Jauh sebelum saya benar-benar berjumpa dengan Bang Nirwan, saya banyak mendengar tentang siapa dirinya melalui sahabat dekat saya, Raudal Tanjung Banua. Dari lempiran cerita Raudal, tersusun kesan betapa sosok dalam cerita itu sangat unik dan bernilai mahal. Selain isi kepalanya yang bertubin-tubin, juga tingkah lakuknya yang amat mengesankan. Sejurus mungkin kita berpikir, tidaklah mudah menjadi sosok itu. Perlu kesabaran, perjuangan, keteguhan, keyakinan sekaligus berbiaya tinggi.
Sebagai pecinta pengetahuan, tentu saja saya sangat tertarik dengan sosok dalam cerita Raudal. Sebab saya berpikir, jika menjadi Raudal yang saya kenal dan bergaul lama, susah dan perlukan perjuangan hebat, maka sudah tentu untuk menjadi Bang Nirwan tak terbayang susah dan beratnya. Terlebih karena saya tahu, menjadi sosok dalam cerita Raudal bukan mudah. Tidak gampang. Melainkan sosok tersebut telah sampai pada kelayakan tinggi, barulah akan terlontar dari lisan dan tulisan Raudal.
Cukup lama saya kehilangan cerita tentang Bang Nirwan dari Raudal, melainkan saya ikut sosok hebat itu melalui esei surat kabar nasional seperti Kompas. Sampai pada tahun 2006 saya berjumpa dengan Bang Nas, pemilik Genta Press Yogyakarta. Rupanya, Bang Nas juga bersahabat dekat dan lama dengan Bang Nirwan. Tentu saja Bang Nas pun mempunyai cerita lain yang sama-sama unik dan mahal. Dengan suara khasnya, Bang Nas akan selalu mengatakan “Susah, susah menjadi Nirwan. Hanya orang-orang yang sudah dididik sejak bayi yang dapat setara dengan Nirwan.” Tiada ruang kosong dalam kepala Bang Nirwan. Semua kelokan dalam otaknya berisi kehendak mengetahui sekaligus kehendak kebaikan. Begtulah kesan yang lekat dalam ingatan saya berdasarkan segamburan yang bertubi-tubi dari cerita Bang Nas.
“Jangan risau, Salman. Saya akan minta Nirwan untuk mengomentari novelmu. Dia tertarik dengan wacana seperti ini. Saya tak mengatakan novelmu layak mendapat komentar dari Nirwan, namun saya pastikan pemikiran dalam novelmu, pasti disukai NIrwan.”
Saya terkejut sekaligus tersanjung tiada terkira ketika Bang Nas menjaminkan keterlibatan Bang Nirwan dalam novel saya. Namun karena hubungan mereka yang sangat dekat, komunikasi pun mudah dilakukan. Bang Nirwan ada waktu sebagai pembaca awal novel saya dan memberikan komentar yang dalam hati saya terdetik, komentar tersebut tidak setara dengan novel saya. Terlalu tinggi, bagai langit ketujuh dan lapisan ketujuh bumi.
“Saya sangat percayai Nirwan, Salman. Dia tak mungkin berkomentar asal. Dia pasti menangkap sesuatu yang sublim dalam novelmu. Itu sebabnya dia tidak menyinggung teknik atau gaya, Nirwan menukil isi. Dan Nirwan sangat empu dalam hal ini.”
Bang Nas meyakinkan saya. Sebab ketika itu saya ragu dan tidak merasa layak atas komentar itu. Satu sisi saya sangat bersyukur karena Bang Nirwan memberikan penilaian seperti itu, sisi yang lain, sungguh saya merasa malu dan betul-betul merasa tidak layak. Namun akhirnya, Bang Nas memutuskan menggunakan komentar Bang Nirwan. Saya tidak dapat menyangkal bahwa salah satu sebab novel itu diperdebatkan orang dan berimpak sosial yang cukup besar kepada setting penulisannya karena Bang Nirwan sudi membaca sebelum diterbitkan.
Yang lebih saya syukuri ialah, rupanya dari momentum itulah saya mulai dapat berhubungan secara langsung dengan Bang Nirwan. Terlintas cerita Raudal, waranan Bang Nas, tulisan-tulisan Bang Nirwan. Beraduk menjadi satu yang akhirnya membuat saya merasa sangat memerlukan Bang Nirwan. Semua cerita sebelum ini tak tertampik. Begitulah memang Bang Nirwan.
Kesan saya yang pertama ialah agak gila. Sosok Bang Nirwan seperti tak pernah membaca buku. Jika saya menjumpai tokoh penting. Taruhlan, di Singapura saya pernah menjumpai seorang penulis yang sudah saya baca bukunya, banyak melakukan penelitian di Indonesia, penulis tersebut sangat nampak yang ia adalah intelektual, pembaca buku, penceramah yang baik. Kesan tersebut sangat kuat yang, penulis tersebut seolah-olah sudah membaca dan melumat isi kepala kita. Berbeda jauh dengan Bang Nirwan, dirinya nampak jauh dari kesan pembaca buku. Sederhana, bersahaja, biasa-biasa saja.
