Kemenlu Soroti Karut-Marut Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

MATARAMRADIO.COM –  Tingkat capaian penyelesaian kasus Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri setiap tahunnya selalu di atas target. Meski begitu jumlah kasusnya tidak serta merta menurun. Pada tahun 2022 semester I saja kasus yang ditangani sudah lebih dari setengah jumlah kasus 2021 yaitu 17.857 kasus.

Demikian diungkapkan Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Kementrian Luar Negeri Judha Nugraha pada giat FGD Penyusunan Background Study RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029 yang diselenggarakan Bappenas, di hotel Lombok Astoria Mataram, Jumat (19/08/22).

Menurut Judha, mengembalikan WNI dari luar negeri biayanya tidak murah. Sehingga perlu dicari kebijakan dalam proses pencegahan bukan hanya penanganan saja

BACA JUGA:  Gotong Royong, Upaya Tangani Pandemi Covid-19

Sejauh ini, katanya, mayoritas kasus terbanyak  adalah masalah keimigrasian. Banyak WNI yang masuk ke luar negeri melalui jalur non prosedural. Untuk PMI yang bekerja secara prosedural memang ada kasus, tetapi jumlahnya sedikit dan lebih mudah penanganannya karena dokumennya lengkap. “Artinya belum selesai kita menangani kasus, sudah ada kasus baru lagi terjadi. Karena itu perlu melakukan upaya pencegahan sejak di hulu,” ujarnya.

Lebih lanjut, Judha menjelaskan tantangan pelaksanaan Perlindungan WNI yaitu akurasi data migrasi, tata kelola migrasi dan penegakan hukum, policy coherence, kondisi publik domestik.

“Dari tahun ke tahun jumlah TKI yang melakukan migrasi akan semakin meningkat. Ini merupakan fenomena yang tidak bisa kita cegah. Oleh karena itu, perlu ada upaya pencegahan dari hulu untuk mengurangi kasus WNI di luar negeri. Diplomacy begin at home,” ujar Yudha.

BACA JUGA:  Vaksin untuk Sehat

Ia menekankan perlunya integrasi Sistem pencatatan antar instansi sehingga tata kelola migrasi dan penegakan hukum di daerah harus lebih dipertegas, terutama pada saat pemberangkatan pengurusan dokumen.

“CPMI sudah dipermudah oleh pemerintah melalui LTSA/LTSP. Namun perlu ada penutupan pada pintu jalan tikus yang dimanfaatkan oleh mafia/calo,” tambahnya.

Selanjutnya permasalahan di hilir, yaitu adanya perbedaan peraturan dan kebijakan antar negara pengirim dan penerima perlu dijembatani sehingga tercipta policy coherence. Kebijakan konversi visa bukan hanya dilakukan oleh Malaysia saja, tetapi juga dilakukan oleh negara lainnya. Dan ini tidak bisa di intervensi oleh pemerintah, karena mereka juga membutuhkan pekerja sehingga membuat kebijakan seperti itu. Yang dapat pemerintah lakukan adalah dengan membuat OCS (One Channel System) dengan negara penempatan agar pengiriman PMI dapat lebih diawasi.

BACA JUGA:  Hari Ini Hanya Ada Tambahan Sembilan Positif Covid-19 di NTB

“Pun dengan moratorium pengiriman PMI ke Timur Tengah karena belum adanya policy coherence. Itu harus segera dicarikan solusinya. Seharusnya moratorium tidak boleh lama-lama dilakukan, karena dapat meningkatkan kasus non prosedural,” ujarnya.

Acara FGD, selain dihadiri Bappenas, juga melibatkan, Kementrian Luar Negeri, Imigrasi, Dsnakertrans Provinsi NTB, Migrant Care, Akademisi, Media, Serikat Buruh, dan organisasi lainnya. (EditorMRC)