Neeb

Orang Belanda yang paling banyak tahu tentang Lombok walaupun kurang dari dua tahun berada di pulau ini, adalah seorang dokter tentara. Namanya Christiaan Johan (CJ) Neeb. Ia dokter unik. Punya hobi menulis dan fotografi.

Oleh: Buyung Sutan Muhlis

Tanpa hasil bidikannya, kita tak akan banyak menemukan dokumentasi foto tentang Lombok pasca perang 1894. Foto-fotonya mengambil lokasi mulai dari Ampenan hingga bagian timur Pulau Lombok.

Bagi saya, Neeb bukan sekadar fotografer. Tetapi ia seniman foto. Kalau dalam ilmu jurnalistik, karya-karyanya masuk dalam kategori human interest.

Jangan bayangkan ia tinggal menjepret dengan menyentuh tombol yang muncul di layar digital. Atau mengambil gambar seperti para fotografer kamera analog di tahun 1980-1990an. Selain besar dan berat, generasi tustel yang digunakan Neeb belum berteknologi single lens reflect (SLR). Kamera di masa itu sudah memiliki fasilitas viewfinder atau jendela bidik. Tapi sering tidak konsisten. Subyek dan obyek foto yang terlihat di jendela bidik belum tentu sama dengan yang direkam negatif film. Lain yang dibidik, lain yang tercetak. Sehingga fotografer lebih banyak mengandalkan intuisi. Dan Neeb, saya kira membidik obyek dan subyek fotonya dengan hati. Bukan dengan indera penglihatan. Tapi saya berani bertaruh, 1000 hasil foto amatir menggunakan kamera teknologi jaman now, tak akan mampu mengalahkan kualitas satu lembar saja potret hitam-putih Neeb.

BACA JUGA:  Witan Sulaiman Terima Hadiah Beasiswa Pendidikan S2 dari Walikota Palu

Foto-foto Neeb banyak digunakan dalam berbagai kepentingan. Mulai dari artikel-artikel sejarah tentang Lombok, buku-buku, hingga pajangan di kedai kopi.

Saya sangat tertarik pada sosok meneer itu. Sayangnya, saya tidak menemukan potret dirinya barang selembar pun (saya menggunakan foto François-Frédéric Boissonnas, seorang fotografer Swiss, sebagai ilustrasi status ini). Saking berhasrat memburu obyek, ia sampai lupa dirinya tidak pernah terabadikan. Maka saya simpulkan ia bukan seorang yang narsis. Andaikata ia masih hidup di jaman sosial media, saya juga pastikan ia tak akan pernah berfoto selfie.

Lalu saya teringat para profesional lain. Saya pernah menggunakan jasa seorang tukang bernama Umar. Ia tukang bangunan senior. Hasil kerjaannya halus. Bagiannya pada pekerjaan-pekerjaan finishing. Ia mampu membangun rumah-rumah orang sedemikian kokoh dan indah. Tapi rumahnya sendiri kondisinya hanya sekadar tempat berteduh. Dipelester pun tidak. Ada juga seorang penjahit terkenal. Berbagai pakaian trendi ia pernah buat. Tapi saya tidak pernah melihatnya berpakaian bagus. Lebih sering mengenakan sarung. Penulis-penulis hebat juga jarang menuliskan kisah mereka sendiri. Karena terlalu kepo urusan kehidupan orang, tak banyak info yang bisa didapatkan tentang mereka.

BACA JUGA:  Masihkah Bungin Berstatus Pulau Terpadat di Dunia?8

Sedikit catatan saya temukan tentang fotografer itu. Neeb lahir di Kota Solok, Sumatera Barat, 19 Mei 1860, dari pasangan Pieter Gerardus Neeb dan Anna Francina Intveld. Ia tercatat sebagai perwira KNIL, dokter di Palembang dan Surabaya, serta termasuk dalam tim medis bersama delapan dokter lainnya sekaligus fotografer dalam Ekspedisi Lombok 1894.

Neeb menikahi Johanna Frederika de Witt pada 29 Agustus1893. Dengan demikian ia turut dalam ekspedisi Lombok saat ia berusia 33 tahun dan baru setahun menikah.

Pertanyaannya, apakah karya-karya Neeb hanya terhimpun menjadi sebuah buku berjudul “Naar Lombok” yang disusunnya bersama WE Asbeek Brusse di tahun 1897? Tidak hanya itu. Jauh sebelumnya ia juga merangkap menjadi jurnalis di beberapa media Eropa dan Hindia Belanda. Di antaranya di majalah Eigenhaard yang terbit di Belanda dan koran Bataviaasch Nieuwsblad terbitan Batavia.

Koleksi fotonya saat berada di Lombok ia kirim untuk dimuat Bataviaasch Nieuwsblad. Sedangkan majalah Eigenhaard memuat salah satu artikelnya berjudul “Een Verwoeste Kampong op Lombok di Bulan April 1895”.

BACA JUGA:  De Rindjani

Setelah bertugas di Lombok ia dipindahkan ke Surabaya. Di sinilah ia menyusun buku Naar Lombok berisi foto-foto dan narasi kisah kesehariannya bersama Luitenant WE Asbeek Brusse selama di Lombok. Buku inilah salah satu sumber pemburu foto-foto Lombok tempo doeloe.

Hanya setahun lebih di Surabaya, Neeb kemudian mengemban tugas di Jambi sejak awal 1899. Di sini ia menulis artikel berjudul “Het Een en Ander Over Hindoe Oudheden in het Djambische”, terbit 1902. Tentang sebuah legenda yang berhubungan dengan situs Solok Sipin di Jambi. Kisahnya mirip Malin Kundang si anak durhaka yang dikutuk menjadi batu. Tapi batu di Jambi itu tak hanya satu. Karena manusia yang dikutuk cukup banyak. Artikel ini menjadi salah satu rujukan Pusat Arkeologi Nasional saat melakukan eskavasi pada 1983.

Dokter, penulis, dan fotografer hebat itu wafat di tahun 1925, di usia 64 tahun. Ia tak sempat menekan jemari di perangkat kameranya di saat Lombok mulai bergerak bebas di alam merdeka. Dan jejak-jejak yang terabadikan melalui tangkapan lensanya 126 tahun yang lalu, hampir seluruhnya tertimbun debu-debu waktu. (Buyung Sutan Muhlis)