Lalu Anggrat lahir di Gerung pada tanggal 25 Maret 1925. Ia merupakan anak kedua Lalu Darwisah alias Datu Tuan Adam, seorang tokoh masyarakat ternama pada saat itu.
Karena ia merupakan putra pertama, anak tertua adalah seorang wanita, Lalu Anggrat pun mendapat perlakuan sangat istimewa dari orang tuanya.
Meskipun diperlakukan istimewa, namun sebagaimana halnya Lalu Ratmadji, pada usia 3 tahun ia pun dititipkan dititipkan pada seorang seniman Gandrung bernama Pak Nurside alias Papuq Edoq di Dasan Tereng, Narmada. Tujuannya tentu penempaan mental sekaligus menimba ilmu budaya serta belajar ngaji.

Bisa jadi keputusan untuk mengirim Lalu Anggrat kecil untuk ‘nyantrik’ pada Papuq Edoq karena pada saat itu di Lombok tidak ada Kelompok Bermain (Speel Groep) atau Taman Kanak-Kanak (Frobels). Yang ada hanya Hollandsch Inlandsche School (HIS), Sekolah Dasar untuk kalangan bangsawan bumiputra.
Sebagai putra seorang bangsawan terpandang dengan mudah Lalu Anggrat diterima di HIS di Mataram saat usianya telah mencukupi. Oleh ayahnya kembali ia dititipkan pada seorang kolega, Abdulrahim di Kampung Jawa Selatan, Mataram. Kelak pak Abdulrahim ini menjadi penasehat Lalu Anggrat saat menjabat sebagai Bupati Lombok Barat.
Entah karena bengal atau karena memang diperlakukan istimewa bak raja, selama menuntut ilmu di HIS Lalu Anggrat selalu didampingi oleh dua orang pengawal. Walaupun sebaya, namun kedua pendampingnya lebih tua, yang wanita bernama Minari dan yang pria Saleh.




Mata pelajaran favoritnya adalah sejarah dan imu bumi, sementara yang tidak disukai Lalu Anggrat adalah pelajaran berhitung dan Bahasa Belanda. Jelas saja ini membuatnya kerap tidak naik kelas karena pengantar di HIS adalah Bahasa Belanda.
Karena kebengalannya, walaupun agak terlambat, ia berhasil menyelesaikan HIS. Dan setelah itu melanjutkan pendidikannya ke sekolah bergengsi, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Saat menempuh pendidikan inilah Lalu Anggrat bertemu dengan tambatan hatinya, seorang gadis Jawa, Sriatun, yang juga menjadi siswi di tempat yang sama. Begitu menamatkan sekolahnya, Datu Tuan Adam segera melamarkan sang dara pujaan.
Tempat melamarnya adalah penjara Mataram. Karena ayah dari mempelai wanita memang bekerja di Lapas Mataram yang tak jauh dari kantor Datu Tuan Adam.
Semua keluarga Sriatun memang bekerja di bidang hukum, sebagai jaksa misalya, dan mantri kehutananan. Mungkin ini pula yang mempengaruhi pilihan jurusan kuliah Lalu Anggrat kelak.
Pernikahan pun di gelar di Gerung pada 5 April 1947. Lalu Anggrat pun siap mengarungi bahtera rumah tangganya.
Sebagai nahkoda, pelabuhan pertama yang dituju bahtera ini adalah Makasar. Berangkatlah pasangan muda ini menuju kota terbesar di Indonesia Timur itu.
Sekolah yang dituju adalah Bestuurs Opleiding School (BOS) yang sebelumnya bernama Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Ini adalah sekolah bergengsi, pendikan pamong praja khusus untuk kalangan bangsawan.
Gubernur pertama NTB, RA Roeslan Tjakraningrat, sebagai bangsawan Madura, juga menempuh pendidikan pamong praja yang sama, namun di Magelang. Saat itu sekolah ambtenar ini bernama Middelbare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA).
