Opik Semakin Romantis

Sebuah buku tentang profil salah seorang putra terbaik Lombok Timur yang kini menduduki posisi tertinggi di Jajaran pejabat birokrat karir. Siapa lagi kalau bukan HM Juaini Taufik, Sekretaris Daerah Lombok Timur yang akrab disapa Kak Opik.

Buku berjudul SEMAKIN ROMANTIS yang ditulis jurnalis senior Muslimin Hamzah Obima dan Muhammad Rum sengaja dibedah dan diresensi oleh Ir Lalu Muh Kabul MAP, Ketua Koalisi Kependudukan Lombok Timur yang juga Dewan Pakar MATARAMRADIO.COM.

Sekda Lombok Timur, H.M.Juaini Taufik yang akrab disapa Pak Opik (atau Opik saja) telah membina rumah tangga selama 25 tahun bersama sang istri, Nurhidayati seorang bidan yang kini menjabat sebagai Kepala Bidang Kesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur. Opik menyelesaikan pendidikan S1 di IIP dan S2 di Universitas Brawijaya. Istrinya, Nurhidayati menyelesaikan S2, MPH (Master of Public Health) di Universitas Gadjah Mada. Bersama sang istri, Opik berhasil membangun rumah tangga “sakinah mawaddah warahmah” sehingga tak heran kalau Opik berhasil mencapai puncak prestasi birokrasi sebagai Sekda Lombok Timur.


Opik lahir di Rumbuk pada 13 Juni 1973. Sang istri, Nurhidayati juga lahir di tempat yang sama pada 27 November 1975. Opik bersama istri menjadi teladan dalam kiat mendidik anak. Dari segi pendidikan, anak-anaknya berhasil menoreh prestasi gemilang. Putrinya berhasil menembus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melalui jalur prestasi dan saat ini sedang koas atau dokter muda. Putranya berhasil diterima lewat jalur prestasi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Putra ketiga masih duduk di bangku SD.


Buku ini diterbitkan sebagai kenang-kenangan seperempat abad perkawinan Opik-Nurhidayati. Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian satu: Auto Romantis. Bagian Dua: Mama Mia. Bagian Tiga: Menjadi Pamong. Resensi terhadap buku ini dilakukan bagian demi bagian, mulai dari bagian satu hingga bagian tiga. Resensi pada setiap bagian meliputi sinopsis atau ringkasan cerita termasuk kelebihan, dan kekurangannya.

Bagian Satu : Auto Romantis

Opik dan Nurhidayati bertetangga. Rumahnya hanya dipisahkan satu rumah. Sewaktu SMA, Nurhidayati itu adik kelas Opik. Hubungan keduanya sebatas pertemanan biasa. Tidak ada yang istimewa. Bahkan ketika itu ada teman Opik yang naksir Nurhidayati, Opik malah menjadi mak comblang. Setelah tamat SMA, Nurhidayati masuk SPK. Opik masuk STPDN tahun 1991.

BACA JUGA:  Alasan Jadi Caleg DPR RI: Mamiq Akram Prihatin 8 Kabupaten di NTB Masih Tertinggal!
Keluarga Samawa : HM Juaini Taufik bersama isteri dan putra putri tercinta. / foto: ostimewa


Tak dinyana mereka kembali bertemu ketika mereka berdua kembali ke Rumbuk setelah Nurhidayati menyelesaikan pendidikan di SPK Bima dan Opik usia menempuh pendidikan di STPDN Jatinangor Bandung. Waktu itu hari Jum’at 1994. Mereka berdua bertemu dalam engkel, mobil angkutan jurusan Bertais, Sweta-Pancor. Dalam engkel itu, Opik duduk disamping Nurhidayati, tetapi tidak berdempetan. Masih ada satu penumpang lain diantara mereka berdua. Sejak saling beradu pandang pertama kali dalam engkel itu, hubungan mereka berdua menjadi tidak biasa, menjadi begitu romatis. Opik sadar ini mungkin jatuh cinta pada pandangan pertama di engkel. Begitu nyantol di pandangan pertama, keduanya auto romatis.
Karena dikuasai rasa cinta, perjalanan dari Bertais ke Pancor terasa begitu berkesan bagi Opik. Begitu sampai di terminal Pancor, Opik memasang jurus curi perhatian pada sang Gadis. Meskipun Nurhidayati tidak meminta tolong, tapi Opik dengan sigap memboyong koper gadis tetangganya itu ke becak. Opik “menyogok” pemilik becak dengan bayaran dua kali lipat dari tarif biasanya untuk mengantarkan mereka berdua dari Terminal Pancor ke Rumbuk. Begitu sampai di Rumbuk, setelah menurunkan barang-barang Nurhidayati, Opik pulang ke rumah.


