Oleh: DR Salman Faris
Prolog
Blabur dalam tulisan ini ialah sebuah analogi arus politik yang tak pernah diduga sebelumnya. Ia hadir lalu menunjukkan kekuatan yang sukar ditandingi. Blabur merupakan personifikasi tentang kekuatan dan dukungan atas kesadaran menciptakan jalan dan ruang sejarah baru.
Ia berkedudukan sebagai semantikos atas jalan kemenangan. Blabur merupakan sintaksis yang menyusun pola kebudayaan dan politik yang dirajut dari mitos, legenda, kosmologi, babad, cerita rakyat, dan realitas. Sekali lagi, kesemuanya itu merujuk kepada kemenangan dalam pengertian yang amat luas.
Amat banyak yang perlu disinggahi secara mendalam terkait Pilkada Lombok Tengah 2020. Terutama karena blabur wacana yang ditimbulkan oleh munculnya Lale Prayatni. Karena itu, tulisan ini sengaja saya buat meloncat-loncat dengan tujuan untuk menemukan satu titik di mana kita benar-benar menyelami bahwa tanpa disadari telah terjadi masa aufklareung di Lombok Tengah. Apa pun hasil akhirnya, bagi pandangan saya, Lale Prayatni telah meletakkan dasar masa depan Lombok Tengah yang tak pernah disangka. Apakah karena dia perempuan. Mau tidak mau, saya jawab ya. Sebab imajinasi kepemimpinan perempuan, secara umumnya di Lombok hanya tertuang jelas dalam cerita rakyat, legenda, babad, mitos. Namun amat suram alias bertolak belakang dalam realitas masyarakat.
Tentu saja, samasekali saya tak ada maksud untuk menghubungkan Lale Prayatni dengan nenek moyangnya yang memang ialah leluhur Lombok Tengah modern. Jika itu terjadi, dapat dilihat sebagai satu keberuntungan. Setiap orang mempunyai keberuntungan masing-masing. Dan itu sebabnya, kadang keberuntungan itu tidak terduga. Kadang di luar batas kuasa manusia. Karena itu, saya lebih melihat apa yang mendasari secara logis keputusan Lale Prayatni bertarung di “dunia para lelaki” dalam konteks sejarah politik Lombok Tengah. Satu kesadaran mengetengahkan perempuan memimpin. Kesadaran inilah yang bagi saya, dari kepelbagaian perspektif perlu dicatat sebagai bagian penting perjalanan politik dan perkembangan masyarakat di Lombok Tengah. Dengan kata lain, Pilkada tahun 2020 ini bukan sekadar peristiwa demokrasi temporer untuk memilih bupati, namun lebih jauh dari itu: momentum baru dalam melihat hubungan masyarakat Lombok Tengah dengan sejarah kebudayaan yang membentuk mereka sejak ratusan tahun. Kebudayaan yang mewujud dalam babad, cerita, rakyat, legenda, mitos, di mana pada ruang tersebut dapat dijumpai tanda dan pesan. Dalam konteks inilah saya melihat Lale Prayatni memiliki kedudukan penting dalam guratan politik Lombok Tengah, sebab, bagaimana pun juga ia sedang mengaktualisasi dan mengkontekstualisasi nilai yang sebenarnya berkelindan dalam bawah sadar masyarakat Lombok tengah: perempuan memimpin.
Putri Mandalika, Realitas, Perempuan Memimpin
Ada situasi kebatinan yang agak unik di Lombok Tengah. Satu sisi, mereka tak dapat dipisahkan atau memisahkan diri dari legenda Putri Mandalika. Bahkan secara turun temurun, diwariskan dengan berbagai macam cara serta versi yang sama-sama bertujuan untuk menguatkan, yang Putri Mandalika itu amat sentral dalam membentuk kosmologi budaya, intelektual, bahkan politik di Lombok Tengah. Hingga pada fase terbaru, Putri Mandalika dikomodifikasi tidak hanya untuk keperluan pariwisata namun juga untuk kepentingan politik praksis, politik budaya, strategi budaya dalam rangka memperkasakan identitas sebagai manusia Lombok Tengah. Hasilnya, Putri Mandalika benar-benar bersimbiosis mutualistik dengan Lombok Tengah pada berbagai level kepentingan. Kesemua itu, sekali lagi bertujua sama, menegaskan bahwa Putri Mandalika adalah Lombok Tengah.
