Masyarakat NTB sangat inovatif, birokrat sangat tak proaktif. Di situlah komedi inovasi itu, hanya karena dosa birokrat, inovasi masyarakat NTB yang hebat jadi sia-sia belaka.
Karena kita terlalu banyak bicara (terutama setelah era watsap: si jahanam zaman), akhirnya kita banyak melewati hal-hal substansial dalam banyak perkara.
Sebagai contoh, banyak kita beranggapan yang makan itu karena lapar. Padahal sebenarnya, makan itu karena tubuh kita memerlukan asupan. Lapar hanyalah tanda yang dikirim oleh tubuh untuk menyatakan yang sudah tiba waktunya untuk kita berikan asupan. Lapar merupakan reaksi kita untuk merespons sinyal tersebut. Namun karena kita lebih banyak terfokus kepada reaksi, jadi yang mengirim sinyal kita lupakan, padahal itulah substansi.
Nah begitu juga perkara inovasi. Karena di kepala kita terlalu mewah mendefinisikan inovasi, jadi kita lupakan substansi. Seseorang dikatakan tidak inovatif bukan berarti dia bodoh atau sebaliknya. Seseorang yang dinilai inovatif, tak bermakna dia sangat hebat sebagai manusia. Inovasi itu ialah habit. Ia sangat natural. Sudah ada dalam diri setiap manusia. Jadi mempersoalkan inovasi itu sebenarnya lucu. Sebab segala hal tindakan manusia ialah inovasi. Manusia kentut pun ialah inovasi. Tubuh mengirimkan sinyal, lalu kita merespons secara natural. Respons itulah inovasi karena ia melahirkan bunyi dan cara kentut. Itulah sebabnya bunyi dan cara kentut setiap orang berbeda.
Jadi, kita ini memang sangat senang dibodoh-bodohi oleh barang yang sudah natural. Lebih bodoh lagi mereka yang membodoh-bodohi. Jika negara yang membodoh-bodohi, itu bermakna negaralah yang paling bodoh. Dan karena kebodohannya itulah ia menjadi komedi: kekuasaan yang ditertawakan.
Coba kita lihat tanda pembodohan ini. Hampir 70 persen pusat isu dan konstruksi opini itu ada di Jakarta. Dengan kata lain, orang yang memproduksi isu dan pencipta opini itu ada di Jakarta, atau sekurang-kurangnya didistribusi melalui Jakarta. Sampai di sini, logikanya ialah pusat inovasi itu, sudah tentu di Jakarta. Bagaimana tidak? 70 persen acara televisi yang ditonton setiap hari, misalnya, ialah produk Jakarta. Aktornya juga tinggal di Jakarta. Pusat transmisinya juga di Jakarta.
Lantas kenapa Jakarta menjadi daerah nomor urut empat dalam inovasi? Kalah oleh Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Lampung. Apa yang hebat di ketiga daerah yang mengalahkan Jakarta itu? Nah, di sini mulai nampak ada kekeliruan alias komedi dalam perankingan inovasi itu. Tak bermaksud meremehkan Lampung, namun kenyataan membuktikan yang, artis yang ditonton dan diidolakan setiap hari oleh orang Lampung, misalnya, hampir semuanya tinggal di Jakarta. Tak ada satu pun televisi yang berpusat di Lampung. Jadi lucu ketika penonton lebih inovatif dibandingkan yang ditonton. Padahal, penonton membayar inovasi yang dibuat oleh pencipta tontonan karena inovasi yang dihasilkan.
Ini juga lucu, Provinsi Jawa Barat ranking tujuh. Padahal, Bandung, misalnya, selain dikenal sebagai kota kembang, Paris van Java, juga dikenal sebagai kota industri kreatif dan hiburan. Banyak artis, misalnya, ialah produksi Jawa Barat meski akhirnya mereka berlabuh di Jakarta. Namun ada juga di antara mereka yang pergi pulang Bandung-Jakarta. Jadi lucu kalau inovasi Jawa Barat jauh di bawah Lampung. Sekali lagi, ini tak bermaksud merendahkan Lampung.
Makin lucu jika melihat ranking DIY yang berada di nomor 23 dengan nilai 956. Kalah jauh oleh NTT. Padahal, tidak dinamakan Yogyakarta kalau masyarakatnya tak berinovasi setiap hari. Meski dikenali sebagai kota yang adem, namun penduduk Yogyakarta salah satu jenis manusia unggul Indonesia. Dynamic Society. Sangat lucu ranking DIY jika melihat bagaimana pengayuh sepeda berumur tua dari Bantul, Sleman, bahkan Kulonprogo beriringan sejak jam 2 atau 3 pagi menuju pasar Bringharjo atau pasar lain di Kota Yogyakarta. Ini bukan lagi sekelas iniovasi. Ini merupakan peradaban adiluhung yang tidak dipunyai oleh banyak daerah yang lain.