Di Makasar inilah putra pertama pasangan ini lahir, yang kelak juga akan menjadi Sekda Lombok Barat, Drs. Lalu Kusnandar, pada bulan April 1948. Jadi, selama menempuh pendidikan BOS, Lalu Anggrat merangkap jabatan sebagai seorang ayah, suami dan siswa sekaligus. Sekalipun demikian, pendidikan dapat diselesaikan sesuai jadwal, selama tiga tahun.
Di sekolah calon ambtenar ini teman sekelas Lalu Anggrat banyak yang kelak menjadi tokoh-tokoh ternama dari Indonesia Timur. Sebut saja AA Baramuli yang kelak menjadi pengusaha sekaligus politikus dengan jabatan terakhir ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Bedanya, setelah menamatkan BOS, AA Baramuli melanjutkan ke Universitas Indonesia di Jakarta, sementara Lalu Anggrat memboyong keluarga kecilnya ke Yogyakarta, melanjutkan pendidikan di UGM. Jurusan yang ditempuh pun sama, yakni Fakultas Hukum.
Pada tahun 1955 Lalu Anggrat berhasil meraih gelar BA dari UGM. Gelar ini selanjutnya menjadi ‘trade-mark dari Lalu Anggrat.
Di mana pun dan kapan pun namanya disebut, gelar tersebut selalu menyertai menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dan masyarakat menghargainya dengan cara seperti itu.
Luar biasa memang. Jika menemukan jalan atas nama seseorang di wilayahnya sendiri, mungkin sudah merupakan hal yang jamak. Namun penggunaan nama sang tokoh di rantau, tentu istimewa. Ini menandakan suatu penghormatan serta penghargaan yang tulus dari masyarakat.
Di Kadindi, daerah transmigrasi yang kini telah menjelma menjadi sentra bisnis, dengan mudah kita temukan nama jalan dengan nama tokoh yang satu ini. Dari Jalan Datu Anggrat BA hingga Jalan Datuk Anggrat BA. Apapun namanya, tanpa ataupun dengan huruf ‘k’, BA tetap melekat di belakangnya.
Di jaman dahulu, BA atau Bachelor of Arts adalah sebuah gelar prestisius. Menjadi Sarjana Muda memang satu keistimewaan di tengah minimnya literasi masyarakat pada saat itu. Apalagi gelar ini didapat dari UGM.
Tetapi jika hal itu ditanyakan kepada putri beliau, bukan gelar akademik yang membuatnya begitu melekat. Namun lebih pada indetitas beliau. Menurut putrinya, BA adalah singkatan dari ‘bojone ayu’ (istrinya cantik) dan ‘banyak anak’.
Memang, dari ketiga istrinya yang cantik-cantik beliau memiliki banyak anak. Semuanya 13 orang, 9 orang putra dan 4 orang putri. Kepada putra-putrinya, beliau dengan tegas melarang untuk ikut campur urusan kerjaan, apalagi menggunakan fasilitas negara yang melekat pada jabatannya.
Jika Lalu Ratmadji setelah mendapat gelar sarjana muda, melakukan semacam internship di Pemda Lampung, Lalu Anggrat memilih melakukannya di kampung halamannya sendiri. Ia bekerja pada Pemda NTB dan ditugaskan sebagai asisten wedana di Lombok Tengah serta sejumlah posisi lainnya.
Keasyikan bekerja kantoran serta karir yang terus menanjak, membuat beliau enggan kembali menuntaskan pendidikan sarjananya di UGM. Bagaimanapun juga ijazah yang diraih di sekolah pamong praja Bestuurs Opleiding School (BOS) telah lebih dari cukup untuk menunjang karirnya di pemerintahan.
Ini terbukti dengan dipilihnya Lalu Anggrat sebagai Bupati Lombok Barat melalui pemilihan DPRD yang baru terbentuk pada 1960. Dengan demikian Lombok Barat memiliki bupati definitif menggantikan Tuhumena Maspaitella yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Lalu Anggrat yang mengawali perubahan status Lombok Barat dari Daerah Swatantra Tk. II menjadi Kabupaten. Jabatan ini diembannya hingga tahun 1965.