Jika ditanyakan sesuatu, jawabannya sangat sederhana. Akan tetapi, kesederhanaan itu ialah pencapaian tertinggi seorang pemikir. Bang Nirwan mengetahui betul dengan siapa dia berbicara. Timbal balas yang sederhana itu ialah kulminasi pengetahuan yang sudah disarikan. Bagi Bang Birwan, seluruh lapisan tanah di muka bumi ini ialah universitas, namun tidak semua tempat kita perlu berbicara secara akademik. Seluruh daun, pohon dan akar-akarnya ialah pondok pesantren, namun bagi Bang Nirwan tidak semua ruang dan dimensi tempat berbincang nyantri. Akademisi dan santri tulen dan sudah benar-benar menjadi itu ialah mereka yang sudah menemukan bahasa yang tepat dan sesuai di hamparan bumi ini untuk dikomunikasikan kepada manusia pada lapisan sosial-budaya-agama-ekonomi apa saja. Begitulah Bang Nirwan.
Karena itu, ketika teman-teman saya di In-Skrip NTB mengundang Bang Nirwan sebagai salah seorang pembicara, ia nampak lebih tak berisi dibandingkan intelektual-budayawan di NTB. Akan tetapi yang terjadi sepanjang sesi perbualan ilmu tersebut ialah, Bang Nirwan dengan sangat mahir berhasil menjelaskan kerumitan-kerumitan legenda, mitos, sejarah dan kelokan peradaban di Lombok dengan bahasa tempatan, bukan dengan diksi-diksi akademik. Harus diakui, sampai pada titik ketika itu, intelektual-budayawan di Lombok masih dalam kebuntuan memecah relasi dari setiap pecahan sejarah mereka. Sedangkan di tangan Bang Nirwan, mencair melalui untaian bahasa sederhana. Relasi yang sebelum itu rumit, segera berubah terang.
Tentu saja cukup lama saya berpikir bagaimana dan kenapa Bang Nirwan dapat melakukan hal tersebut. Meski jawabannya cukup mudah yakni bahan bacaan. Buku yang sudah dibaca pastilah berjubin-jubin. Namun hal ini tidaklah memuaskan hati saya. Karena pada suatu ketika, Bang Nirwan pun berujar. “Membaca itu wajib. Namun buku tidak akan membuat kita semata-mata pintar sebab pintar itu bukan keperluan. Menjadi manusia dan bermanfaat buat sesama dan kepada siapa saja, itulah keperluan.”
Betul sekali cerita Raudal, memang sangat tidak mudah menjadi Bang Nirwan. Bagaimana tidak, ketika kebanyakan orang berpikir dan meyakini bahwa sumber kepintaran ialah buku, malahan Bang Nirwan membalik perkara tersebut. Sudah pasti, kita akan temukan jawaban dari pilihan hidup Bang Nirwan. Seorang pembaca buku yang tidak berada di atas menara gading. Buku bagi Bang Nirwan ialah salah satu pintu untuk memasuki kenyataan yang berada di seluruh belahan dunia ini. Itulah sebabnya Bang Nirwan tidak jauh berbeda dengan kaum sufi, kaum tirakat yang tak pernah berdiam diri pada satu bilik. Bang Nirwan terus menggerakkan kaki menuju ruang-ruang yang tidak pernah dijamah oleh intelektual yang lain.
“Jakarta itu tempat singgah saja.” Dia berseloroh. Maka karena itu, Bang Nirwan terus mengembara meninggalkan ruang-ruang ramai. Sejujurnya, saya sering berpikir, kenapa Bang Nirwan tak pernah keluar di televisi menjadi penganalisis. Karena jika dibandingkan dengan penganalisis yang lain, sebenarnya Bang Nirwan jauh berkapasitas dan mumpuni. Rupanya, keramaian itu bukan dunia Bang Nirwan. Sekali lagi, baginya, buku bukan untuk berhasil masuk ke dunia yang hiruk-pikuk lalu menikmatinya melainkan buku merupakan perahu menuju dunia sublimasi. Di sini, dalam pandangan Bang Nirwan, buku dan memahami isi buku ialah sesuatu yang jelas perbedaannya.
Sejuah yang saya tahu, hal itulah yang menjadi sebab Bang Nirwan banyak turun ke pelosok Indonesia, di tengah-tengah begitu banyak intelektual yang bermimpi menaklukkan Jakarta. Tentu saja, ini bukan perkara kecil terutama ketika dihubungkan dengan keperluan dasar sebagai manusia Indonesia. Di tengah arus pengrusakan yang deras dan bertubi-tubi melalui televisi, iklan, telepon, mesti ada pembanding. Wajib ada penawar agar manusia Indonesia tidak menjadi manusia bentukan kolong sampah. Manusia Indonesia yang di mata Bang Nirwan, di setiap sudut negeri mempunyai keistimewaan bahkan keagungan, tidak boleh menjadi pekat-kelam hanya karena mereka tidak mendapatkan pengetahuan yang lain selain dunia hiruk-pikuk itu.