Namun pada sisi yang lain, agak sukar dijumpai dalam praktek sosial dan budaya, bahkan politik serta ekonomi di Lombok Tengah yang bercermin dari falsafah legenda Mandalika. Ada yang patut ditiru ada juga yang mungkin tak layak digurui. Itu adalah keniscayaan kebudayaan yang selalu majemuk dalam merungkai wajahnya. Karena itu, yang saya maksudkan patut ditiru tentu saja dalam hal kebaikan yang terkandung dalam legenda tersebut. Sebagai satu contoh, perempuan sebagai pusat. Dalam konteks ini, malah kebalikannya yang masih banyak dijumpai di tengah masyarakat hingga kini. Hal ini menjadi penting didiskursuskan mengingat dengan secara jelas legenda Putri Mandalika menunjukan yang, perempuan memang menjadi sentral. Tidak perlu terlalu dilihat pada apa yang dinarasikan sebagai berkorban atau pengorbanan agar tidak terjadi pertumpahan darah antarsesama saudara. Namun kita coba lebih dalam melihat apa yang menyebabkan pengorbanan tersebut mesti terjadi.
Mungkin yang jarang dilumati ialah masalah yang dihadirkan oleh lelaki hebat yang kemudian perempuan yang mesti menanggung akibat. Ketiga pangeran tidak disebutkan kekurangan melainkan mereka dipersonifikasikan sebagai lelaki yang sempurna fisik dan piskis serta intelektualitas, namun pada situasi tertentu, rupanya mereka tidak berhasil mendapatkan jalan keluar yang sesuai agar tidak ada yang dikorbankan. Dalam kebuntuan semacam itu, kita sering abai peran penggambaran keperempuanan yang disematkan pada Putri Mandalika. Yang mana, pada saat gelap gulita solusi itu, Putri Mandalika secara waras menggunakan insting dan logika keperempuanannya untuk membuat keputusan.
Debat Pilkada dan Kemauan Sejarah
Mengamati debat Pilkada Lombok Tengah, bawah sadar saya tiba-tiba terdorong ke permukaan untuk melihat satu penggambaran situasi yang berhubungan dengan legenda Putri Mandalika. Berada di tengah-tengah lelaki terbaik dan mempunyai kemauan yang sama. Memiliki kepandaian memberikan janji dan memikat hati yang setara. Ketiga lelaki itu tak pernah diceritakan mengalami dan merasakan kekalahan walau satu kali pun. Bagi pandangan saya, sebenarnya, Putri Mandalika tidak pernah mengalami kebingungan apalagi kebimbangan. Ia memiliki satu fikiran dan perasaan yakni ketiga lekaki tersebut ialah hebat dan tak boleh berlaku tidak adil kepada lelaki yang hebat. Dengan begitu, Putri Mandalika mengambil jalan dan keyakinannya sendiri tanpa menyertakan perasaannya kepada lelaki tersebut. Sebab baginya, lelaki hebat tak perlu ditolong meski mereka sedang bertarung untuk mendapatkan satu hal yang sama. Dalam situasi itu, Putri Mandalika terfikir satu hal, rakyat. Siapa penolong mereka? Keputusan Mandalika ialah tepat. Dirinyalah penolong itu.
Baik dalam debat pertama dan terakhir, Lale Prayatni saya bayangkan berada dalam situasi seperti yang saya ilustrasikan di atas. Ia berada di tengah lelaki yang sesuai, pantas, dan mampu memimpin Lombok Tengah. Namun berada di tengah lelaki tersebut, Lale Prayatni justru memikirkan rakyat. Dengan begitu, pendorong utamanya bertarung dalam Pilkada Lombok Tengah adalah rakyat bukan untuk mengalahkan lelaki hebat yang menjadi lawan tarungnya. Sebagaimana Putri Mandalika yang memilih dirinya, Lale Prayatni memilih dirinya untuk bertanding bukan meminta orang lain kemudian dia memberikan dukungan. Dia di depan untuk berhadapan dalam kesadaran diri sebagai perempuan. Di sinilah kemenarikan yang mendatangkan blabur dukungan itu. Orang kebanyakan tahu calon-calon yang dihadapi jago, mempunyai latar belakang sosial yang kuat untuk menang, namun sekali lagi saya menyimak kembali apa yang membangun konstruksi kosmologis sosial di Lombok Tengah. Tiga pangeran yang hebat. Tiada cela kemudian bersanding dengan Putri Mandalika yang mengorbankan diri. Apa yang terjadi ialah kosmologi mereka tidak terpusat kepada kehebatan lelaki melainkan pada Putri Mandalika. Yang masyhur ialah Putri Mandalika bukan penggambaran sempurna ketiga pangeran tersebut. Begitulah cara arus sejarah memberikan tanda: kemenonjolan perempuan memimpin.
Begitulah analogi paling sederhana untuk meresapi pemaknaan blabur Lale Prayatni. Masyarakat dapat menyaksikan dalam kesempatan debat yang, kesemua lelaki amat hebat. Amat lincah berkumandang dan bersenandung janji dan rencana layaknya ketiga pangeran kepada Putri Mandalika, namun yang menjadi pusat perhatian dan ingatan ialah Lale Prayatni. Bukan dengan sengaja ia hanya sendiri perempuan dalam arena pertandingan, namun sekali lagi begitulah blabur memberikan tanda.
