi, serta adaptasi waktu ke waktu, sangat penting untuk terus ditelaah agar semakin mengakar untuk menjadi pijakan teoritis dan praktis bagi pembangunan pariwisata yang lebih berdaulat secara kultural dan berkelanjutan secara sosial-ekonomi.
Kearifan lokal merupakan fondasi utama. Ia bukan sekadar hiasan eksotik atau atraksi yang dikomodifikasi dalam brosur wisata, tetapi seharusnya menjadi prinsip dasar dalam perumusan arah dan cara pembangunan pariwisata.
Kearifan lokal adalah pengetahuan yang lahir dari pengalaman panjang masyarakat dalam berelasi dengan lingkungan mereka, dalam bentuk tradisi, ritus, arsitektur, pola kerja, dan nilai hidup sehari-hari. Kearifan ini menjadi penanda identitas dan modal sosial yang berharga.
Kearifan lokal adalah cermin dari kemanusiaan yang tidak boleh dimusnahkan, sebab di dalamnya terkandung nilai, ingatan kolektif, dan etika hidup yang membentuk jatidiri suatu masyarakat. Ia bukan sekadar warisan budaya, tetapi merupakan ekspresi dari cara manusia lokal memahami dan merawat hubungan dengan alam, sesama, dan yang transenden. Dalam konteks NTB, kearifan lokal terlihat dalam pelbagai bentuk. Misalnya tata ruang desa, hukum adat, relasi sosial yang egaliter, kesenian, serta pola pemanfaatan alam yang lestari. Semua ini lahir bukan dari teori, melainkan dari praktik hidup yang terus diasah oleh generasi demi generasi.
Menghapus atau mengabaikan kearifan ini demi logika industri pariwisata yang seragam (global tourism) berarti memutus akar kemanusiaan itu sendiri.
Seperti diingatkan oleh Vandana Shiva (1997) dalam Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge, penghancuran kearifan lokal adalah bentuk kekerasan epistemologis yang tak hanya merusak budaya, tetapi juga merampas hak hidup masyarakat lokal atas dunia mereka sendiri.
Maka, mempertahankan kearifan lokal bukanlah romantisme masa lalu, melainkan tindakan etis dan politis untuk menjaga martabat manusia dan keberlangsungan masa depan. Dengan begitu, diharapkan pariwisata NTB dapat mendudukan masyarakat lokal dalam tujuan: kemajuan dan kemakmuran dunian di rumah sendiri.
Namun demikian, menjadikan kearifan lokal sebagai pijakan tidak berarti menyanjungnya sebagai sesuatu yang sakral dan beku. Kearifan lokal harus dipandang sebagai sumber daya yang dinamis, yang dapat berkembang melalui proses inovasi dan invensi.
Di sinilah pentingnya membangun pendekatan kritis terhadap tradisi: mempertahankan nilai dasarnya, namun tidak menutup kemungkinan untuk bertransformasi sesuai kebutuhan zaman.
Sebagaimana disampaikan oleh Clifford Geertz, kebudayaan adalah proses penafsiran yang terus-menerus dalam praktik sosial. Oleh karena itu, kearifan lokal dalam konteks pariwisata NTB mesti dibuka sebagai ruang kreatif untuk melahirkan bentuk-bentuk baru yang relevan dengan kebutuhan kontemporer tanpa mencabut akarnya dari lokalitas.
Inovasi dan invensi dalam pariwisata NTB mesti berangkat dari kesadaran terhadap kebutuhan lokal, bukan hanya selera pasar wisata global. Pembangunan bukanlah semata soal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga perluasan kebebasan substantif manusia untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai yang mereka hargai.
Dalam konteks NTB, ini berarti inovasi kepariwisataan tidak boleh merusak lingkungan, meminggirkan masyarakat lokal, atau mengubah struktur sosial secara represif.
Sebaliknya, inovasi kepariwisataan mestilah menguatkan posisi masyarakat sebagai pelaku utama pariwisata. Bukan hanya sebagai objek tontonan atau tenaga kerja murah. Inovasi dapat berbentuk metode digital dalam promosi wisata, model bisnis partisipatif, reinterpretasi budaya dalam paket wisata, atau pengembangan produk kreatif berbasis sumber daya lokal. Dengan kata lain, pada saat yang sama, inovasi pemikiran, tingkah laku, dan teknikal dalam kepariwisataan mestilah berjalan seiring.
Invensi berbeda dari inovasi yang sering kali merupakan pengembangan dari yang sudah ada. Invensi merujuk pada penciptaan yang benar-benar baru, meskipun tetap berakar pada konteks lokal.
Dalam pariwisata NTB, invensi dapat menjadi jalan untuk menciptakan model wisata berbasis spiritualitas lokal, wisata edukatif berbasis pelestarian alam, wisata religi berbasis pesantren, wisata ekonomi berbasis upacara, atau wisata budaya yang benar-benar menempatkan masyarakat sebagai pemilik narasi.
Tantangan terbesar dalam invensi adalah menciptakan hal baru yang tidak memutus kontinuitas dengan identitas kultural. Namun justru di sinilah letak pentingnya, karena dengan invensi yang berakar pada nilai lokal, NTB bisa keluar dari jerat meniru tanpa kritik dan menjadi pusat inovasi pariwisata berbasis nilai. Dampak besarnya adalah pariwisata NTB akan mempunyai karakternya tersendiri.