Memang sudah jodoh. Allah mendekatkan keduanya lewat pekerjaan. Setelah selesai pendidikan bidan di SPK Bima, Nurhidayati mendapat tugas di RSUD Selong. Opik juga bertugas di Selong di Kantor Pembinaan Masyarakat Desa. Karena satu jurusan, tiap hari keduanya naik mobil bersama ke tempat tugas. Mulai saling ongkosin. Suatu waktu, Opik tidak lagi bisa naik mobil bersama dengan Nurhidayati, pasalnya sang Gadis pindah tugas ke Polindes di Desa Bungting, Kecamatan Sakra. Nurhidayati pun tinggal di rumah dinas Polindes. Setelah berhenti bersama, dalam perasaan Opik ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang hilang.


Karena terus didera rasa ingin bertemu, Opik pun pergi midang ke tempat Nurhidayati bertugas di Polindes sang kekasih. Melihat Opik, Nurhidayati tersenyum hatinya berbunga, “Wah datang lagi, nyari lagi”, ungkapnya. Belakangan, Opik pindah tugas ke Kecamatan Sakra sebagai Kasubsi Perekonomian di Kantor Camat Sakra. Meski tidak satu jurusan, tetapi tempat tugas keduanya masih satu kecamatan. Suatu waktu, Nurhidayati harus mendatangi pasiennya. Opik menawarkan jasa untuk mengantarnya. Opik pun memboncengnya. Opik dengan elegan langsung nembak diatas motor “mau nrima cinta saya nggak? Bilang yes or not?. “Or” kata Nurhidayati. Hati Opik berdentum. Opik bahagia. Jawaban itu sebuah isyarat kalau si Cewek menerima cintanya. Akhirnya jadi juga keduanya pacaran. Setelah jadian, Opik midang terus. Hampir tiap minggu datang ke Polindes.
Dalam prosesnya, Opik merasa sudah menemukan calon pasangan hidup yang tepat. Meski Opik sudah ngebet alias kepingin sekali kawin, tapi Bapaknya melarang sebelum adik-adiknya sukses seperti dirinya. Opik beruntung, adiknya lulus ikut tes masuk kepolisian seperti harapan sang Bapak. Opik plong untuk kawin karena adiknya telah lulus sebagai polisi. Opik bersama sang Kekasih telah mencoba untuk merariq alias kawin secara adat yakni kawin lari, tapi gagal. Terus mencoba hingga tiga kali gagal juga. Ceweknya tidak berani. “Takut dimarahi orang tua”, ujar Nurhidayati pada Opik. Karena tiga kali gagal, “Akhirnya orang tua saya datang minta ke bapaknya”,kata Opik. Keluarga Opik disambut baik pihak keluarga perempuan. Keduanya kawin 1996. Mas kawin Opik adalah Kitab Suci Alquran dan seperangkat pakaian salat. Opik menulis di halaman kosong pada sampul dalam bagian depan Alquran:”mudahan perkawinan ini ibarat pohon beringin. Akarnya kuat, daunnya rindang, bisa tempat berteduh keluarga”.

BACA JUGA:  Ustadz Zamroni Husaini: Dai Muda Inspiratif dan Multitalenta
Opik Semakin Romantis. Begitulah ungkapan yang tepat menggambarkan sosok HM Juaini Taufik yang selalu dekat, penuh pengertian dan saling mengisi dengan sang isteri, belahan jiwa./ foto: istimewa.


