Sang Ilusionis Industrialisasi dan Kematian Tragis Penonton

Oleh: DR Salman Faris

Dalam catatan banyak sejarah, mereka yang bermimpi melampaui zaman selalu dipandang gila. Tak banyak dari mereka yang dibunuh. Pada 15 Februari 399 SM, Socrates dihukum bunuh diri dengan meminum racun oleh pengadilan Athena hanya karena menentang pandangan lama dengan menawarkan pemaknaan lebih lanjut tentang dewa yang selama ini diyakini masyarakat Athena.

Nabi Muhammad disebut gila setelah menceritakan perjalanan Isra’ Mi’raj sebab peristiwa tersebut melangkaui ribuan tahun sebelum teknologi penerbangan dijumpai. Termasuk Steven Paul Jobs yang dipandang memberaki muka sendiri sebelum akhirnya brand Apple termasuk merajai teknologi masa kini. Lantas, adakah sang gubernur termasuk kategori orang yang patut disebut gila?

Sebenarnya, ide industrialisasi yang ditawarkan sang gubernur bukan barang baru. Ini ide yang sudah membibit sejak abad ke-18 yang ditandai dengan dijumpainya mesin uap oleh James Watt pada tahun 1766. Sejak itulah otak manusia mulai tak terkendali untuk menggerus hidup di atlas bernama industrialisasi. Otot manusia dan kuda yang sebelumnya menjadi teknologi paling canggih secara bertahap mulai tergantikan oleh mesin. Dari situasi ini dapat dilihat bahwa industrialisasi itu ialah lompatan berfikir, salto imajinasi, dan birahi hidup yang serba ada serbi mudah.

Dengan begitu, sang gubernur yang menawarkan industrialisasi di NTB sama sekali bukan ide gila. Bukan juga termasuk gugusan imajinasi yang merobek-robek lambung samudera untuk menemukan rahasia terdalam peradaban di dalamnya. Tidak juga tergolong kebernasan berpikir untuk membelah langit agar dijumpai ruang hidup yang lebih mudah seperti mana nenek moyang industrialisasi itu.

BACA JUGA:  ASN Gharimin Berhak Sebagai Penerima Zakat

Sampai di sini, jadi nampak sebenarnya yang gila ialah kaum cendekia di NTB yang kadang amat bernafsu menumpahkan kritik terhadap sang gubernur (termasuk juga saya, pastinya, namun saya bukan dari golongan cendekia). Kenapa tidak? Mereka menghabiskan tenaga, pulsa, kuota, waktu, pikiran hanya untuk berbusa-busa mengkritik ide yang sebenarnya sudah usang. Selain itu, kaum cendekia NTB tidak sadar yang mereka sudah terjebak ke dalam jurus sulap yang andalannya ialah kecerdikan tipuan menggunakan warna industrialisasi yang berubah wujud menjadi warna citraisasi.

Dalam situasi tersebut, sang gubernur telah amat berhasil sebagai ilusionis dengan menyibukkan kaum cendekia untuk melahirkan kritik, gerumunan, gerundelan yang melengahkan mereka terhadap permainan sebenar sang gubernur. Akhirnya kaum cendekia NTB yang hebat-hebat itu sama derajatnya dengan kaum tertipu karena sang gubernur berhasil keluar dari pintu lain selepas sulap berhasil dipertunjukkan.

Namun apabila ide sang gubernur dikomparasikan dengan realitas sosial, ekonomi, dan budaya di NTB, boleh jadi industrialisasi itu tak hanya tersemat sebagai kecerdikan ilusionis. Melainkan juga satu tanda yang, sang gubernur mempunyai kesadaran untuk melakukan sesuatu yang besar di tengah masyarakat yang masih terkungkung. Lihat saja satu persatu, Newmont di Sumbawa yang sudah beroperasi berpuluh-puluh tahun hanya mengayakan orang asing. Sedangkan masyarakat setempat tetap saja hingga kini mengeluhkan muka ditutupi debu sebab kemiskinan tak juga melarikan diri dari kangkang nasib mereka. Lihat saja pariwisata di Lombok yang sudah sampai di level raja dunia namun industri pelesir itu tak berhasil menghapus peluh derita masyarakat setempat.

