Seorang ibu berteriak panik. Ia membungkuk di depan anaknya yang masih balita. Jari-jari tangannya menyelusup ke dalam mulut anaknya. Ia terus berteriak.
“Cepat keluarkan. Cepat! Atau jangan-jangan kamu sudah telan,” pekiknya cemas.
Dari tangan anaknya ia merebut benda mirip buku berukuran mini. Rupanya lembaran-lembaran benda ini biang kepanikan itu. Ia sempat pergoki sedang dijilati dan dikunyah anaknya, persis seperti sedang menikmati kembang gula.
Empat puluhan tahun yang lalu saya juga mendapat perlakuan yang sama dari ibu saya. Berkali-kali saya dihardik bahkan dicubit. Tapi saya tidak pernah kapok.
Jika ayah sedang tidur siang, dengan berjingkat-jingkat saya mendekati meja kecil di ruang tamu. Di situ saya selalu menemukan kopi ayah yang masih tinggal setengah gelas. Ia punya kebiasaan minum kopi dalam keadaan dingin. Satu gelas biasanya dinikmatinya hingga sore hari.
Di dekat gelas kopi ada sebungkus rokok dan kaleng berisi tembakau. Ayah terlihat lebih sering mengisap tembakau di minggu-minggu akhir bulan. Itu artinya, dompet sudah menipis.
Saya membuka kaleng. Di bagian atasnya saya temukan benda yang saya cari. Itulah papir atau kertas untuk melinting tembakau.
Pembungkus papir warnanya bermacam-macam. Merah, biru, hijau, atau kuning. Isinya sekitar 40 lembar. Penikmat tingwe (linting dewe) banyak yang menggunakan dua lembar papir sekaligus untuk membuat sebatang rokok. Tapi ayah saya hanya menggunakan selembar saja setiap hendak merokok.
Mereknya Cap Telpon. Ada logo telepon jadul dalam lingkaran bujur telur. Di tengah-tengah gambar telepon tertulis angka 69. Dua angka yang sering diasumsikan sebagai simbol adegan terpanas di kalangan pemburu video bokep. Tapi, angka itu juga menyerupai simbol feng shui bermakna keseimbangan. Dalam filosofi Tionghoa juga menjadi interpretasi yin dan yang. Bahwa ada dua kekuatan berbeda satu sama lain. Saling bertolak belakang, namun begitu berdaya guna ketika digabungkan atau saling berhubungan.
Di tengah cover, di sisi atas, nampak dua baris huruf, masing-masing Latin dan Arab gundul, membentuk dua kata: kertas rokok. Tidak ada keterangan tentang perusahaan produsen dan lokasi produksi. Kemungkinan made in Lombok, karena saya tidak pernah menemukan papir ini di luar Provinsi NTB. Inilah barang terlaris di setiap distributor rokok, terutama di masa pandemi. Di saat orang-orang kehilangan pekerjaan, di mana para pecandu nikotin melinting tembakau, untuk menyiasati keadaan.
Papir itu rasanya sangat manis. Saya ambil beberapa lembar. Sampai di luar rumah saya bagikan kepada para saudara atau teman-teman. Kertas rokok rasa permen itu akhirnya sangat familiar bagi kami.
Kertas itu pula yang menyelamatkan saya dari beberapa tugas jurnalistik. Seringkali notes saya penuh. Papir dengan lembar-lembar putih tipis itu akhirnya jadi blocknote darurat, penuh dengan catatan stenografi yang merekam keterangan-keterangan dalam momen peliputan.
Papir itu, satu dari segelintir benda yang masih bertahan hingga sekarang. Yang sering membantu, pemicu memori saya untuk membongkar kembali cerita-cerita yang terkubur waktu. (*)