Oleh: DR Salman Faris
Dalam kebudayaan, orang lain tak perlukan siapa nenek moyang anda sebab yang utama ialah apa yang anda ciptakaryakan.
Kebudayaan bernilai tinggi dapat menjadi arena keberagaman manusia merayakan kebersamaan tanpa disibukkan mengurusi latar belakang nenek moyang.
Masih relevankah orang Sasak menghabiskan tenaga, pikiran, dan perasaan untuk menemukan asal usul nenek moyang mereka? Dalam konteks kebudayaan, anatomi asal usul itu tidak penting karena kebudayaan seharusnya lebih banyak berbicara tentang masa depan, sedikit pada masa kini, dan bukan bersuntuk-suntukan dengan masa lalu. Jadi mereka yang malah bergontok-gontokan sebab nenek moyang ialah tergolong bangsa merugi. Dengan kata lain, bangsa yang besar menciptakan kebudayaan untuk keperluan masa depan dan sedikit untuk memenuhi keperluan kekinian. Tegasnya begini, hanya bangsa yang lemah tertindas terjajah yang perlu membuktikan nenek moyang mereka hebat. Sedangkan bangsa yang hebat ulung unggul, amat tidak perlu pembuktian yang asal usul mereka hebat sebab kehebatan buatan sendiri yang mereka tunjukkan tersebut sudah menjelaskan ketakterhinggaan. Jadi, boleh mungkin semakin orang Sasak bernafsu menjelajah asal usul, malah semakin menguatkan yang mereka ialah bangsa yang lemah, dilemahkan, serta melemahkan.
Tengoklah Gajah Mada, hingga kini masih simpang siur tentang dirinya. Tapi malah kesimpangsiuran tersebut semakin menunjukkan yang Gajah Mada diciptakan untuk zaman setelah dia diadakan. Meskipun pada masanya, cerita kejayaan itu amat besar, namun itu hanya secuil jika dibandingkan dengan gagasan masa depan di atas konstruksi cerita yang dibangun atas nama Gajah Mada. Orang seakan-akan tak perlukan mengenali siapa nenek moyang Gajah Mada, namun setiap pengagumnya mengambil keuntungan yang amat besar selepas Gajah Mada. Begitu banyak bangsa di Indonesia yang secara bebas mengklaim dari bangsa merekalah Gajah Mada itu. Tidak perlu jauh, di Sakra sana, ada gunung dinamakan gunung Gajah Mada. Bahkan secara merdeka bangsa mBojo pun mengakui yang Gajah Mada ialah dou mBojo. Ini bukan keleliruan melainkan inilah yang dimaksudkan dengan kebudayaan itu diciptakan lebih banyak untuk keperluan masa depan. Sebab dengan kemerdekaan klaim itu, keharusan untuk merumuskan anatomi nenek moyang Gajah Mada, gugur seketika.
Orang Sasak terdahulu, sebenarnya meninggalkan jejak kebingungan yang dalam. Dapat disimak dari legenda, mitos atau cerita rakyat. Istilah Inak dan Amak Bangkol, Cupak, sampai Anak Ewok merupakan penggambaran yang menegaskan bahwa orang Sasak tidak memerlukan kejelasan nenek moyang. Namun lacurnya, malah orang Sasak tidak melihat ke masa depan tentang kebudayaan mereka, melainkan berjibaku untuk terjun menyelami kembali masa lalu. Sungguh satu rumus yang keliru. Boleh jadi amat keliru. Maknanya, mau ada atau tidak ada alias mau jelas atau tidak jelas nenek moyang orang Sasak, itu bukan pokok perkara. Yang perlu diperkarakan ialah, adakah orang Sasak mempunyai kejayaan di masa depan. Atau adakah orang Sasak berkuasa secara luas di masa kini.
Namun, di tengah kesimpangsiuran yang ganas tentang nenek moyang orang Sasak dan orang Sasak mutakhir yang tiada habis-habisnya menjelalah ke ruang simpang siur itu, saya seutas dapat mencatat, ada beberapa kehebatan (yang unik dan kadang beroma aneh) pada diri orang Sasak. Pertama, bangsa yang hingga kini masih belum berhasil merumuskan asal muasal mereka secara jelas pasti, namun berhasil duduk sebagai salah satu bangsa yang secara populasi tergolong besar dengan menggunakan bahasa sendiri yang mereka sebut bahasa Sasak. Meskipun lain soal adakah populasi yang banyak tersebut dapat menjadi ukuran keberhasilan, tetapi setidaknya, dalam situasi kemuraman asal usul, dalam keadaan kegelapan nenek moyang, mereka berhasil berkembang secara kuantitas.
