Hampir semua orang tua rasanya pernah marah pada anak. Namun, saat Anda sedang marah pada anak, pernahkah Anda berhenti sejenak di sela-sela kemarahan untuk bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apakah saat ini Anda harus marah, atau sekadar ingin marah?
Hal ini karena ternyata antara ‘harus marah’ dengan ‘ingin marah’ terdapat perbedaan yang ’ bertujuan untuk meluruskan sikap atau perilaku anak agar kembali sesuai norma. Sementara ‘ingin marah’ biasanya hanya untuk pelampiasan orang tua terhadap kekesalannya di tempat lain. Salah satu contoh perbuatan ‘ingin marah’ orang tua adalah marah pada anak berkepanjangan waktunya. Saat sebenarnya anak sudah mengerti kesalahannya dalam waktu semenit, tapi Anda memarahinya hingga seperempat jam. Atau anak bisa memahami kesalahannya dalam waktu sepuluh menit, namun Anda masih mengungkit-ungkit lagi kesalahan anak tadi di siang atau sore harinya.
Oleh Azimah Subagijo
Yang jadi masalah, banyak orang tua yang tidak menyadari, ia tengah berada di wilayah mana, apakah ‘harus marah’ atau ‘ingin marah’. Untuk itulah orang tua penting memiliki
Hapus persepsi obyek kemarahan
Tak jarang soal marah pada anak ini terjadi bermula ketika Anda selaku orang tua memiliki pandangan bahwa anak hanyalah satu makhluk kecil dengan otak yang masih bodoh. Mereka belum mengerti sehingga Anda merasa harus memberitahu untuk membuat mereka mengerti. Persepsi inilah yang biasanya memunculkan pandangan bahwa anak sebagai obyek yang harus diajarkan tentang segala sesuatu. Pandangan ini berujung pada sikap orang dewasa yang merasa diri selalu benar, sementara anak harus tunduk patuh kepadanya. Apabila Anda selaku orangtua mempertahankan persepsi ini, maka jangan heran bila kemudian akan terus menerus timbul beragam konflik dengan anak.
Mengingat Potensi Dahsyat Anak
Sesungguhnya pendapat bahwa anak makhluk mungil bodoh yang tidak mengerti apa-apa, adalah sebuah kesalahan besar. Secara sempurna Tuhan YME telah melengkapi anak-anak mungil ini dengan kemampuan dahsyat yang tak pernah bisa dimiliki ulang oleh orang dewasa manapun. Sekadar untuk bisa tersenyum saja, otak harus mempelajari sebuah aktivitas yang rumit. Apalagi untuk bisa memahami kata-kata kemudian merangkainya menjadi sebuah kalimat yang memiliki arti. Para ilmuwan bahkan memerkirakan, jika proses belajar berbicara ini harus dilakukan oleh seseorang dewasa yang awalnya belum bisa berbicara sama sekali, maka belum tentu akan bisa berproses sebaik otak para bayi cerdas ini. Oleh karena itu, sangatlah salah jika Anda menganggap anak-anak kecil sebagai makhluk yang bodoh. Benar bahwa cara berpikir mereka belum seruntut cara berpikir orang dewasa, namun ide-ide anak-anak seringkali begitu brilian dan bahkan tidak terduga oleh orang dewasa.
Pastikan tujuan Anda Marah pada Anak Hanya untuk Mendidik
Dalam proses mendidik anak, sangat wajar jika Anda kadangkala marah pada anak. Namun, jadikanlah marah ini sebagai upaya terakhir. Jika pembelajaran dengan peringatan yang lembut telah dilanggar berkali-kali oleh anak, maka pada saat ini Anda penting untuk marah pada anak dengan tujuan untuk mendidik. Akan tetapi kemarahan Anda pada saat tersebut baiknya menetapkan target yang sederhana, yaitu tercapainya pengertian anak bahwa dirinya telah berbuat kesalahan. Tak perlu tetapkan target berlebihan, semisal target agar anak mau berubah saat itu juga, adalah satu hal yang mustahil, karena untuk memperbaiki diri pasti membutuhkan waktu.
Perkembangan anak secara psikologis mengalami pergeseran dari dunia kanak-kanak menuju dunia remaja. Semasa dalam dunia kanak-kanak, mereka belajar cepat dari apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Namun, setelah remaja segala berubah. Mereka mulai punya keinginan sendiri dan berharap orang lain menghargai pilihannya. Para remaja ini juga merasa sudah dewasa, sehingga tak mau lagi digurui dan dinasihati orang tua. Masalah akan timbul jika Anda selaku orang tua tidak mengubah gaya komunikasi dengan tetap menganggap mereka seperti masa kanak-kanak. Para remaja ini besar kemungkinan akan menjadi anak yang pandai membantah dan senantiasa meminta diberikan alasan yang rasional. Jika kondisi ini terjadi, maka tak ada jalan lain Anda menyampaikan keberatan Anda pada sikap anak remaja Anda dengan dialog yang tidak menggurui.
Orang Tua harus Lebih Cerdas Emosi Ketimbang Anak
Seringkali seorang anak marah dengan cara yang destruktif adalah untuk menguji respon orang tuanya. Bisa jadi ia sekadar mengikuti ego nya , atau mungkin ia mencontoh perilaku temannya. Namun, sesungguhnya mereka menunggu respon Anda untuk mereka teladani. Jika Anda merespon dengan kemarahan pula, maka anak akan merasa lega karena ia merasa cara yang telah dilakukannya telah ‘benar’. Jika demikian, sang anak pun tak akan merasa bersalah jika lain kali mengulanginya kembali. Sebaliknya, ketika Anda selaku orang tua merepon kemarahan anak dengan kelembutan, maka kelembutan itulah yang akan dicontoh oleh anak nantinya. Hal ini karena anak akan termotivasi untuk menghentikan cara marahnya yang destruktif itu, dan menggantinya dengan perilaku yang lebih santun.
Demikianlah lima hal yang perlu Anda ketahui sebagai orang tua guna meredam keinginan marah pada anak, semoga bermanfaat!
Azimah Subagijo, Praktisi Media Literasi dan Perlindungan Anak.