Hollywood di Ujung Tanduk: Tiongkok Ancam Blokir Film AS di Tengah Perang Tarif Trump

Langkah ini muncul sebagai respons atas kebijakan tarif agresif yang dicanangkan oleh Presiden AS, Donald Trump, yang mulai besok, 10 April 2025, akan memberlakukan bea masuk sebesar 104 persen pada barang-barang asal Tiongkok.

Gedung Putih mengklaim langkah ini sebagai “tarif timbal balik” untuk melindungi ekonomi domestik, namun bagi Tiongkok, ini adalah pukulan telak yang tak bisa dibiarkan begitu saja.


Bayangkan sebuah dunia di mana layar-layar bioskop di Tiongkok, pasar film terbesar kedua di dunia, tiba-tiba kosong dari gemerlap blockbuster Hollywood seperti ledakan monster raksasa dalam Godzilla x Kong: The New Empire atau aksi penuh adrenalin dari franchise Mission: Impossible.

Bukan sekadar ancaman kosong, wacana ini mulai menggema di kalangan elit media Tiongkok yang dekat dengan pemerintah. Dua nama besar, Liu Hong dari Kantor Berita Xinhua dan Ren Yi, keturunan dinasti politik Tiongkok, secara terbuka membocorkan rencana ini melalui platform daring mereka. Keduanya mengutip “sumber terpercaya” yang mengetahui strategi balasan Beijing, menambah bobot pada rumor yang kini menjadi perbincangan global.


Tarif Trump: Bensin di Atas Bara


Kebijakan tarif Trump bukanlah hal baru, tetapi eskalasinya kali ini terasa seperti bensin yang disiramkan ke bara yang sudah menyala. Awalnya, pada pengumuman tarif global tahun lalu, Trump menetapkan bea masuk 54 persen untuk impor Tiongkok.

Kini, angka itu melonjak 50 persen lebih tinggi, mencapai 104 persen, sebuah lompatan yang disebut Gedung Putih sebagai “langkah tegas untuk menyeimbangkan perdagangan.” Namun, di mata Beijing, ini adalah “intimidasi ekonomi” yang tak bisa ditoleransi. J

BACA JUGA:  Relawan Lumpuh, Peru Hentikan Uji Klinis Vaksin Covid-19 Sinopharm China

uru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok bahkan bersumpah bahwa negaranya akan “berjuang sampai akhir,” sebuah pernyataan yang mengisyaratkan perang dagang ini jauh dari kata usai.


Di balik retorika keras itu, Tiongkok tampaknya tak hanya mengandalkan kata-kata. Selain wacana pelarangan film, sektor lain seperti pertanian AS—khususnya unggas—juga berada di ujung tanduk.

Jika benar-benar terwujud, larangan ini bisa memukul keras peternak Amerika yang selama ini mengandalkan ekspor ke Tiongkok. Namun, industri film tampaknya menjadi target yang paling mencolok, sekaligus simbolis.

Hollywood, yang selama dekade terakhir menikmati pendapatan miliaran dolar dari pasar Tiongkok, kini menghadapi ancaman eksistensial.


Hollywood di Tiongkok: Emas yang Mulai Pudar


Sepanjang 2024, film-film AS meraup sekitar $585 juta di box office Tiongkok, angka yang terlihat mengesankan namun hanya menyumbang 3,5 persen dari total pendapatan pasar film Tiongkok yang mencapai $17,71 miliar.

Sebagai perbandingan, box office domestik AS dan Kanada untuk periode yang sama “hanya” $8,56 miliar—separuh dari capaian Tiongkok. Film seperti Godzilla x Kong: The New Empire, yang mengantongi $132 juta di Tiongkok, menjadi penutup manis bagi dominasi Hollywood di sana. Namun, jika ancaman ini menjadi kenyataan, pintu emas itu bisa tertutup rapat.


Bagi Hollywood, Tiongkok bukan sekadar pasar tambahan; ini adalah mesin pendapatan yang kerap menentukan nasib sebuah film. Banyak blockbuster dirancang dengan mempertimbangkan selera penonton Tiongkok—dari penempatan aktor Tiongkok dalam peran kunci hingga penyensoran adegan yang dianggap sensitif oleh Beijing.