Tugas yang diembannya di kala itu tidaklah mudah, karena berbagai krisis ekonomi dan politik yang dihadapi. Namun ia berhasil melakukan sejumlah pembangunan.
Di bidang pendidikan, ilmu yang dikecapnya semasa kuliah di Fakultas Hukum UGM juga tidak sia-sia. Ia juga ikut mendirikan Fakultas Hukum Unram bersama Lalu Azhar, Lalu Mala Sjarifuddin dan para kolega lainnya.
Lalu Anggrat pernah mendirikan pabrik kertas di dekat Kantor Camat Gerung. Demikian juga dengan pabrik Genteng merek Gerung. Kemudian pabrik Tikar Mendong di Parampuan. Juga pabrik Pemintalan Benang Sutra di Golong, Narmada.
Selain itu Perusda (perusahaan daerah) juga mengelola pabrik sabun. Perusahaan Daerah di Kabupaten Lombok Barat untuk pertama kalinya dipimpin oleh Lalu Mujitahid BA, yang kelak juga menjadi Bupati Lombok Barat.
Selain itu Perusda juga memiliki pabrik Salep yang bahan bakunya pepaya alias papaina. Salah satu mantan karyawannya adalah dalang kondang Lalu Nasib AR.
Sebagai seorang pemuja Soekarno, Lalu Anggrat memang tidak pernah menyerah pada keadaan. Ia selalu berusaha untuk mandiri dan berdikari.
Ia adalah sosok pemimpin yang memiliki mimpi besar. Ajaran Soekarno begitu melekat padanya dan membentuk kepribadian yang kuat dalam dirinya.
Tengok saja berbagai aksi demo di medio 1964. Aksi pembakaran dan kekerasan terjadi di beberapa tempat strategis milik pemerintah.
Setiap kali demo, mereka tak hanya menuntut harga beras turun. Namun juga meneriakkan Ganyang Anggrat Bupati Lombok Barat. Ini hanya karena Lalu Anggrat adalah anggota faksi PNI yang tidak mendukung PKI.
Alih-alih keder, Lalu Anggrat justru bersikap ksatria. Ketika demo terjadi di pendopo Bupati, Lalu Anggrat justru menyuruh agar gerbang pendopo dibuka. Namun anehnya tak satupun yang berani memasuki gerbang pendopo.
Sikapnya yang keras dan tegas – berdaulat dalam politik menurut Trisakti Bung Karno – membuat dirinya tersingkir dari jabatannya sebagai Bupati pada tahun 1965. Namun itu tidak disesalinya.
Setelah lengser dari jabat.annya sebagai Bupati, Lalu Anggrat ditugaskan menjadi pengawas di Inspektorat Provinsi NTB. Setelah itu ia menjabat sebagai Kepala Direktorat Ketertiban Umum Provinsi NTB.
Disinilah uniknya, sebagai kepala Direktorat Ketertiban Umum, namun karena pengaruhnya yang begitu kuat di masyarakat, Lalu Anggrat justru tampil ke depan untuk mensukseskan program pemerintah pusat saat itu, transmigrasi lokal.
Saat itu sejatinya negara dengan sadar telah mengeksploitasi nama besar serta pengaruh Lalu Anggrat. Pengaruhnya mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk secara swadaya mensukseskan program pemerintah ini.
Jejak keberhasilan program transmigrasi ini dapat terlihat di Desa Kadindi atau Calabai di Dompu. Demikian juga di Dangiyang dan Boyotan di Lombok Utara.
Sukses dengan program tersebut, Lalu Anggrat kemudian ditugaskan sebagai kepala Direktorat Khusus Provinsi NTB. Dan terakhir sebagai Kepala Direktorat Sosial Politik Provinsi NTB hingga pensiun.
Semua penugasan dijalani dengan sepenuh hati tanpa mengeluh. Semua dipandang sebagai bentuk pengabdian dan pengorbanan. Tak hanya pengorbanan waktu dan tenaga, namun juga materi.