BACA JUGA:  Adakah Ahyar Abduh Masih Terlalu Kuat di Mataram?

Tidak hanya itu, kekayaan alam Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok, boleh dikatakan tiada tandingan di Indonesia. Mana ada di Indonesia bahkan di dunia ini satu provinsi memiliki dua gunung sejarah yang, tidak ada seorang pun ilmuwan gunung sampai pendaki gunung dunia yang tidak mengenal Tambora dan Rinjani. Kedua gunung ini adalah satu tanda kekayaan alam yang tiada tertandingi sejak ribuan tahun yang lalu. Belum lagi jika menengok kekayaan laut. Lombok sebagai penyumbang mutiara terbaik di dunia sekaligus penyumbang lobster terbanyak di muka bumi ini.

Hanya saja, kekayaan alam tersebut bertolak belakang dengan nasib kebanyakan masyarakat yang tertimpa derita, tangisan kemiskinan, dan jeritan kekalahan sejak ribuan tahun yang lalu. Hingga kini, NTB pula selalu sebagai provinsi subordinat Bali dan provinsi miskin lainnya yang, kekayaan mereka amat tidak seberapa dibandingkan kesugihan NTB.

Melihat situasi itu, sudah pasti ada yang salah, sudah jelas terjadi kesalahan besar di NTB. Mungkin kesalahan ribuan tahun sebagai manusia Pulau Sumbawa dan Pulau Lombok itulah yang menjadi titik balik sang gubernur bermimpi. Berimajinasi tentang percepatan. Berkhayal tentang kemakmuran yang seimbang kekayaan alam. Maka, sang gubernur meminjam ide usang namun tak dapat disangkal memang brilian itu sebagai rumus jitu dengan tujuan agar masyarakat NTB berdaya guna sehebat kekayaan alam mereka.

BACA JUGA:  Politik Pengetahuan dan Modal Pengetahuan (Sasak yang Selalu Hilang)

Hanya saja, sebagai ilusionis, sang gubenur ada salah langkah. Dia menyuapi nasi kepada kelompok manusia yang belum mahir menggunakan sumber daya mulut mereka. Dia lupa sebelum Nabi Muhammad Isra’ Mi’raj, bangsa Arab sudah termasuk golongan manusia yang berperadaban tinggi dalam mengelola bahasa. Dia lupa, sebelum Socrates dihukum minum racun, masyarakat Athena sebagai satu-satunya kelompok manusia terbaik di muka bumi ini. Dia abai sebelum Steven Paul Jobs mengkreasaikan brand Apple, masyarakat Barat sudah berani telanjang di depan kamera.

Dengan kata lain, sebelum industrialisasi diaplikasi, manusia yang wajib terlebih dahulu disiapkan secara paripurna. Sebelum melabur imajinasi, kesiapan dan kelengkapan perangkat kebudayaan manusia semestinya dicanggihkan terlebih dahulu. Industrialisasi bukan diperuntukkan kepada manusia yang masih buta huruf dalam kebanyakan urusan. Bukan juga kepada manusia yang bermental budak.

Rupanya, sang gubernur terlalu asyik berilusinasi dalam permainan sulap, sampai dia lupa yang penontonya ialah kelompok masyarakat yang buta. Tidak dapat melihat apa-apa. Malangnya, sang gubernur tidak memberikan penawar agar mata buta masyarakat terbuka terlebih dahulu sebelum sulap dimainkan, malah memilih pintu lain untuk menyelamatkan diri.

Akhirnya, sulap pun bubar. Cendekia, sang pengkritik jadi gila sendiri. Hanya sendiri, sang gubernur menikmati anggur di ruang isolasi sehabis ilusi tak berarti. Lacurnya, masyarakat atau pengadilan tak dapat menghukum sang gubernur seperti nasib Socrates sebab hanya dalam film The Prestige sang ilusionis dapat dibunuh.

Malaysia, 26 Januari 2021