Suatu siang di tahun 1990-an, saat lonceng sekolah berbunyi menandai waktu istirahat, kerumunan siswa mulai bergerak menuju dinding luar ruang guru.

Penulis : Sukri Aruman (CEO Raymindo Media Network)
Bukan untuk melihat pengumuman sekolah atau hasil ulangan harian, tapi mereka tengah menanti “update” terbaru dari majalah dinding alias mading sekolah yang kami kelola.


Saya masih duduk di bangku kelas dua SMAN 1 Pringgabaya Lombok Timur kala itu. Di masa ketika belum ada gawai, internet apalagi media sosial, mading menjadi satu-satunya ruang publik di sekolah yang menyuarakan semangat, kreativitas, dan kelucuan khas remaja.
Mading adalah media kami — manual, tulis tangan, kadang diketik dengan mesin ketik merk Brother milik kantor tempat orang tua bekerja, dan tempel-tempelannya sering pakai lem kertas buatan sendiri dari kanji yang lengket.
Isinya? Campur-campur. Ada info kegiatan sekolah, pengumuman ekstrakurikuler, puisi-puisi penuh gejolak cinta masa remaja, cerita bersambung yang selalu ditunggu tiap edisi, sampai tips ringan seputar pelajaran.
Namun yang paling ramai peminat tentu saja rubrik Bursa Salam. Ruang ini semacam kupon radio favorit zaman itu — tempat siswa saling kirim salam, guyon, bahkan salam spesial yang kadang bikin pipi memerah bagi si penerima salam.



Saya ingat betul, ada teman yang sampai minta tulisannya dicabut karena tak tahan jadi bahan tertawaan. Tapi di situlah kehangatan mading hidup — sebagai cermin kecil dinamika remaja sekolah yang polos, jujur, dan penuh semangat berekspresi.
Yang membedakan saya dari kebanyakan pengelola mading waktu itu: frekuensi update. Ketika umumnya mading terbit mingguan atau bahkan bulanan, saya memilih jalan yang lebih seru — 2 kali seminggu.
Mading bukan hanya tempat tempelan informasi, tapi saya rawat seperti koran tiga harian. Kalau bisa diisi, kenapa tidak?
DARI DINDING KE TIMELINE
Tiga puluh enam tahun kemudian, saya kembali menyaksikan semangat jurnalistik itu dihidupkan ulang, tapi dalam wajah yang sangat berbeda.
Pada Sabtu, 10 Mei 2025 kemarin, saya diundang sebagai teman diskusi dalam workshop “Jurnalistik Pelajar” di SMA Negeri 1 Labuapi (SMANELA) Lombok Barat.
Saya terperangah — bukan hanya karena semangat adik-adik pelajar yang membuncah, tapi juga karena kecanggihan mereka mengelola informasi.
Mereka sudah piawai mengedit video, membuat konten visual, menyusun berita, bahkan memanfaatkan teknologi berbasis Artificial Intelligence (AI) dalam prosesnya.
Sebagaimana cerita Ketua Panitia yang mengaku bangga dengan karya jurnalistik sekolah mereka di kanal Yotube.
Bahkan sang Kepala Sekolah salut atas prestasi SMANELA meriah juara lomba karya jurnalistik pelajar Se-NTB tahun ini. Keren!
Jika dulu saya dan tim pengelola Mading harus menyalin tangan satu per satu puisi untuk dipajang, kini mereka tinggal mengetik, klik, unggah — dan boom!, konten jurnalistik pelajar langsung tayang di YouTube, Instagram, bahkan TikTok.
SMANELA bukan satu-satunya. Beberapa SMA di NTB juga sudah memiliki platform jurnalistik digital. Ada yang memproduksi podcast, membuat liputan investigatif remaja, hingga mewawancarai tokoh masyarakat dan pejabat daerah dalam gaya ala Gen-Z yang santai tapi tajam.
JURNALISME PELAJAR : DULU,KINI DAN NANTI
Perubahan zaman tentu membawa banyak kemudahan. Namun satu hal yang tidak berubah: semangat ingin tahu, keberanian menyuarakan pikiran, dan kegembiraan saat karya kita dibaca dan diapresiasi.
Dulu saya menempel tulisan di papan triplek dengan paku payung. Hari ini, para jurnalis pelajar mempublikasikannya di kanal digital yang bisa diakses ribuan orang.
Jika dulu informasi tersampaikan ke seratus siswa dalam satu sekolah, kini bisa menjangkau publik lebih luas dan lintas kota.
Namun di balik semua itu, ruh jurnalistik tetap sama — kejujuran dalam menyampaikan fakta, keberanian mengangkat suara yang jarang terdengar, dan komitmen untuk berbagi informasi yang bermanfaat.
Mading Tak Pernah Mati, Ia Berevolusi
Di tengah gempuran teknologi canggih dan alat AI yang bisa membuat teks dalam sekejap, pengalaman saya mengelola mading era 90-an tetap menjadi kenangan yang paling berharga.
Di situlah saya belajar menulis, berpikir sistematis, memilah mana yang layak tayang dan mana yang tidak, serta memahami betapa pentingnya menjadi bagian dari ruang publik — sekecil apapun itu.
Mading memang telah berubah wujud. Tapi fungsinya tidak pernah hilang. Ia kini hadir dalam bentuk akun Instagram, channel YouTube, website sekolah, atau bahkan buletin digital bulanan. Ia tetap menjadi ruang tumbuh para jurnalis muda.
Dan percayalah, dari ruang-ruang kecil inilah banyak tokoh besar lahir. Sebut saja Barack Obama, mantan Presiden Amerika Serikat yang semasa SMA aktif menulis di buletin sekolahnya.
Aktivitas itu menumbuhkan kecintaannya pada dunia kata dan argumen, yang kemudian membentuk kemampuan orasinya yang luar biasa.
Atau Najwa Shihab, jurnalis kawakan dan pendiri Narasi TV, yang dikenal lewat Mata Najwa. Ia memulai kariernya dari dunia jurnalistik kampus.
Dunia jurnalistik kampus membentuk insting tajam dan keberaniannya dalam mengangkat isu-isu krusial bangsa.
Maju terus jurnalistik pelajar NTB!
Dari mading ke media sosial, dari mesin ketik Brother ke kecerdasan buatan, dari puisi tangan ke vlog berdurasi 60 detik, semangatnya tetap satu: Berbagi cerita. Menyuarakan kebenaran. Menginspirasi perubahan.
Dari Jurnalis Pelajar Menjadi Pemimpin Masa Depan! (***)









