Dari Keadilan Retributif ke Keadilan Restoratif

Oleh: Lalu Muh. Kabul, H. Lalu Muh Fahri, Lalu Ali Yudia, Lalu Muh.Aris, Lalu Taufiqurrohman, Mustamin Hasyim

 Menurut Sri Wiyanti Eddyono (2007) bahwa pandangan atau pola pikir (mindset) mengenai keadilan yang selama ini mendominasi dalam pembentukan dan penerapan aturan hukum pidana, khususnya mengenai pidana dan pemidanaan adalah keadilan retributif atau “retributive justice”.

Asumsi yang digunakan dalam pandangan retributif yakni didasarkan pada asumsi hukum netral.  Karena prinsip netralitas dan obyektivitas hukum yang menjadi pertimbangan dominan, maka keadilanpun ditimbang secara netral dan obyektif. Dalam pandangan retibutif tidak terdapat tempat bagi pandangan-pandangan pribadi, terutama korban. Hal tersebut dapat dipahami karena dalam pandangan retributif dimana tindak pidana atau kejahatan dimaknai sebagai perbuatan melawan hukum. Adapun kerugian dan penderitaan korban sudah dianggap tercermin dalam ancaman sanski pidana terhadap pelaku. 

Pemidanaan dalam pandangan retributif merupakan pembalasan atas tindak pidana yang diperbuat oleh pelaku. Namun demikian, pembalasan yang dimaksud dalam pandangan retributif berbeda dengan pembalasan dendam yang sifatnya subyektif karena dalam hal ini penghukuman harus dilakukan oleh pengadilan. Dikemukakan oleh Eric Hoffer (2008) bahwa prinsip yang dianut dalam pandangan retributif bahwa pemidanaan merupakan keharusan ketika orang telah melakukan tindak pidana. Dalam pada itu, di kalangan ahli hukum pidana dimana pandangan retributif dikenal sebagai teori yang pertama kali muncul untuk memberikan argumentasi mengenai perlu dan pentingnya sanksi pidana dalam penanggulangan tindak pidana (Widiarta G., 2011). Bahkan menurut Mirko Bagaric dan Kumari A.(2008) bahwa pandangan retributif masih mendominasi dalam beberapa dekade terakhir di negara-negara barat.           

BACA JUGA:  29 Pengendara Motor Dapat "Surat Cinta" dari Polisi

      Menurut Widiarta G. (2011) penggunaan sanksi pidana sebagai sarana untuk menyelesaikan kasus menurut pandangan retributif dalam perkembangannnya mulai ditentang oleh ahli hukum pidana itu sendiri dengan memunculkan berbagai pendapat atau pemikiran mengenai penggunan sarana alternatif dalam penanggulangan tindak pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif atau “restorative justice”. Disisi lain, keadilan restoratif muncul pertama kali di kalangan para ahli hukum pidana sebagai reaksi atas dampak negatif dari penerapan hukum (sanksi) pidana dengan sifat represif dan koersif (Eric Hoffer, 2008). Keadilan restoratif tersebut diperkenalkan pertama oleh Albert Eglas (1977) dalam karyanya “Beyond Restitution:Creative Restitution”. Dalam pada itu, ada berbagai istilah lain yang digunakan sebagai padanan “restorative justice” seperti “positive justice”, reintegrative justice”, “transformative justice”, “reparative justice”, “communitarian justice”, dan lain-lain.     

BACA JUGA:  IPH, Inflasi atau Bukan?
Ir Lalu Kabul MAP, pemerhati masalah kependudukan dan sosial budaya Lombok Timur yang juga salah seorang tim penulis I foto; Mataram Radio City

      Keadilan restoratif yakni memusatkan perhatiannya pada upaya restorasi atau memulihkan (memperbaiki) kondisi atau keadaan yang rusak sebagai akibat terjadinya tindak pidana. Adapun yang direstorasi atau dipulihkan (diperbaiki) adalah korban, pelaku tindak pidana, serta kerusakan-kerusakan lain akibat tindak pidana dalam masyarakat. Restorasi tersebut dilakukan tidak dengan melihat ke belakang, yaitu tindak pidana yang telah terjadi, tetapi restorasi dilakukan agar dimasa yang akan datang dapat terbangun suatu masyarakat yang lebih baik (Widiarta G., 2011). Dengan perkataan lain, berbeda dengan pandangan keadilan retributif yang menitikberatkan pada pemidanaan terhadap pelaku sebagai pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, pandangan keadilan restoratif lebih menitikberatkan atau fokus pada restorasi atau pemulihan (perbaikan) penderitaan korban.     

     Menurut Mirko Bagaric dan Kumari A.(2008) bahwa keadilan restoratif menuntut usaha kerja sama masyarakat dan pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan korban dan pelaku dapat melakukan rekonsiliasi konflik, menyelesaikan kerugian mereka dan sekaligus menciptakan rasa aman dalam masyarakat. Dikemukakan oleh Mudzakir (2005) bahwa nilai-nilai yang ingin dicapai oleh keadilan restoratif dengan penyelenggaraan peradilan pidana meliputi dua hal. Pertama, penyelesaian konflik yang mengandung muatan pemberian ganti rugi (kompensasi) dan pemulihan nama baik. Kedua, menciptakan rasa aman yang mengandung muatan perdamaian dan ketertiban.

BACA JUGA:  Strategi Calon Kepala Daerah Pada Pilkada Serentak 2024

     Keadilan restoratif sebagaimana dikemukakan Mark Umbreit dalam Widiarta G. (2011)    berpijak pada 6 (enam) prinsip. Pertama, keadilan restoratif lebih terfokus pada upaya pemulihan korban daripada pemidanaan pelaku. Kedua, keadilan restoratif menganggap penting peranan korban dalam proses peradilan pidana. Ketiga, keadilan restoratif menghendaki agar pelaku mengambil tanggungjawab langsung kepada korban. Keempat, keadilan restoratif mendorong masyarakat untuk terlibat dalam pertanggungjawaban pelaku dan mengusulkan suatu perbaikan yang berpijak pada kebutuhan korban dan pelaku. Kelima, keadilan restoratif menekankan pada penyadaran pelaku untuk mau memberikan ganti rugi sebagai wujud pertanggungjawaban atas perbuatannya (apabila mungkin), daripada penjatuhan pidana. Keenam, keadilan restoratif memperkenalkan pertanggungjawaban masyarakat terhadap kondisi sosial yang ikut mempengaruhi terjadinya kejahatan. 

    Di Amerika Serikat keadilan restoratif digunakan oleh praktisi hukum dalam mediasi antara korban dengan pelaku tindak pidana (Mirko Bagaric dan Kumar A., 2008). Di Indonesia keadilan restoratif diterapkan oleh Kepolisian Republik Indonesia melalui Surat Edaran Kapolri Nomor:SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dan Kejaksaan Republik Indonesia melalui Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Para penulis adalah pemerhati sosio-legal di Lombok Timur.