MATARAMRADIO.COM – Ketua Komisi Informasi (KI) Nusa Tenggara Barat Sansuri SPt MM memberi apresiasi atas langkah Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BB POM) Mataram dalam menyebarluaskan informasi seputar hasil intensifikasi pengawasan obat dan makanan di wilayah Nusa Tenggara Barat.
Menurut Sansuri, BB POM sebagai badan publik berkewajiban menyampaikan apapun bentuk informasi seputar obat dan makanan yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak.” Informasi tentang kesehatan dan pengawasan obat dan makanan ini masuk kategori informasi serta-merta,”jelasnya kepada MATARAMRADIO.COM usai menghadiri acara Ngobrol Santai BPOM Mataram dengan insan pers dan pemangku kepentingan bertajuk Intensifikasi Pengawasan Obat Bahan Alam dan Suplemen Kesehatan dan Progress Penanganan Perkara BB POM di Mataram, Kamis (19/9).
Disebutkan Sansuri, Komisi Informasi NTB sangat menyadari betul posisi BB POM Mataram sebagai salah satu badan publik vertikal, sehingga pihaknya tidak bisa melakukan monitoring dan evaluasi langsung terhadap kegiatan penyebarluasan informasi publik yang dilaksanakan sebagaimana halnya badan publik di daerah.
Namun demikian, sebagai badan publik yang menangani urusan pengawasan obat dan makanan, maka BB POM tentulah diharapkan dapat terus meningkatkan kreativitasnya bagaimana menyebarluaskan informasi yang sifatnya serta-merta kepada khalayak.
“Kami tetap mendorong bagaimana BB POM menyediakan informasi yang memadai melalui website yang telah ada. Perlunya perbaikan performan website yang mereka miliki agar pengunjungnya semakin banyak. Karena hasil evaluasi kami melihat statistik pengunjung websitenya dalam satu tahun terakhir terbilang agak rendah. Baru pada angka 1226 pengunjung tahun 2024,”ulasnya.
Dia juga menyarankan BB POM menyiapkan alternatif media lain untuk lebih memasifkan penyebaran informasi serta-merta di luar website. Misalnya baliho dan lain-lain.
“Namun sejauh ini, informasi yang disediakan melalui layanan website relatif memenuhi syarat menjalankan tugasnya sebagai badan publik. Soal masuk kategori informative, kami tidak bisa menyimpulkan karena KI NTB tidak melakukan monev langsung,”pungkasnya.
Sementar itu, Kepala BB POM Mataram Yosef Dwi Irwan menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada media massa dan juga pemangku kepentingan seperti KI NTB yang mendukung program amplifikasi penyebarluasan informasi intensifikasi pengawasan obat dan makanan oleh badan yang dipimpinnya.
Terima kasih teman-teman media atas dukungan pemberitaannya, semoga semakin meningkatkan kesadaran dan kehati-hatian masyarakat dalam memilih obat, obat bahan alam, suplemen kesehatan, kosmetik dan pangan olahan.
Temuan Obat Bahan Alam Tanpa Izin Edar
Dalam acara ngobrol santai dengan insan pers, BB POM menyampaikan hasil temuan mereka berkaitan dengan maraknya peredaran obat palsu tanpa izin edar di Nusa Tenggara Barat.
Terungkap sedikitnya 70 jenis produk bahan alam atau herbal yang ditemukan tidak mengandung izin edar.
“Dari total temuan 2732 pcs jenis produk bahan alami tanpa izin edar tersebut mempunyai nilai ekonomi sebesar Rp 400.681.600,” jelas Yosef
Disebutkan, keseluruhan produk ilegal dan mengandung bahan kimia obat ini ditemukan saat BBPOM Mataram melakukan pengawasan di depot/kios jamu, toko herbal, toko obat, agen distributor suplemen kesehatan serta sarana lain yang mendistribusikan sediaan obat bahan alam dan suplemen kesehatan.
“Ini hasil operasi selama periode minggu ketiga dan keempat bulan Agustus 2024,”jelasnya.
Selain melakukan pengawasan terhadap produk obat bahan alam dan supplemen kesehatan tanpa izin edar, Yosef mengaku pihaknya juga melakukan pengawasan terhadap sedikitnya 40 sarana distribusi obat bahan alam (produk herbal) dan suplemen kesehatan.
Hasilnya menunjukkan, terdapat 31 sarana memenuhi ketentuan atau sebanyak 78% dan 9 sarana lainnya tidak memenuhi ketentuan, yakni sebesar 22%.
“Dari 9 sarana yang tidak memenuhi ketentuan ini, 6 ditemukan di Kabupaten Lombok Timur, 1 di Kota Mataram dan 1 lagi di Lombok Barat. Satu 1 sarana ditindaklanjuti secara pro justicia”, jelas Yosef dalam keterangan persnya.
Selanjutnya produk yang ditemukan tersebut, tambah Yosef dilakukan pemusnahan oleh pemilik sarana (pedagang) dengan disaksikan oleh petugas pemeriksa.
Kemudian pemilik sarana diberikan sanksi administratif dan membuat pernyataan untuk selanjutnya tidak melakukan pelanggaran serupa dibelakang hari.
“Apabila dalam pemeriksaan selanjutnya masih ditemukan pelanggan yang sama, maka akan diberikan sanksi yang lebih tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”, kata Yosef seraya menambahkan sanksi terberat berupa pidana paling lama 12 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 5 miliar bagi siapa saja yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard an atau persyaratan keamanan sebagaimana diatur dalam Pasa; 435 UU Nomor 17 Tahun 2023.
“Sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 500 juta rupiah bagi setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan tetapi melakulam praktek kefarmasian berupa obat keras,”pungkasnya. (editorMRC)