Status IDM Lombok Timur 2021:”Maju”

Dalam tulisan ini topik yang dibahas adalah Indeks Desa Membangun (IDM). Apa itu “Desa Membangun” dan apa bedanya dengan “Membangun Desa”?

Pada Era Orde Baru, yang terjadi adalah Membangun Desa, bukan Desa Membangun. Pada era Orde Baru desa diatur berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Spirit yang terkandung dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut adalah Membangun Desa. Kehadiran UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut diimplementasikan secara sentralistik dengan memaksakan (imposisi) kehendak prakarsa kebijakan pusat ke desa sehingga terjadi penyeragaman desa yang justru melumpuhkan prakarsa lokal.


Sebelumnya desa tidaklah seragam, melainkan beragam sebagaimana tercermin dalam penyebutan desa yang beragam seperti nagari di Minangkabau, gampong dan meunasah di Aceh, dusundati di Maluku, marga di Bengkulu, paer atau pamusung di NTB, pekon di Lampung, dusun atau marga di Sumatera Selatan, dan lain-lain (Syamsu S., 2008). Penyebutan desa yang beragam itu menunjukkan karakteristik atau ciri khas tersendiri sesuai dengan adat-istiadat dan budaya lokal. Di era Orde Baru, tidak ada lagi pengakuan (rekognisi) terhadap keberagaman desa dimana desa hanya dijadikan obyek sehingga desa yang semula mandiri tidak lagi memiliki kewenangan karena hampir semua kebijakan desa serba diintervensi dari atas (top down). Dalam konteks Membangun Desa pada era Orde Baru, dikenal tiga tipologi perkembangan desa, yaitu: Desa Swadaya, Desa Swakarya, dan Desa Swasembada.

BACA JUGA:  Orang Sasak Menginginkan Gubernur,Bukan Wakil. Titik!

Pada era Reformasi dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah terkandung pengakuan (rekognisi) terhadap keragaman desa (Lili Romli, 2019). Selanjutnya dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1999 mengatur kewenangan desa berasaskan desentralisasi-residual dimana desentralisasi hanya terhenti di kabupaten/kota kemudian desa merupakan residu kabupaten/kota (Sutoro Eko et al, 2014). Lebih jauh Sutoro Eko et al (2014) menyatakan bahwa UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak hanya memberikan pengakuan (rekognisi) terhadap keberagaman desa, kedudukan dan hak asal usul desa maupun susunan pemerintah desa serta redistribusi ekonomi, melainkan juga rekognisi terhadap subsidiaritas kewenangan desa yakni kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala desa.
Spirit rekognisi-subsidiaritas dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 adalah Desa Membangun yakni desa tidak lagi sebagai obyek, melainkan subyek utama yang merencanakan, membiayai dan melaksanakan pembangunan desa, sehingga desa terlepas dari intervensi secara top down dari pemerintah supra desa. Menurut Sutoro Eko et al (2014) bahwa Desa Membangun berarti desa mempunyai kemandirian dalam membangun dirinya (self development). Dalam konteks Desa Membangun, peran pemerintah supra desa tidak lagi melakukan pemaksaan (imposisi) maupun intervensi secara top down; tetapi memfasilitasi, supervisi dan pengembangan kapasitas desa.

Sumber data: Kemendes PDTT/BPS


Dalam pada itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menggunakan sebuah indeks untuk memotret perkembangan kemandirian desa yang disebut Indeks Desa Membangun (IDM). IDM merupakan indeks komposit yang dibentuk dari tiga indeks, yaitu indeks ketahanan sosial, indeks ketahanan ekonomi dan indeks ketahanan ekologi (lingkungan). Dalam konteks ini, ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi merupakan dimensi yang memperkuat gerakan proses dan pencapaian tujuan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

BACA JUGA:  Fatwa Ulama, Wayang dan Kontroversinya


Nilai IDM berkisar antara 0 (nol) dan 1 (satu). Satus IDM meliputi desa sangat tertinggal (IDM kurang dari atau sama dengan 0,4907), desa tertinggal (IDM lebih dari 0,4907; tetapi kurang dari atau sama dengan 0,5989), desa berkembang (IDM lebih dari 0,5989; tetapi kurang dari atau sama dengan 0,7072), desa maju (IDM lebih dari 0,7072; tetapi kurang dari atau sama dengan 0,8155), desa mandiri (IDM lebih dari 0,8155). Berdasarkan data BPS (2018) diperoleh nilai IDM Lombok Timur pada tahun 2018 sebesar 0,6724. Nilai IDM Lombok Timur pada tahun 2019 berdasarkan data Kemendes PDTT mencapai 0,6750 dan sebesar 0,7041 pada tahun 2020. Merujuk pada data Kemendes PDTT 2021 diperoleh nilai IDM Lombok Timur pada tahun 2021 sebesar 0,7161. Berdasarkan perkembangan nilai IDM Lombok Timur sejak tahun 2018 hingga 2021 dapat disimpulkan bahwa Status IDM Lombok Timur dalam periode 2018-2020 tergolong “Berkembang” kemudian pada tahun 2021 Status IDM Lombok Timur naik menjadi “Maju”. (**)

BACA JUGA:  Cara Radio Bertahan Di Era Disrupsi Teknologi