BACA JUGA:  Rusia Gagal Bayar Utang

Kehilangan pasar ini tak hanya akan memangkas pendapatan, tetapi juga memaksa studio besar seperti Warner Bros. atau Disney untuk mengubah strategi produksi mereka secara drastis.


Kebangkitan Sinema Tiongkok: Ne Zha 2 Mengguncang Dunia


Sementara Hollywood berjuang mempertahankan pijakannya, industri film Tiongkok justru sedang menikmati masa keemasan. Buktinya? Ne Zha 2, sebuah film animasi epik yang dirilis dengan anggaran $80 juta, berhasil meraup $2,06 miliar di Tiongkok saja, menjadikannya film animasi terlaris sepanjang masa, mengungguli Inside Out 2 dari Pixar yang “hanya” mencapai $1,7 miliar secara global.

Sekuel dari Ne Zha (2019) ini menceritakan petualangan fantasi seorang anak berkekuatan super yang berkolaborasi dengan pangeran naga untuk menyelamatkan dunia—a formula yang ternyata sangat disukai penonton lokal.


Kesuksesan Ne Zha 2 bukan kebetulan. Film ini mencerminkan ambisi Tiongkok untuk mendominasi narasi budaya mereka sendiri, mengurangi ketergantungan pada impor hiburan Barat.

Lebih jauh lagi, film ini mulai menembus pasar internasional, dengan rencana rilis di 37 wilayah Eropa, termasuk Inggris dan Irlandia. Bahkan di AS, komunitas diaspora Tiongkok melobi agar film ini tayang dalam format IMAX—sebuah ironi mengingat Hollywood kini terancam kehilangan akses ke layar Tiongkok.


Perang Budaya di Tengah Perang Dagang


Jika Tiongkok benar-benar melarang film AS, ini bukan sekadar soal ekonomi; ini adalah pernyataan budaya. Selama bertahun-tahun, Hollywood telah menjadi alat diplomasi lunak AS, menyebarkan nilai-nilai Barat ke seluruh dunia.

BACA JUGA:  Diplomasi Kebudayaan Lewat Pameran Internasional di Arab Saudi. Museum NTB Tampilkan Representasi Seni dan Budaya Islam

Bagi Tiongkok, yang kini semakin percaya diri dengan identitas globalnya, membendung arus itu adalah langkah untuk memperkuat soft power mereka sendiri. Film seperti Ne Zha 2 adalah bukti bahwa mereka tak lagi membutuhkan Hollywood untuk menghibur rakyatnya—atau bahkan dunia.


Di sisi lain, industri film AS yang menghasilkan surplus perdagangan signifikan dengan Tiongkok akan kehilangan pijakan berharga. Film Tiongkok memang jarang sukses di pasar AS, tetapi dengan semakin kuatnya narasi nasionalisme di Beijing, ketimpangan ini mungkin tak lagi menjadi masalah bagi mereka.

Sebaliknya, studio-studio Hollywood yang terbiasa meraup untung dari penonton Tiongkok harus bersiap menghadapi kenyataan baru: pasar yang dulu ramah kini bisa menjadi medan perang.


Apa Selanjutnya?


Saat dunia menunggu kepastian dari Beijing, ketegangan ini mengingatkan kita bahwa perdagangan dan budaya tak bisa dipisahkan. Tarif 104 persen Trump mungkin dimaksudkan untuk melindungi ekonomi AS, tetapi efek riaknya kini mengguncang industri yang selama ini dianggap kebal: Hollywood. Di sisi lain, Tiongkok tampaknya siap mengambil risiko, memanfaatkan kekuatan pasar domestik mereka yang masif untuk menekan AS.


Apakah ancaman ini akan menjadi kenyataan, atau hanya gertakan dalam negosiasi yang lebih besar? Hanya waktu yang akan menjawab. Namun satu hal jelas: di era perang dagang ini, film tak lagi sekadar hiburan—ia adalah senjata. Dan ketika layar bioskop Tiongkok berhenti memutar blockbuster Hollywood, dunia akan menyaksikan babak baru dalam pertarungan supremasi global yang jauh melampaui soal uang. (editorMRC)