Di Yogyakarta kita boleh menjumpai arang pun dapat menjadi bahan minuman kopi dan menghasilkan duit. Atau salah satu yang populer, Yogyakarta sebagai daerah pertama yang memperkenalkan Masjid dengan nol saldo. Tapi masih kalah jauh oleh daerah lain yang malahan dikenali sebagai penyumbang kemiskinan di Indonesia. Kan lucu.
Nah, jadi apa masalah sebenarnya terkait inovasi lucu-lucuan yang dibuat oleh pemerintah yang dagelan ini? Sekali lagi, masalah utama bukan inovasi itu sendiri. Jawa Tengah, meski bernilai 36.357 dan dikategorikan sebagai sangat inovatif, tidak dapat saya sebut lebih inovatif dibandingkan orang Jawa Barat dan DIY. Karena umum diketahui yang kedua provinsi di bawah ranking Jawa Tengah ini jauh lebih inovatif. Lantas di mana masalahnya?
Masyarakat inovatif, pemerintah tidak proaktif. Ini ialah narasi untuk menggambarkan masalah sebenarnya. Saya teringat, di Malaysia, setiap kampus mewajibkan semua dosen membuat inovasi setiap tahun, meskipun hanya satu karya inovatif. Jadi, semua dosen, pasti membuat inovasi sekurang-kurangnya satu setiap tahun. Penilaian inovasi ini cukup tinggi. Jika tak dapat nilai dalam inovasi, maka akan mempengaruhi nilai keseluruhan dosen dalam satu tahun. Yang menarik, pertama, berapa pun jumlah inovasi yang dibuat, nilainya sama. Hal ini juga berlaku di perankingan inovasi daerah di Indonesia. Lihat saja, Jawa tengah yang bernilai 36.357 dikategorikan sama sebagai “sangat inovatif” dengan Kalimantan Selatan yang bernilai 1.006.
Hal menarik kedua ialah, meskipun ada dosen yang membuat beribu-ribu karya inovasi, tetapi kalau mereka tidak memasukkan data ke dalam portal atau sistem, dosen tersebut mendapatkan nilai nol. Jadi jelas sampai di sini. Masalah utama ialah memasukkan data ke dalam sistem. Setiap dosen wajib memasukkan semua data inovasi mereka ke dalam portal meskipun nilainya sama antara satu inovasi atau pun berjuta-juta inovasi.
Nah, meskipun Jawa Barat, DKI, dan DIY dikenali sebagai daerah pusat industri kreatif dan inovasi, jika data inovasi tidak dimasukkan ke dalam sistem, pemerintah pusat yang dagelan itu tidak dapat mengakses. Lucunya, pemerintah pusat dagelan itu hanya menilai berdasarkan statistik dalam sistem tersebut. Tidak melakukan triangulasi atau komparasi lain yang bersifat empirikal.
Siapa yang memasukkan semua data inovasi tersebut ke dalam sistem? Di sinilah substansi masalah itu. Sekali lagi bukan pada inovasi. Jika dosen di Malaysia wajib memasukkan data inovasi mereka sendiri ke dalam sistem, berbeda dengan di negara dagelan yang menumpukan kepercayaan penuh kepada birokrat melalui satu atau dua instansi terkait. Rupanya, ranking inovasi itu ditentukan oleh rajin atau tidaknya, proaktif atau tidak birokrat masing-masing daerah memasukkan datan inovasi masyarakat ke dalam sistem.
Maka, Jawa Tengah dinyatakan sebagai ranking satu bukan karena inovasi Jawa Tengah jauh lebih hebat dibandingkan DKI, Jawa Barat dan DIY. Jawa Tengah hanya diuntungkan oleh birokrat yang bertanggung jawab memasukkan data inovasi daerah sangat proaktif. Dengan kata lain, pusat dosa bagi daerah yang terkonfirmasi inovasi rendah seperti NTB ialah birokrat. Jenis birokrat ini, selain sebagai pendosa besar, juga wajib diminta pertanggungjawaban secara moral maupun profesional karena telah menistakan masyarakat NTB yang inovatif itu ke dalam jurang ranking paling buruk di Indonesia.
Jika birokat pendosa seperti itu masih aman-aman saja, maka sehebat apa pun warga Punie, warga Timbrah berinovasi setiap hari melawan hasrat untuk menikmati megahnya Lombok Epicentrum Mall yang hanya fatamorgana bagi mereka itu, upaya keras yang inovatif itu tidak akan pernah dihitung oleh sistem yang dibuat pemerintah dagelan kalau birokrat tak proaktif setiap hari memperbarui data. Kehebatan cara bertahan hidup warga Kute menerima pengusiran mereka demi mimpi pembangunan KEK Mandalika menjadi sisa-sia di tangan birokrat berwatak terasi.
Masyarakat NTB sangat inovatif, birokrat sangat tak proaktif. Di situlah komedi inovasi itu, hanya karena dosa birokrat, inovasi masyarakat NTB yang hebat jadi sia-sia belaka.
Lebih lucu, publik sibuk meratapi menyalahkan diri dinilai tak inovatif jadi lupa menuding menghukum sumber kenistaan: si birokrat pendosa.
Malaysia, Awal Zulqoidah 1442 H.