Maka diksi pustaka dan literasi dijadikan satu kesatuan oleh Bang Nirwan. Manusia Indonesia yang diketepikan mesti mempunyai akses kepustaakan yang cukup agar mereka memiliki kemampuan literasi yang hebat. Dan harus ada orang yang mengambil peran tersebut. Itulah yang dipilih Bang Nirwan. Pilihan dari seorang pembaca buku dan memahami secara mendalam kandungan buku yang dibaca. Pilihan dari seorang yang tidak hanya luas-dalam ilmu pengetahuannya, melainkan juga tak terhingga kebaikan pada dirinya.
Sangat lama saya tidak berkomunikasi secara langsung dengan Bang Nirwan. Sampai akhirnya saya mengetahui dia mendirikan Pustaka Bergerak namun tidak merasa memilikinya. Baginya, Pustaka Begerak ialah milik semua manusia Indonesia, terutama mereka yang diketepikan. Mereka yang dilemahkan dalam soal akses pustaka. Mereka yang menjadi korban kepustakaan yang kurang lalu hidup dalam literasi yang miskin ialah pemilik sah Pustaka Bergerak.
Melalui perjuangan Pustaka Bergerak pula, saya semakin meyakini kesan awal perjumpaan saya bersama Bang Nirwan puluhan tahun yang lalu. Dia adalah lautan ilmu sekaligus kemanusiaan itu sendiri. Bang Nirwan ialah manusia perpustakaan. Pertama, dalam dirinya membiak begitu banyak pengetahuan yang diserap dari buku-buku yang tak terhitung. Manusia yang memproses dirinya menjadi manusia dengan mengawini buku-buku. Dengan begitu, berdiskusi apa saja bersama Bang Nirwan tidak akan pernah terkunci di ruang buntu. Selalu ada aliran penyelesaian.
Kedua, atas dasar kesadaran kemanusiaan, Bang Nirwan telah meruntuhkan pemahaman perpustakaan sebagai tempat, benda yang tidak bergerak dan orang perlu datang ke sana. Perpustakaan wajib menjemput pembaca bukan menunggu. Ini ialah ide murni Bang Nirwan yang mungkin negara hanya mampu berpikir melahirkan perpustakaan keliling yang terbatas kepada kawasan yang dapat diakses saja. Bang Nirwan melampaui semua itu. Perpustakan mestilah bergerak menjangkau ruang paling sempit sekalipun. Karena dengan begitu, hakikat perpustakan sebagai ruang buku untuk dibaca dapat dijangkau oleh siapa saja. Perpustakaan tidak boleh membuat orang malas. Sebab rupanya, dengan Bang Nirwan mendatangai pelosok negeri, dijumpai satu kenyataan bahwa tidak betul manusia Indonesia tidak mau membaca. Tidak benar manusia Indonesia malas berliterasi.
Sudah pasti, hal tersebut bertentangan dengan teori yang dibangun oleh perpustakaan konvensional, di mana kesimpulan diambil dari statistik kunjungan. Bang Nirwan membalik kenyataan itu, manusia Indonesia haus dahaga membaca namun di sebalik itu, ada realitas lain, yakni akses kepustakaan yang masih sangat lemah. Dalam hal ini, Bang Nirwan berperan melebihi tanggung jawab negara.
Ketiga, betul Bang Nirwan berkeyakinan bahwa buku dapat membantu karena itu baginya, membaca ialah wajib. Akan tetapi, bang Nirwan sebagai manusia perpustakaan memberikan makna lebih jauh dari itu. Intelektual, dalam bidang apa saja, tidak boleh duduk manis di istana. Menikmati daging santapan di tengah kota. Intelektual tidak boleh berdinding dengan kenyataan manusia lain. Bagi Bang Nirwan, intelektual wajib membumi, karena dengan begitu ia tak sia-sia.
Atas keyakinan itu, Bang Nirwan memilih jalan sunyi, satu jalan yang amat sedikit intelektual Indonesia memilihnya. Jalan sunyi, di mana, di sana begitu banyak manusia Indonesia yang belum diurus secara baik. Belum disentuh secara adil. Manusia Indonesia yang sangat hebat namun terbengkalaikan. Terketepikan oleh hingar-bingar pusat kuasa. Di sinilah saya melihat Bang Nirwan sebagai pendakwah sejati. Mendakwahi manusia Indonesia yang memerlukan pencerahan dan akses dunia yang luas. Bukan mendakwahi manusia Indonesia di gedung-gedung universitas dan sekolah tengah bandar.
Bang Nirwan dengan Pustaka Bergerak ialah gerakan keniscayaan yang sangat diperlukan oleh manusia Indonesia. Jika ilmu pengetahuan ialah betul sebagai kunci dunia, maka bagi Bang Nirwan, Pustaka Begerak ialah jalan niscaya.
Selamat jalan Bang Nirwan. Manusia Perpustakaan. Ilmu yang telah abang wariskan pasti menjadi aliran amal yang tiada habisnya hingga akhirat. Aamiin.
Malaysia, 8 Agustus 2023.