Seperti Soekarno yang tak punya apa-apa, Lalu Anggrat pun berhasil menorehkan prestasi istimewa, sebagai Bupati paling miskin. Padahal beliau berasal dari keluarga bangsawan berada.
Tengok saja, sepulang dari kuliah di Yogyakarta, beliau numpang di rumah mertua. Saat menjadi Bupati, ia mondok di pendopo Bupati. Setelah lengser dari jabatannya sebagai Bupati, ia balik lagi ke rumah mertuanya.
Setelah menjadi Kepala Direktorat Ketertiban Umum Provinsi NTB barulah beliau menempati rumah dinas Pemda. Padahal semasa menjabat sebagai Bupati Lombok Barat, banyak perumahan dinas seperti di Gomong dan Dasan Agung yang dibangun oleh Lalu Anggrat, tapi tidak untuk dirinya sendiri.
Bahkan sampai masa pensiun beliau masih disangoni oleh Ayahnya, Haji Adam. Tak hanya itu, Haji Adam pula yang membiayai sekolah anak-anaknya.
Rumah pun pada akhirnya dibikinkan oleh Haji Adam. Demikian pula dengan mobil dan pakaian. Haji Adam pun pernah bertutur ke cucunya, “Mamiqmu pernah jadi Bupati dan menjabat ini itu, tapi ganti genteng rumah pun tidak mampu.”
Lalu Anggrat tak pernah mengeluh dengan kemiskinan finansial ini. Karena ia tahu, kekayaan spiritual jauh lebih bermakna dan meninggalkan legasi yang tetap hidup di hati masyarakat.
Demikian pula ia tak pernah menyerah menghadapi penyakit hepatitis yang telah diidapnya sejak tahun 1975. Semangatnya tetap membara.
Ketika divonis terkena hepatitis kronis, ruang geraknya dibatasi oleh pemerintah, terutama untuk melakukan aktivitas ke luar negeri. Namun di tengah larangan tersebut Haji Adam justru mendorong putranya, Lalu Anggrat, untuk menunaikan ibadah Haji ke Mekkah.
Tentu saja pendaftarannya ditolak. Namun Haji Adam sendiri yang langsung mendatangi Kementerian Agama, melakukan pembelaan terhadap surat pencekalan keberangkatan Lalu Anggrat berhaji karena penyakit kronisnya tersebut.
“Anggrat adalah milikku seorang. Negara ini bisa saja melahirkan banyak sosok seperti dia, namun Anggrat adalah satu-satunya yang aku miliki. Dan aku bertanggungjawab atas keselamatannya.” Orasi Haji Adam ini mengantarkan Lalu Anggrat menunaikan ibadahnya ke tanah suci.
Sekalipun berbagai badai dan pergolakan telah diarungi, sebuah perjalanan pun pada akhirnya harus merapat ke pelabuhan terakhir. HL Anggrat BA tutup usia pada 3 April 1987, setelah berjuang melawan penyakit yang telah dirasakan selama lebih dari 25 tahun.
Tak ada yang ditinggalkan oleh Bupati yang tak punya apa-apa ini, selain jejak langkah yang patut kita susuri kembali dan menjadi tauladan. Namanya tertulis di cakrawala.
“Kini akoe sudah kembali memenuhi panggilan kewajibankoe………
Tudjuh ratus lima puluh hari Telah ku dorong kereta kencanamoe Yang padat kau tumpangi
Dengan segala daya Dan kekuatankoe.
Aku tak perduli segala hambatan Yang merintangi perdjalanankoe………….
Kini akoe serahkan padamoe kawan apakah tanahmoe kau djadikan rantai intan permata apakah kau djadikan lumpur berserak tiada guna mengeras, membatu tiada menentu.
Akoe tau kawan tiada djandji yang tepat, ketjuali djandji matahari yang terbit esok pagi dan datangnya maut yang merenggut djiwa.
Akoe hanya minta penuhi djanjimoe….. dan akoe rela pergi meninggalkan lereng Kadindi.
Penulis : Pahrizal Iqrom
Foto-foto: Lalu Anggar Apridika