Selanjutnya, konsep adaptasi waktu ke waktu menjadi elemen penting yang menjembatani antara lokalitas dan perubahan zaman. Adaptasi bukan berarti menyerah pada arus globalisasi, melainkan membangun fleksibilitas dalam mempertahankan prinsip dasar sambil menyesuaikan diri dengan perubahan kebutuhan, teknologi, dan gaya hidup.
Pariwisata NTB harus membangun kesadaran historis tentang bagaimana masyarakatnya telah dan akan terus berubah. Dalam konteks ini, adaptasi juga berarti keterbukaan terhadap dialog antarbudaya, teknologi baru, dan permintaan wisatawan global, selama tidak mengorbankan integritas nilai lokal.
Adaptasi bukan kompromi yang menghapus identitas, melainkan strategi negosiasi aktif terhadap waktu dan tantangan.
Sebagai contoh, ritual adat yang dulunya hanya tertutup bagi komunitas, kini dapat dikemas sebagai pengalaman spiritual bagi wisatawan dengan tetap menjaga makna dan etika pelaksanaannya.
Ini bukan bentuk eksploitasi budaya, tetapi cara menjaga keberlanjutan melalui redefinisi peran budaya dalam konteks ekonomi. Adaptasi yang tepat akan menghasilkan keberlanjutan pariwisata. Tentu saja bukan hanya dalam pengertian ekonomi, tetapi juga dalam pengertian sosial dan kultural.
Dalam keempat konsep tersebut, kearifan lokal, inovasi-invensi, dan adaptasi terkandung satu benang merah yakni pentingnya pariwisata NTB yang berpijak kuat pada realitas lokal namun berwawasan ke depan. Pariwisata selalu melibatkan relasi kuasa antara yang melihat dan yang dilihat.
Jika masyarakat lokal tidak mengontrol narasi dan bentuk pariwisata yang ditawarkan, maka mereka hanya akan menjadi objek dari tatapan global yang meminggirkan.
Oleh karena itu, penting untuk membangun pariwisata NTB dengan logika yang terbalik yaitu bukan hanya soal apa yang ingin dilihat, dirasakan dan dialami oleh wisatawan, tetapi apa yang ingin ditunjukkan dan diwariskan oleh masyarakat lokal.
Kritik terhadap praktik meniru model pariwisata luar tanpa pemahaman kritis menunjukkan adanya kegagalan dalam merumuskan identitas pariwisata NTB secara mandiri. Tidak semua yang berhasil di Bali atau di Thailand bisa diterapkan di NTB.
Setiap wilayah memiliki sejarah, budaya, ekologi, dan struktur sosial yang berbeda. Dengan demikian, membangun pariwisata NTB harus dimulai dari kesadaran epistemologis bahwa masyarakat lokal adalah sumber pengetahuan yang sahih, bukan sekadar pelaksana kebijakan dari luar.
Turis dan masyarakat lokal sekurang-kurangnya wajib diletakkan setara. Namun yang paling ideal adalah semaju-majunya pariwisata NTB, masyarakat lokal tetap menjadi raja. Itulah inti memijakkan pariwisata NTB pada kearifan lokal.
Kelemahan pijakan pembangunan pariwisata di NTB hari ini sebagian besar disebabkan oleh pendekatan top-down yang lebih mementingkan kepentingan jangka pendek dan logika investasi, ketimbang kepentingan jangka panjang dan keberlanjutan sosial-budaya.
Dalam konteks ini, masyarakat kerap tidak dilibatkan secara aktif dalam perumusan, pengelolaan, dan evaluasi kebijakan pariwisata. Padahal, keberlanjutan sejati hanya bisa dicapai jika masyarakat menjadi subjek, bukan objek.
Selain itu, kelemahan lain yang sangat mencolok adalah lemahnya kualitas sumber daya manusia yang mengelola pariwisata NTB. Mereka berpendidikan tinggi namun lemah dalam pengetahuan kelokalan dan sangat miskin ideologi serta komitmen kelokalan.
Oleh karena itu, solusi bukan hanya pada peningkatan infrastruktur fisik, tetapi juga infrastruktur sosial dan kultural.
Pemerintah daerah harus membangun mekanisme partisipatif dalam merancang kebijakan pariwisata NTB. Pendidikan pariwisata berbasis lokalitas harus diperkuat.
Lembaga adat yang inklusif, komunitas kreatif, generasi muda lokak, dan pelaku usaha lokal perlu diberi ruang lebih besar untuk menjadi pengarah utama pembangunan pariwisata. Praktik pariwisata yang beretika dan berbasis nilai lokal harus menjadi norma, haru menajdi blue print, mesti menjadi roadmap utama, bukan pengecualian.
Dengan menjadikan kearifan lokal sebagai dasar pijakan, namun membuka ruang luas bagi inovasi, invensi, dan adaptasi yang kontekstual, pariwisata NTB bisa tumbuh sebagai sistem yang berakar dan bertunas. Ia tidak akan kehilangan identitas dalam arus globalisasi.
Dan tidak pula tertinggal oleh perubahan zaman. Ia akan menjadi pariwisata yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. Berpijak pada tanah sendiri, namun melangkah dengan pandangan ke masa depan.
Kaya, bahagia, sejahtera, makmur dan mendunia di rumah sendiri. Barulah pariwisata NTB itu menjadi lumbung sejati masyarakat lokal.
Seharusnya pariwisata NTB menjadi ketahanan pangan, sandang dan papan bagi masyarakat lokal. Jika tidak, maka kelak ia akan menjadi sumber bencana sosial-ekonomi yang sangat mengerikan.
Malaysia, 9 Mei 2025.









