Oleh: Buyung Sutan Muhlis
Sejak perang Lombok 1894, surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad menghadirkan secara rutin rubrik “Surat-surat dari Lombok”. Pada edisi 28 Desember 1895 koran ini menurunkan artikel tentang beberapa perkembangan di pulau ini pasca perang.
Tulisan diawali dengan kabar tentang keresahan warga di Pulau Jawa. Saat itu uang palsu dari bahan perak mulai beredar. Namun kasus tersebut tidak terjadi di Lombok, sebab penduduk lokal lebih memilih menggunakan kepeng atau uang bolong. “Kepeng atau uang bolong itu sama persis dengan mata uang yang ditemukan di Korea,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad.
Genap setahun setelah Belanda menduduki Lombok, sarana jalan raya telah dibangun mulai dari kawasan Pantai Ampenan hingga Sungai Jangkok. Di sepanjang jalan Rembige telah berdiri rumah-rumah dan toko. Gubuk-gubuk kecil sebagian besar telah dibongkar, diganti rumah-rumah batu dan kayu sehingga nampak rapi.
Telah direncanakan pembangunan rumah Asisten Residen Lombok yang akan direalisasikan pada pertengahan 1896. Letaknya di Repok Bebek (tertulis Kebon Bebek), hanya beberapa menit berjalan kaki dari kamp pasukan Belanda di Taman Kapitan. Di tahun yang sama juga akan dibangun Benteng II.
Namun Bataviaasch Nieuwsblad mengkritik kondisi kamp pertama yang dinilai serampangan. Kawasan yang sumpek dan tidak ada tempat bernaung, tidak ada pohon, tidak ada serambi depan, tidak ada ruang, serta rumah sakit dan apotik yang salah penempatan.
Di artikel itu juga disebutkan respon berbagai kalangan tentang kemenangan Belanda dalam perang Lombok. “Sejauh ini tidak banyak yang tertarik pada kemenangan itu,” demikian Bataviaasch Nieuwsblad. (Buyung Sutan Muhlis)