Julukan Bungin pulau terpadat di dunia mulai muncul sejak akhir 1980-an. Data apa yang digunakan sebagai dasar menetapkan kepadatan itu? Benarkah terpadat di dunia atau hanya asal-asalan klaim? Pertanyaan itu menggantung di kepala saya selama bertahun-tahun.
Pada akhirnya saya temukan juga jawabannya, beberapa waktu lalu.
Bahwa pihak yang pertama kali mengumumkan kepadatan pulau yang berada di Kecamatan Alas, Sumbawa itu, ternyata bukan lembaga sembarangan. Tapi salah satu komisi regional yang berada di bawah yurisdiksi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lembaga itu United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP).
Pada 12 September 1985, ESCAP merilis Population Headliners, data peringkat wilayah dengan tingkat kepadatan (populasi) masing-masing, di kawasan Asia-Pasifik. Bungin menempati peringkat pertama, dengan kepadatan penduduk sekitar 17.402 jiwa per kilometer persegi — Pulau Bungin sendiri saat itu luasnya 15 hektar, dihuni 475 KK atau 2387 jiwa. Bahkan koloni Inggris Hongkong yang sebelumnya dikenal terpadat, ternyata hanya 5.000 jiwa per kilometer persegi. Tiga kali lipat lebih di bawah kepadatan Pulau Bungin. Begitu pula Kota Mojokerto yang disebut-sebut sebagai kota terpadat di Indonesia, kenyataannya hanya 1.000 jiwa per kilometer persegi. Maka ESCAP pun menyatakan Bungin sebagai salah satu kawasan terpadat di dunia.
Lalu, setelah hampir empat dasawarsa, apakah posisi terpadat di dunia itu masih ditempati Bungin?
Dari Wikipedia Rusia saya dapatkan data yang cukup detail.
Dari sensus terakhir di tahun 2021, Bungin menempati urutan ke-14 dari 50-an pulau terpadat di dunia. Dan Bungin satu-satunya pulau yang mewakili Indonesia soal tingkat kepadatan.
Itu artinya, Bungin memang masih menjadi salah satu pulau terpadat di dunia.(*)