Perkembangan populasi orang Sasak yang terus menanjak juga menarik jika dihubungkan dengan masa kelam beratus-ratus tahun mereka dalam pembasmian luar biasa melalui perbudakan, peruncingan kelas, pemiskinan, pemecahbelahan, dan pemerkosaan. Masa panjang nan pahit ini, secara logika mereka musnah keseluruhannya, namun di tengah rentang yang getir tersebut mereka justru masih bertahan hidup. Untuk yang satu ini, saya angkat topi setinggi-tingginya kepada orang Sasak. Terlebih dalam setiap zaman yang mereka lalui, rupanya rumus bertahan hidup dalam kegelapan yang kelam pahit itulah yang menjadi resep utama. Hanya dalam setiap era disesuaikan bentuk dan kaedahnya.
Karena sudah terbiasa dalam kemelaratan akhirnya peradaban kemelaratan tersebut, rupanya, dapat juga menjadi senjata utama. Disebabkan kemelaratan sebagai peradaban, akhirnya, orang Sasak menganggap biasa jika tanah mereka habis, jatuh ke tangan begal konglomerasi, sementara mereka bertudung kemiskinan di tengah-tengah menjulang pembangunan yang kapitalitsik dan dehumanistik. Lihat saja nanti, ketika KEK Mandalika itu sudah benar tak lagi jadi dongeng kemajuan, orang Sasak santai-santai saja dalam kemelaratan di tengah hilir mudik kaum hedon yang berpesta pora di depan mata mereka. Aneh juga ya, orang Sasak tak pernah mempersoalkan kemiskinan. Tak pernah memandang miskin sebagai musibah bencana besar bila disandingkan dengan melesatnya kekayaan pendatang dan berkuasanya orang asing di laut, hutan, daratan, dan udara mereka. Hebat. Hebat.
Kehebatan yang kedua adalah sepanjang mereka belum berhasil merumuskan asal usul, lantas sumber pandangan dan jalan hidup mereka apa? Hebatnya bukan main, orang Sasak menyusun pengetahuan mereka tentang mitos, legenda, cerita rakyat yang dibangun atas imajinasi fenomena alam, sesuatu yang dianggap suci, dan kegaiban yang, seterusnya dijadikan sebagai pengetahan yang diyakini. Di tengah huru hara garis asal usul tersebut, mereka berhasil menempatkan Dewi Anjani, misalnya, sebagai muasal. Lalu berkembang cerita rakyat yang mengonstruksi asal muasal tersebut menjadi kebudayaan yang dijalani secara bersama. Meskipun terkesan lucu, namun upaya menghubungkan diri dengan sesuatu yang tak pernah ada (meski diyakini ada) adalah usaha sadar di tengah keputusasaan menjumpai nenek moyang. Ini prestasi yang mencengangkan pada masa tertentu. Namun ketika era ilmu pengetahuan terus berubah, upaya ini tak lebih dari sekadar ekspresi kepasrahan kepada nasib, di mana nenek moyang yang ditunggu belum juga datang, nenek moyang yang dicari-cari belum ketemu juga.
Saya sendiri geleng-geleng kepala, bagaimana orang Sasak dapat mengembangkan kebudayaan mereka di tengah kerapuhan asal usul. Menariknya, orang Sasak tidak menganggap ini sebagai masalah. Menyusun masa depan suatu bangsa dari bangunan kebudayaan yang rapuh ialah jalan panjang orang Sasak. Kepercayaan mereka terhadap Dewi Anjani dan mitos lainnya tidak juga dapat membantu mereka agar berhasil mengurai benang kusut asal usul, namun mereka tetap hidup dalam situasi semacam itu. Hebatnya, mereka tak merasa bersalah atas kekeliruan beranak pinak, di mana boleh jadi keseluruhan orang Sasak hingga kini, belum ada yang secara pasti dapat membentangkan hingga ke kurun yang paling tua tentang nenek moyang mereka.
