Oleh: DR Salman Faris
Dalam konteks Pilkada Kota Mataram 2020 dan Pilgub NTB di masa mendatang, semakin orang Sasak bertarung sengit dan habis-habisan antarsesama, makin sangat kecil peluang meraih menang.
Tulisan ini tidak hendak membicarakan tentang Makmur Said secara personal. Sebagai diri, tidak ada yang menyangkal kemampuan dan kualitas Makmur Said. Pengalaman birokrasi dan wawasan, boleh jadi, ia tak setanding dengan lawan tandingnya saat ini. Bahkan dari segi finansial, Makmur Said juga tak dapat dipandang remeh. Modal sosial dan modal kapital Makmur Said, sudah memenuhi syarat untuk menang dalam pertarungan politik di Mataram.
Namun sayang sekali, tulisan ini ingin menelisik peluang Makmur Said dari segi strategi dan momentum pertarungan dalam politik. Kedua hal ini ialah utama. Jika syarat lain sudah terpenuhi seperti yang saya sebutkan di atas, namun bermasalah dalam kedua hal ini, berpotensi musnah harapan. Hilang tadah, habis kembulan.
Lantas apa yang menyebabkan kekalahan Makmur Said? Saya akan coba bincangkan sederhana seperti berikut.
Pertama, Makmur Said sebagai orang Sasak. Seperti diketahui, Pilkada Kota Mataram 2020 hampir semuanya orang Sasak, baik kedudukannya sebagai calon walikota maupun calon wakil walikota. Sudah tentu, sebagai orang Sasak, masing-masing akan berjuang habis-habisan untuk memperjuangkan pemilih Sasak sebab umum diketahui, memang pemilih Sasak amat dominan. Sayang sekali, lebih baik padi seikat tapi dimakan sendiri dibandingkan padi setumpuk dibagi banyak orang. Begitulah analogi yang boleh dirujuk untuk menggambarkan logika kekalahan Makmur Said pada dirinya sebagai orang Sasak.
Kenapa isu Sasak ini menjadi menarik dalam Pilkada Kota Mataram tahun 2020 ini? Tidak lain karena ada Selly yang, oleh orang Sasak sendiri mendudukkan Selly sebagai representasi etnik Bali di Mataram. Meskipun isu ini tidak mengemuka, tak pula tervisualisasi sebagai lahan pertarungan (bahkan boleh jadi ditutup-tutupi), namun tak dapat dimungkiri (bawah sadar sejarah), pasti banyak orang Sasak yang masih primordial dan terutama karena dalam imajinasi mereka Mataram ialah Sasak merasa kuatir jika Selly sebagai pemenang. Boleh jadi mereka merasa tercoreng dan cemas sebab kehilangan gumi paer, jatuh ke tangan orang yang mereka nilai perwakilan etnik Bali. Ini satu situasi yang pasti tidak diinginkan oleh orang Sasak.
Satu sisi, elite yang mempunyai peluang sama dalam pertarungan politik, pun sama-sama menggerus kekuatan untuk masuk ke dalam arena pertandingan yang, lacurnya arena itu adalah pemilih Sasak. Mereka mewakili bangsa sama memperebutkan suara kaum yang meskipun mayoritas, namun pasti terbelah, terserak tidak karuan sebab petarung tersebut tidak ada yang dengan rela hati berdiri sebagai soko guru bagi kaum yang sepatutnya mendapatkan hak menang di Mataram. Kemenangan yang amblas karena strategi politik yang keliru. Pada sisi yang ini, amat disayangkan, orang Sasak belum juga pandai mengaji dari pengalaman politik yang pahit dipecundangi sebagai orang kalah di guminya sendiri. Dan kekalahan itu bukan karena mereka lemah serta tak berilmu, tetapi karena penyakit mereka sendiri: Susah ada yang mau ngalahan. Selain itu, ada kanker budaya dalam watak mereka yang sangat mudah disulut bersilat antarsesama
Kedua, karena Makmur Said sudah kehilangan momentum. Ada pepatah dalam masyarakat Sasak, anteh mayung lelah. Karena susah mengejar dan menangkap mayung yang masih bertenaga, maka harus menunggu hingga mayung kehabisan tenaga barulah mengejar dan menangkapnya. Pepatah ini memang tak hanya soal momentum, juga tentang strategi. Dalam konteks Makmur Said, ia lebih dekat dengan pemaknaan momentum. Hampir semua orang tahu, ketika Makmur Said sedang di puncak karier sebagai birokrat, ia mempunyai power yang kuat dan luas. Kemampuan membangun relasi kuasa yang mumpuni ialah salah satu modal utama Makmur Said. Dapat dibayangkan, jika Makmur Said berani berspekulasi masa depan pada masa itu, bahkan petahana dapat dibuat ketar ketir. Peluang Makmur Said menjadi walikota Mataram amat besar. Tapi sayang, itu dulu.
