MATARAMRADIO.COM – Ada temuan menarik yang berhasil dihimpun Konsorsium Perguruan Tinggi NTB dalam penelitiannya bekerjasama dengan BKKBN NTB mengenai maraknya kasus pernikahan dini yang berpotensi menambah angka kasus stunting di Nusa Tenggara Barat.
Salah satunya adalah praktik perkawinan anak merupakan praktik sosial yang meresahkan karena secara nyata menunjukkan dampak negatif terhadap anak perempuan khususnya baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah urban. Faktor pemahaman agama dan budaya yang “bias” dapat diasumsikan menjadi satu di antara banyak penyebab terjadinya perkawinan anak. “Menikah untuk menghindari dosa zina dan menikah itu ibadah”. Demikian pengakuan salah satu pasangan pelaku merariq kodek.
Hal tersebut diungkapkan Dr Lina Nurbaiti dari Konsorsium Perguruan Tinggi NTB dalam paparannya pada Diskusi Asik Pendidikan Kependudukan (Dakdikduk) Lokakarya dan Desiminasi Studi Kasus Pembelajaran baik stunting di Provinsi Nusa Tenggara Barat 2022 di Hotel Aston Inn Mataram, Selasa (6/12).
Diungkapkan,pandangan agama-agama dalam isu perkawinan anak sangat penting dikaji mengingat masyarakat Indonesia sangat tunduk dan taat pada ajaran agama masing-masing, dan senantiasa menggunakan referensi keagamaan dalam menghadapi isu yang berkembang di tengah masyarakat. Pada konteks perkawinan anak yang sering terjadi adalah tarik menarik perspektif agama dan adat. Berbagai upaya telah dilakukan namun angka pernikahan anak selalu meningkat dari tahun ke tahun. “Bahkan angka perkawinan tidak tercatat, dispensasi perkawinan anak selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya,”ulasnya.
Menurutnya, tingkat pemahaman, kesadaran dan kemauan masyarakat untuk membimbing dan mengntrol anak-anaknya cenderung rendah karena keterbatasan faktor ekonomi. Sebagian orang tua tidak mau dan tidak mampu membiayai sekolah dan membiayai hidup anaknya setelah anak menginjak masa SMP. “Terjadi pengalihan tanggung jawab,”tandas Lina.
Alasan utama, katanya, adalah faktor ekonomi dan permasalahan keluarga seperti pengakuan dari salah satu pasangan merariq kodek lainnya: “bapak ibu saya bercerai sejak saya masih kecil, sekarang ndak tau mereka kemana..saya hidup sama nenek, nenek ndak mampu sekolahin saya, kasian juga..lebih baik kawin, ndak membebani papuk (nenek)”.
Disebutkan,terdapat benturan antara hukum positif, hukum adat dan hukum agama. “Masyarakat termasuk beberapa oknum kepala lingkungan, tokoh masyarakat, perangkat desa, dan lain-lain akhirnya nyuri-nyuri untuk menikahkan warga yang masih tergolong anak agar tidak berbenturan dengan norma agama, yang penting sah dulu secara agama,”ungkapnya.
Lina juga menemukan fakta bahwa sosialisasi mengenai hukum positif terkait pernikahan anak juga belum tersebar luas seperti pengakuan Ny dan Tn D, pasangan pelaku merariq kodek: “ndak pernah kita lihat atau denger orang merariq seperti kita (merariq kodek) dihukum atau dipenjara..paling hanya denda dari sekolah tapi ndak tau berapa”
Salah satu tokoh yang menjadi responden penelitian mereka menyatakan bahwa sebaiknya aspek hukum itu merespon fenomena pernikahan anak ini dalam dua hal yaitu penyelesaian dan pencegahan. Keduanya dapat menggunakan instrument hukum pidana maupun hukum adat berupa awiq-awiq yang berlaku di daerah setempat. “lebih pas lagi adalah kita mengedepankan aspek pencegahan dengan berbasis permasalahan penyebab dan strategi kebijakan, baik itu kebijakan hukum postif Negara, hukum adat atau awiq-awiq serta pendekatan agama” ujar tokoh masyarakat seperti diceritakan Lina seraya menambahkan bahwa tokoh agama dan adat menyatakan adanya pemahaman dan cara pandang yang keliru atas budaya yang telah turun temurun yang ada serta ajaran agama. “salah kaprah, kabur dengan informasi di HP”,tandasnya. (Bersambung/EditorMRC)