Lebih hebat lagi, orang Sasak berhasil menebus kekeliruan besar tersebut dengan menghubungkaitkan diri mereka dengan peristiwa pada masa kerajaan yang, ini pula hingga kini belum jelas anatominya seperti apa. Akibatnya, tidak sedikit di antara mereka saling hujat hingga saling lecehkan dalam perkara siapa yang sah dan tidak sah sebagai pewaris kerajaan. Konstruksi kerajaan dan struktur pewaris yang sama-sama siur simpang. Dalam situasi semacam itu, lahir semacam mesias yang bertujuan membangkitkan kegairahan sebagai orang Sasak. Namun permasalahan tidak reda sebab sang mesias ini pun tak berhasil menunjukkan yang mereka mempunyai garis pasti dengan asal usul kekuasaan yang dapat terbukti sudah pasti pula. Sang mesias hanya berhasil cemerlang mengait-ngaitkan diri dengan kesimpangsiuran nenek moyang lalu menyematkan diri gelar, nama, tanda yang kesemuanya hampir menjerumuskan ke jurang yang lebih simpang siur.
Selanjutnya berduyun-duyun mengambinghitamkan orang lain sebagai pemusnah, penindas, pembunuh. Meskipun ada benarnya, namun kebenaran itu menjadi simpang siur karena barisan mesias tak cukup keberanian untuk mengutak atik masa lalu sejarah yang kelam itu. Selain itu disebabkan kurang perbendaharaan keuangan dan data serta amunisi kuasa yang lemah. Kalau saja kaum mesias ini mempunyai kepastian tujuan, kenapa mereka tidak membuat urusan dengan sang penjajah masa lalu itu. Sama sekali tidak bermakna dendam. Dalam kebudaayan yang luhur, dendam itu tak dijumpai. Mengorek sedalam-dalamnya sejarah ialah bertujuan untuk meluruskan bukan untuk membangkitkan kebencian. Selain itu untuk mendapatkan matlamat yang terang dan pasti tentang anatomi kerajaan yang yang dihancurkan (oleh mereka yang dituduh penjajah), struktur masyarakat, sistem pemerintahan, sistem perundang-undangan. Dan yang tak kalah pentingnya ialah sistem persilsilahan agar menjadi terang siapa sah dan tak sah disebut pewaris kerajaan yang tak mempunyai warisan benda itu. Namun sayang sekali, sang mesias hanya menggerundel sendiri, abai melakukan diplomasi politik dan pengetahuan.
Kehebatan orang Sasak yang ketiga adalah sudah jelas banyak tanda Jawa pada diri mereka, namun amat tidak mau mengakui yang Jawa ialah nenek moyang. Sangat terang benderang tanda Bali pada diri mereka, namun sangat tidak berkenan mengakui yang Bali asal usul. Amat benderang tanda Melayu dalam diri mereka, namun juga amat keberatan mengakui yang Melayu sebagai nenek moyang. Sangat jelas tanda Sulawesi ada pada mereka, namun tak juga mau mengaku yang Sulawesi sebagai asal usul. Bahkan tanda Sunda pun ada pada diri mereka, namun sama juga, tak ada pengakuan yang tegas. Lantas yang mana satu asal usul yang mau dijumpai? Bukankah menghubung-hubungkan diri dengan benda yang tiada akan semakin merumitkan keadaan. Unik bukan? Orang Sasak beratus-ratus tahun dalam kesimpangsiuran asal usul, namun mereka dapat memproduksi kebudayaan, dapat mencipta sistem kemasyarakatan, berhasil menyematkan struktur sosial. Lebih unik lagi, meskipun kebudayaan yang mereka produksi menunjukkan akulturasi, namun baik yang dinilai budaya asli maupun yang dikategorikan budaya pendatang, tak ada satu pun dari kedua itu diakui sebagai nenek moyang. Lha, apa ini tidak runyam namanya.
Hidup dalam kerunyaman tersebut, saya melakukan perjalanan ke Thailand, tepatnya di beberapa provinsi yang terletak di bagian yang berbatasan dengan Burma. Cupak yang konon pernah menjadi raja di Burma menjerumuskan saya untuk tinggal cukup lama di bagian barat Thailand itu. Sengaja saya pilih hidup di tengah-tengah perkampungan yang masih asli.
Ada tiga tahapan yang saya lakukan. Pertama ialah membenturkan budaya saya dengan budaya penduduk kampung. Namun saya terkejut dengan apa yang terjadi. Samasekali tidak berlaku patahan budaya. Saya tidak terkejut dengan kebiasaan mereka. Hal yang sama berlaku pada diri penduduk kampung. Sama sekali tidak ada penolakan. Tahapan kedua ialah mengidentifikasi perbedaan dan persamaan. Hasilnya juga cukup mengejutkan sebab perbedaan itu nyaris amat nipis. Tahapan ketiga adalah merumuskan pengamatan yang menunjukkan bahwa kecuali agama, saya dengan penduduk kampung di sebelah barat Thailand itu nyaris tidak ada perselisihan. Kebiasaan yang paling dekat diri saya seolah menemukan jodoh sejatinya dengan kebiasaan penduduk kampung.