Seperti yang saya sampaikan di atas, dalam keseluruhan debat Pilkada Lombok Tengah 2020, secara objektif sebagai arena Ahmad Ziadi (sahabat saya), Saswadi (senior saya) dan Habib (anak guru saya) untuk menunjukkan diri mereka sebagai pemimpin layak. Cara berkomunikasi dan kualitas perbincangan juga bagian yang menonjol dari kedua calon ini. Etika kepada lawan amat menonjol. Namun apakah semua itu cukup menjadi tambang untuk memenangkan pertarungan. Dalam konteks perbincangan blabur Lale Prayatni dan korelasinya dengan kosmologi Putri Mandalika, tentu saja tak dapat menjadi jaminan utama. Bahkan dalam nalar sehari-hari pun dijumpai yang, dalam banyak hal terutama berkaitan dengan politik, kemampuan sering bukan menjadi modal utama kemenangan. Layaknya aik blabur, sering sawah yang di tepi sungai hanya dilalui sebab titik destinasi ialah ruang yang beruntung sebagai penampung air yang tergenang. Ini memang sering tak masuk akal, namun begitulah sebuah warna politik yang amat sering disusun oleh kemauan arus. Sejarah kebudayaan menghendaki Putri Mandalika sebagai pusat kosmologi meski dia mengorbankan diri bukan lelaki hebat yang tiada cela itu. Dalam konteks ini, boleh jadi, yang sejarah sedang mengingini Lale Prayatni, meski setiap detik zaman mencatat secara lengkap yang Ahmad Ziadi, Saswadi, Habib mempunyai syarat cukup untuk memimpin.
Ini Arus Lale Prayatni
Jika proses demokrasi dalam Pilkada Loteng 2020 berlangsung lama, saya ingin sekali terus mendalami fenomena Lale Prayatni, khususnya dalam konteks politik di Lombok Tengah. Dan tentu saja, jika ia memenangkan pertarungan sengit Pilkada tersebut, kemenarikan itu akan terus mengalir hingga menemukan satu kaldera pencerahan di Lombok Tengah, tidak hanya dalam konteks memahami dan menerima hakikat politik sebagai salah satu proses mata rantai kepemimpinan, namun juga dalam kaitannya sebagai arus deras perkembangan kebudayaan. Bahkan jika ia tak berhasil pun, napak tilas yang sudah diguriskan pada landskap kebudayaan dan politik Lombok Tengah akan berkesan lama. Boleh jadi susah dipadamkan. Kenapa?
Sejauh yang saya tahu (jika keliru dapat diluruskan oleh siapa saja), tak semua orang di Lombok Tengah, dari kaum terpelajar hingga masyarakat kebanyakan secara sadar pernah berimajinasi yang, suatu saat mereka akan dipimpin oleh seorang perempuan. Dominasi lelaki masih cukup kentara, mencolok dalam kebanyakan permukaan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Meskipun ada kaum terpelajar yang berupaya menampik realitas ini atau dengan secara terang mencoba merobek-robek keterkungkungan dalam domain lelaki dan perempuan, namun karena bawah sadar kekuatan budaya yang membentuk mereka, sering kali antara keperihalan lelaki dan perempuan agak kabur untuk dirungkai. Dengan begitu, maka seperti yang saya utarakan sebelumnya, suka tidak suka, dominasi ruang lelaki terhadap perempuan masih kentara.
Citra perempuan di Lombok Tengah pada asasnya sangat kuat. Pewarisan kecitraan tentang perempuan ini dapat dijumpai secara hebat hingga sekarang. Namun citra perempuan yang hebat itu tidak berlaku dalam urusan penjuluk. Dalam urusan politik, bahkan pada ranah ekonomi pun tidak banyak dijumpai. Hal ini dapat ditandai, misalnya dalan pos jabatan politik dan birokrasi strategis, citra perempuan tidak terlalu banyak menonjol (saya tidak mengatakan tak ada namun jika keliru, sangat boleh diluruskan).
Dalam situasi itulah hadirnya Lale Prayatni tidak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Bahkan boleh jadi ini ialah jalan arus kemestian, di mana Lale Prayatni benar-benar memimpin.
Epilog
Akhirnya, saya ingin menyatakan selamat datang Lale Prayatni. Apa pun situasi dan bagaimana pun hasil akhir, bagi pandangan saya, Lale Prayatni telah memenangkan sejarah. Lale Prayatni sudah menjadi pemenang zaman. Hakikatnya, tiada kekalahan bagi sang pemenang.
Malaysia, 07 Desember 2020