Tambora Menyapa Dunia: Letusan Dahsyat yang Mengguncang Bumi pada 10 April 1815

Letusan Tambora 1815 adalah bencana vulkanik terbesar dalam sejarah tercatat, dengan dampak global yang membentuk iklim, sejarah, dan budaya. Kisahnya terus diteliti oleh ilmuwan untuk memahami risiko vulkanik di masa depan.

Ledakan kolosal ini, yang dimulai pada 10 April 1815, tidak hanya mengubah lanskap pulau kecil itu, tetapi juga mengguncang iklim global, memicu bencana kelaparan, dan menginspirasi karya seni abadi. Hari ini, dua abad kemudian, kisah Tambora tetap menjadi pengingat akan kekuatan alam yang tak terbendung.


Malam itu, langit Sumbawa berubah menjadi lautan api. Letusan Tambora, yang mencapai indeks eksplosivitas vulkanik (VEI) 7—salah satu yang terbesar dalam sejarah—mengeluarkan sekitar 150 kilometer kubik abu, batu, dan gas ke atmosfer.

Suara gemuruh ledakannya terdengar hingga 2.600 kilometer jauhnya di Sumatra, bahkan sampai ke Australia. “Seperti ribuan meriam ditembakkan serentak,” tulis seorang saksi mata di kapal Inggris yang berjarak ratusan kilometer dari lokasi, sebagaimana dikutip dalam catatan sejarah.

BACA JUGA:  1943 : Uni Soviet Luncurkan Stasiun Luar Angkasa Pertama Salyut I


Dampak lokalnya mengerikan. Desa-desa di Sumbawa dan pulau tetangga seperti Lombok terkubur di bawah lapisan abu setebal satu meter. Aliran piroklastik dan tsunami setempat menghancurkan komunitas pesisir. Sekitar 10.000 orang tewas akibat letusan langsung, dan puluhan ribu lainnya meninggal akibat kelaparan serta penyakit yang menyusul. “Langit gelap selama tiga hari. Kami tak tahu apakah dunia telah berakhir,” kenang seorang penyintas dari Sanggar, sebuah kerajaan kecil di kaki gunung.

BACA JUGA:  1776:  Pasukan Inggris Rebut Benteng Washington Selama Revolusi Amerika


Namun, pengaruh Tambora melampaui Sumbawa. Abu vulkanik yang terlontar hingga lapisan stratosfer menyebar ke seluruh dunia, memblokir sinar matahari dan menurunkan suhu global rata-rata sebesar 0,4 hingga 0,7 derajat Celsius.

Tahun 1816, yang dikenal sebagai “Tahun Tanpa Musim Panas,” membawa salju di bulan Juni di Eropa dan Amerika Utara, gagal panen, dan kelaparan massal. Di Inggris, harga gandum melonjak, memicu kerusuhan.

Di Amerika Serikat, petani di New England meninggalkan ladang mereka, memulai migrasi besar-besaran ke barat. “Musim dingin tak pernah pergi,” keluh seorang petani Vermont dalam jurnalnya.


Di tengah penderitaan, letusan ini memicu gelombang kreativitas. Di Jenewa, musim panas yang kelam mengurung Mary Shelley dan teman-temannya di dalam rumah. Dari kebosanan dan diskusi tentang horor, lahirlah Frankenstein, novel yang mendefinisikan genre fiksi ilmiah. Sementara itu, langit senja yang berwarna merah menyala akibat partikel vulkanik menginspirasi lukisan dramatis J.M.W. Turner, yang menangkap keindahan tragis alam.

BACA JUGA:  Kota Emas Aten: Penemuan Arkeologi Terbesar Mesir Sejak Makam Tutankhamun Menggemparkan Dunia!


Bagi penduduk Sumbawa, Tambora adalah duka yang tak terlupakan. Kerajaan-kerajaan lokal seperti Tambora dan Pekat lenyap, budaya dan bahasanya hilang selamanya. Namun, di antara puing-puing, kehidupan bangkit kembali. Kini, kawasan sekitar gunung adalah taman nasional, rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa.

Pendaki dari seluruh dunia menaklukkan puncaknya, menikmati panorama kaldera selebar 6 kilometer—monumen bisu dari letusan legendaris itu. (editorMRC)


.