Saat ini, terutama disebabkan oleh berakhirnya karier birokrasi Makmur Said ketika sedang tidak di puncak dan pengakhiran itu sudah berlangsung lama, maka ia tak lebih dari sekadar orang hebat yang kehilangan banyak tenaga di waktu transisi. Satu sisi, disebabkan watak birokrasi yang umumnya amat pragmatis: ketaatan hanya diberikan kepada siapa yang berkuasa bukan kepada mantan penguasa, maka gerbong birokrasi manakah yang dapat diandalkan Makmur Said sebagai mantan birokrat nomor satu di Mataram. Amat sudah dijelajah. Sementara tak dapat dielakkan, pertarungan di Pilkada Kota Mataram saat ini, pun tak dapat dilepaskan dari siapa yang sedang berkuasa dan mantan penguasa. Karena itu, kehilangan momentum ialah magma kekalahan Makmur Said.
Ketiga, penentuan wakil. Hal yang sama, modal sosial dan modal kapital Ahda sebagai calon wakil Makmur Said tidak diragukan. Hanya saja, segera saja pemilih akan membandingkan Ahda dengan sang ayah, Ustaz Ahyar Abduh. Ada dilema dalam soal ini, pemilih setia Ahyar Abduh berpotensi terbelah. Yang satu berdiri dalam kesetiaan pada Ahyar Abduh dan yang satu lagi menyanksikan kesetaraan Ahda dengan Ahyar Abduh. Sebab Ahda belum teruji dan pada tinjauan yang lain, di beberapa tempat ada semacam gelombang masyarakat yang menolak politik warisan. Gelombang ini bukan tak mungkin berlaku untuk Ahda.
Seandainya pemilih setia Ahyar Abduh sebulat suara tumpah kepada Makmur Said, hal tersebut tetap tak dapat mendongkrak kemenangan. Sebab Makmur Said sebagai orang Sasak dan sudah kehilangan momentum telah memberikan lubang kekalahan yang besar. Dengan kata lain, meskipun saya meletakkan Ahda sebagai salah satu sebab kekalahan Makmur Said, namun tidak mengubah landas pacu kekalahan Makmur Said yang saya singgung sebelumnya, yakni Ahda juga orang Sasak yang akan memperebutkan pemilih Sasak dengan empat orang lawan. Pada lempeng yang berbeda, boleh jadi Ahda berada pada dua situasi yang tidak menguntungkan. Dia juga kehilangan momentum sebagai wakil yang diharapkan dapat memenangkan Makmur Said sebab Ahyar Abduh sudah di masa penghabisan kuasa, atau malah momentum Ahda belum tiba masanya. Sebab dia memerlukan rantai perjalanan yang berjubin untuk sampai kepada kelas dan ranking ayahnya.
Apa pun itu, situasi tersebut sepertinya, akan semakin menguatkan yang Makmur Said bertarung di padang goar kekalahan.
Malaysia, 5/10/2020