Oleh: Buyung Sutan Muhlis
Sebelum Pulau Lombok dikuasai Belanda, pernah berlangsung perburuan besar-besaran terhadap keberadaan tusélak, sélak, atau léak. Keberadaan tusélak sangat meresahkan. Selain sering menampakkan diri dalam sosok mengerikan, sélak juga menyerang manusia dan merusak tanaman di sawah-sawah milik warga.
Orang Belanda menyebutnya lykanthropos. Ini semacam penyakit psikis, sindrom langka yang mengubah manusia menjadi hewan.
“Di Labuhan Haji, Lombok Timur, ada sebuah sumur yang disiapkan bagi para tersangka tusélak. Mereka dipaksa masuk dan mandi di dalam sumur itu. Airnya itu mematikan bagi tuselak,” tulis Cornelis Lekkerkerker, dalam Bali en Lombok, buku berbahasa Belanda yang diterbitkan pada 1920.
Delapan tahun sebelum itu, LMF Plate menulis lebih detail tentang tusélak dalam artikel berjudul Bijdrage Tot de Jennis van de Lijkanthrope bij de Sasaksche Bevolking in Cost Lombok.
Beberapa kali Rumah Sakit di Selong, tulis Plate, merawat pasien yang mengalami luka akibat gigitan anjing atau tusukan taring babi, yang diyakini penjelmaan tusélak. Semua orang di Lombok Timur sangat percaya keberadaan tuselak. “Baik pria dan wanita bisa menjadi sélak melalui latihan yang menjadi bagian dari ilmu sèhèr (sihir, bahasa Sasak),” kata Plate.
Ia menyebut sélak èkèk adalah derajat paling rendah di kalangan tusélak. Golongan ini hanya bisa bermetamorfosa menjadi hewan-hewan kecil, seperti monyet, ayam, anjing, babi, dan kambing. Sedangkan tusélak yang lebih sakti bisa mengubah diri menjadi buaya, kerbau, bahkan harimau. Namun, uniknya, lengan dan kaki tidak berubah, tetap dalam bentuk anggota tubuh manusia. Tusélak sering juga menampakkan diri dalam sebuah bayangan. “Di dahinya ada cahaya kecil kemilau berwarna hijau. Tusélak berilmu tinggi memiliki rangkaian 11 atau 21 radiasi cahaya,” ungkap Plate yang mengatakan proses transformasi tusélak dapat disaksikan orang-orang yang menguasai rapalan mantra tertentu.
Ada pula varian tusélak yang disebut sélak mopon, yang bisa memisahkan kepala dan tubuhnya sendiri. Tubuhnya ia tinggalkan di tempat tidur. Sedangkan bagian kepala, terkadang bersama isi perutnya, terbang membelah malam.
Mereka sering menggelar sangkepan (pertemuan) dan pesta perkawinan antartusélak. Bayi hasil pergaulan bebas itu terlahir sebagai bebai, makhluk liliput berkepala runcing. Meskipun bertubuh mini, bebai memiliki kelamin berukuran jumbo!
Di tahun 1940, Prof Dr PM Van Wulfften Palthe, menulis hasil risetnya dalam artikel 33 halaman berjudul Over de Bezetenheid. Dia juga menjadikan tusélak sebagai salah satu obyek penelitiannya. Seperti Plate, ia juga menyebut jenis siluman ini memiliki cahaya. “Jika tusélak muncul sebagai orang biasa atau bayangan, ada cahaya hijau di dahinya yang menetes ke bawah,” tulis Wulfften Palthe.
Ia memberikan beberapa gambaran tentang perilaku tusélak. “Perilaku yang ditransformasikan adalah kebalikan dari sifat kebaikan manusia. Mereka jahat dan menjijikkan. Sedangkan wanitanya begitu jalang,” ujarnya.
Wulfften Palthe melengkapi pemaparan Plate tentang makhluk bebai. Tusélak wanita yang bunting juga bisa mengalami keguguran. Namun, “Bayi baru lahir yang mati, janin, juga darah aborsi, bisa dijadikan bebai. Biasanya disimpan dalam botol,” katanya.
Melalui ritual dan konsentrasi pemiliknya, janin dalam botol mendapat kekuatan.
Lalu apa fungsi bebai, si anak haram hasil perselingkuhan tusélak itu?
Salah satunya, bebai ditahbiskan untuk merasuki orang yang ingin dicelakakan. Korban kemudian jatuh sakit dan bertindak seperti orang gila. “Bebai juga bisa memberikan kekuatan luar biasa pada orang yang kerasukan, sebagai cryptomnesia dan clairvoyance,” jelasnya.
Menurut Wulfften Palthe metamorfosis manusia menjadi hewan juga ada di Jepang dan Cina, namun dalam praktik yang agak berbeda. Misalnya, ruh orang mati bisa memanfaatkan mayat rubah, musang, atau anjing. Lalu mereka mengembara dengan hewan-hewan ini, mencari para korban.
Lain lubuk lain ikannya. Lain negeri lain momoknya, lain pula tusélaknya.