Karir Opik di birokrasi mulai dari staf dan terus bergerak maju hingga puncaknya Sekda, sebenarnya terangkum dalam episode 25 tahun usia perkawinannya. “Itu berarti hasil perkawinan”, ujar Opik. Sebelum kawin, Opik tamat D3 STPDN, pada masa perkawinan Opik mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi hingga mencapai S1 dan S2. Adapun istri, sebelum kawin masih belum PNS, masih bidan magang. Tapi akhirnya berhasil lulus PNS tahun 2000. Itu artinya dicapai setelah kawin. Pendidikannya, dari semula bidan, kini telah S2 dengan gelar MPH (Master of Public Health) di Universitas Gadjah Mada. Posisinya dari semula bidan desa menjadi Kepala Bidang Kesmas Dinas Kesehatan Lombok Timur. Bidang tugasnya membina para bidan.Dari perjalanan 25 tahun perkawinan, banyak kesan mendalam tentang pribadi masing-masing. Kesan itu sudah terpateri sebagai sebuah nilai unggul keduanya. Mereka mengintegrasikan nilai tersebut dan hasilnya luar biasa pada karir dan pendidikan anak. Putrinya berhasil menembus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia melalui jalur prestasi dan saat ini sedang koas atau dokter muda. Putranya berhasil diterima lewat jalur prestasi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Putra ketiga masih duduk di bangku SD. Dalam melayani kebutuhan keluarga, Opik bersama istri menerapkan kiat yang mereka sebut “cross cutting” atau menyilang. Jika ada kebutuhan keluarga istri, Opik yang melayani. Begitu sebaliknya kalau keluarga suami membutuhkan bantuan, Nurhidayati yang aktif. Hal itu mereka rasakan indah dan sekaligus keren.
Penggalan cerita diatas merupakan sinopsis yang dirangkai dari bagian satu buku “Semakin Romantis”. Penulis buku ini begitu piawai merangkai gaya bahasa, bahasanya mengalir, renyah, enak dibaca dan sangat mengasikkan. Bagian satu buku ini tidak sekedar menghadirkan cinta, tetapi cinta sebagaimana dikatakan Taufan Rahmadi dalam pengantar buku ini yakni bagaimana cinta itu disampaikan, diaktualisasikan, lalu dijaga. Isi bagian satu buku ini juga mencerminkan betapa kokohnya keluarga Opik. Untuk itu, keluarga Opik dapat dijadikan sebagai salah satu best practice alias teladan di tengah terpuruknya Indeks Ketahanan Keluarga (IKK) NTB. Berdasarkan publikasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama BPS (2016) bahwa IKK NTB berada pada peringkat 32 dari dari 34 provinsi.
Tiada gading yang tak retak. Itu pula yang terkandung pada bagian satu buku ini. Istilah bahasa Sasak seperti bajang, midang tidak diberikan penjelasan berupa catatan kaki. Sehingga istilah tersebut hanya dipahami oleh pembaca yang menguasai bahasa Sasak.

BACA JUGA:  Abdul Malik Raih Gelar Akademis Keempat: Doktor Hukum Diselesaikan dengan IP 4.0 dan Cumlaude

Berikutnya pada halaman 44, penulis buku ini mengutip pendapat psikolog Lisa Druxman (2020), tetapi Lisa Druxman beserta judul karyanya, penerbit, tempat diterbitkan tidak dicantumkan dalam daftar pustaka. Selanjutnya pada halaman 31 hingga 45, halamannya lompat-lompat, tidak berurutan. Ini mengganggu pembaca ketika sedang asyik menikmati buku ini. Ada sejumlah kata salah ketik seperti naga-naganya pada halaman 35 seharusnya nadanya-nadanya, air uaknya pada halaman 35 seharusnya air mukanya, kemudian Rumbug seharusnya Rumbuk. (Bersambing)


Buku ini dapat diperoleh dengan menghubungi Penerbit Segi 8 di Jl. Bung Karno No.3 Mataram NTB email:penerbitsegi8@gmail.com.