Hal yang sama saya jumpai ketika beberapa kali tinggal di bagian utara Malaysia (Perlis dan Kedah) dan Kelantan di bagian pantai timur. Perlis, Kedah, dan Kelantan ialah tiga provinsi yang berbatasan dengan Thailand bagian selatan sperti Pattani dan Narathiwat. Warga Malaysia di ketiga provinsi tersebut dibenarkan masuk ke Thailand tanpa menggunakan paspor. Sungguh menakjubkan karena hampir sepenuhnya saya merasa menjumpai kampung halaman saya sendiri. Saya merasa tidak lagi di Malaysia melainkan sedang berlenggok ria di Lombok. Di tengah-tengah kerumuman orang yang pakai sarung, kopiah, bercengkrama, bermain-main, bersenda gurau. Etika sosial yang sama dan cara beragama yang hampir seratus persen sama. Cita rasa makanan yang sama bahkan cara jatuh dan ekspresi cinta yang sama.
Provinsi yang serupa dengan Kelantan ialah Terengganu. Saya sering tinggal berlama-lama juga di tempat tersebut karena menemukan kesamaan segala nuansa. Yang menarik ialah beberapa pencipta lagu dan penyanyi Malaysia era 90an berasal dari Terengganu dan Kelantan, yang mana, lagu mereka bagai azimat di tengah-tengah orang Sasak pada masa 90an (Saleem Iklim, Azam Dungun, Saari Amri). Di Terengganu saya menjumpai dua hal. Pertama kesamaan nuansa dan kedua ialah batu bertulis yang salah satunya secara samar berbunyi “menunggu Mandalika”.
Pengalaman di beberapa tempat tersebut, tentu saja tidak diakui oleh orang Sasak. Apalagi mau merumuskannya sebagai pintu masuk untuk sekadar menengok asal usul. Lantas asal usul mana menjadi kegelisahan orang Sasak yang tiada habisnya? Jika begitu banyak bangsa yang sama dengan orang Sasak di Asia Tenggara ini, namun tak ada satu pun dari mereka diakui secara tegas sebagai nenek moyang orang Sasak, maka ini sebenarnya kesimpangsiuran jenis apa.
Akhirnya, karena saya merasa sangat malu, merasa absurd, merasa tragik berada di tengah-tengah orang Sasak yang menelusuri masa lalu untuk diagungkan, dibanggakan, diluhur-luhurkan namun kenyataan kekinian, di mana orang Sasak berada dalam kekalahan sosial, kemiskinan, keterbelakangan politik kuasa, tidak mampu diselesaikan oleh para pengagum, pembangga, dan pengluhur itu, maka saya memilih jalan Sasak sendiri.
Bagi saya, Sasak ialah Sasak saja. Ia tak perlu saya hubungkan dengan nenek moyang mana pun. Tak penting saya kait-kaitkan dengan asal-usul mana pun. Amat tidak bermakna saya hubung-hubungkan dengan kehebatan, ketangguhan, keberadaban yang diagung-agungkan itu. Jika pun saya benar, misalnya, saya keturunan langsung raja Selaparang, raja Pejanggik, atau raja-raja simpangsiur lainnya, itu sama sekali tak berarti. Sebab mereka tak dapat menolong saya, tak berkutik membantu saya, tak berguna untuk saya kini dan depan. Jika pun benar, misalnya, saya pewaris sah kerajaan Selaparang, kerajaan Pejanggik, kerajaan Langko, kerajaan Pamatan, atau kerajaan siur simpang lainnya, itu sama sekali tak ada artinya, sebab kerajaan tersebut tak dapat mewariskan istana beserta serba serbi isinya, tanah, dan kekuasaan. Jadi, sekali lagi, Sasak saya ialah Sasak saja. Yang lepas dari apa saja, dari siapa saja urusan masa lalu karena Sasak saja bertumpu kepada masa depan. Jika ada kesamaan dengan bangsa lain di Asia Tenggara, itu ialah bonus yang Sasak saja mesti rayakan.
Malaysia, 30 Desember 2020