Saya tidak dapat membayangkan, NU akan tumbuh dan berkembang secemerlang saat ini jika pendiri NU bersikukuh, NU harus dibesarkan oleh para keturunan lalu murid hanya dijadikan pengikut untuk selamanya, tanpa diberikan peluang yang sama seluas siapa saja yang berada di bawah payung NU. Lantas apa yang membuat NU dapat berkembang dalam kedigdayaan kemajuan seperti sekarang ini?
Tentu amat banyak faktor. Akan tetapi, hanya beberapa yang sesuai dengan konteks tulisan ini yang perlu disinggung. Ada budaya berbagi sama rata podo roso sekaligus pengakuan dan penghargaan peran besar untuk masing-masing tokoh bahkan bukan tokoh utama dalam NU. Meskipun catatan sejarah tidak dapat ditampik yang, Hadratussyekh KH Hasyim Asyari (Mbah Hasyim) merupakan ulama kunci pendirian NU, akan tetapi proses dan cikal bakal jiwa pendirian NU tidak diketepikan. Peran KH Abdul Wahab Chasbullah (Mbah Wahab), misalnya, tertulis dengan jelas dan teratur dalam literatur NU. Penghormatan, pengakuan, dan penghargaan yang sama pun diberikan kepada kedua tokoh kunci tersebut. Begitu juga kepada tokoh pendiri NU yang lain, seperti KH Bisri Syansuri, KH Mas Alwi bin Abdul Aziz, KH A. Dachlan Achjad, KH Ridwan Abdullah dan yang lain.
Bahkan peran Syaikhona Muhammad Kholil (Mbah Kholil) Bangkalan sebagai perestu pendirian NU, tidak terhapus dalam literatur dan ingatan semua jamaah NU. Nampak Jelas, ada tokoh utama dalam pendirian NU, namun ada tokoh penting lainnya yang dicatatkan juga berperan besar. Dan setiap peran berkedudukan dalam pengargaan dan penghormatan setara. Tak ada Kiai yang merasa paling memiliki dan merasa paling berhak terhadap NU.
Budaya tersebut di atas, telah mengakar dan membentuk satu sistem kultural sekaligus struktural. Pada tataran kultural, semua jamaah NU memberikan penghormatan dan tempat khusus kepada Mbah Hasyim dan keturunannya sekaligus dipersembahkan kepada tokoh yang lain dalam kadar yang sama. Hal yang serupa terjadi di tataran struktural, di mana tidak berlaku faham yang wajib mengarusutamakan keturunan pendiri NU sebagai PBNU. Tegasnya, tidak mesti keturunan Mbah Hasyim menjadi pemimpin seperti halnya keturunan tokoh pendiri yang lain. Semua tokoh terbaik mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pemimpin tertinggi NU tanpa mempersoalkan keturunan sebagai darah biru NU atau pun bukan.
Jika pun keturunan pendiri NU dicalonkan menjadi pimpinan, mestilah melalui mekanisme dan proses yang sudah ditentukan organisasi. Tidak ada karpet merah digelar berlandaskan doktrin dengarkan dan taati. Petik sebagai contoh ialah terpilihnya Gus Dur sebagai PBNU tahun 1984 pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Meskipun keturunan langsung Mbah Hasyim, Gus Dur melangkah amat tidak mudah. Pergesekan terjadi antara kelompok yang pro Gus Dur dengan PBNU petahana pada masa itu yakni KH Idham Chalid. Pertindihan pandangan yang tak kalah sengit terjadi juga pada Muktamar ke-28 pada tahun 1989 di Yogyakarta. Kali ini, malah Kiai As’ad yang semula pendukung utama Gus Dur memilih laluan berseberangan.
Tak dapat dielakkan, jalan berliku Gus Dur pun semakin memanjang, meski jamaah NU sangat menghormatinya sebagai keturunan Mbah Hasyim. Bahkan untuk kepimpinannya dalam periode ketiga, dapat dikatakan sebagai salah satu puncak terjalnya kemenangan Gus Dur. Muktamar ke-29 NU di Tasikmalaya pada tahun 1994 merupakan situasi tergenting keturunan Mbah Hasyim menjadi PBNU. Gus Dur harus bersusah payah melalui dua putaran meskipun akhirnya menang. Situasi ini menegaskan yang hak memimpin NU ialah sama untuk mereka yang berkelayakan. Dan mestilah melalui proses yang sama pula. Tidak ada hak istimewa. Tidak ada pula yang sejak umur belia sudah dilantik secara simbolik sebagai pemimpin. Tak ada juga istilah pewarisan kekiaian sebagaimana layaknya pewarisan tahta kerajaan yang bergelar Kiai I, Kiai II , Kiai III dan seterusnya.
NU tidak dijadikan sebagai pusat kuasa oleh mereka yang berdarah biru dan jamaah NU yang lain juga tidak dididik untuk membudayakan diri menjadi kawula yang hanya mempunyai hak mendengar dan menaati. Jamaah yang kriris tidak diancam kehilangan barokah Kiai. Tidak juga didekalarasikan secara terbuka sebagai penghianat NU. Keturunan dan nasab keilmuwan menjadi sangat penting dalam proses kekiaian, namun hal tersebut tidak menghalangi peluang jamaah (bukan garis biru) yang alim dan berakhlaq mulia menjadi Kiai panutan. Kuasa Kiai yang begitu besar tidak membunuh rasionalitas jamaah. Itulah yang menyebabkan wacana kritis di kalangan NU berkembang subur.
Jelas betapa, jamaah NU sangat terdepan dalam menjalankan organisasi melalui sistem yang betul. Karpet merah Kiai dan keturunannya digelar pada tempat yang sesuai, dan dalam masa yang sama, demi memajukan NU sebagai organisasi, semua tokoh yang layak memimpin NU, diberikan permadani yang setara. Inilah budaya NU yang telah membentuk NU menjadi lautan berkah sekaligus kematangan struktural. Karpet merah untuk siapa saja di antara mereka yang terbaik memimpin NU tanpa memandang keturunan pendiri atau bukan.
Faktor penting lainnya ialah budaya membagi kemanfaatan yang sama kepada siapa saja. Bahkan seandainya orang tersebut tidak memiliki kelayakan untuk mendapatkan kemanfaatan berorganisasi. Pun mendapatakan porsi kemanfaatan yang proporsional. Dalam hal ini, dapat difahami yang tujuan seseorang atau suatu masyarakat berorganisasi ialah untuk mendapatkan kemanfaatan. Tentu saja dalam konteks NU ialah kemanfaatan dunia dan akhirat.
Sekali lagi, saya tidak dapat membayangkan, apa jadinya NU jika kemanfaatan tersebut hanya terpusat untuk keturunan dan pimpinan tertinggi NU saja. Atau hanya keturunan pendiri NU yang mempunyai hak istimewa mendirikan bisnis pakaian santri atau busana islami, membuat perusahaan katering, membangun perusahaan travel atau usaha bimbingan haji dan kemanfataan ekonomi lainnya. Atau juga hanya mereka yang berdarah biru NU yang mempunyai hak khusus sekaligus mutlak diangkat menjadi pemimpin politik atau dicalonkan sebagai pemimpin dalam pemerintahan. Atau yang lain juga, hanya keturunan pendiri NU saja yang mempunyai hak istimewa menjadi pemimpin di perguruan tinggi di bawah NU atau menjadi ketua Yayasan dalam naungan NU. Sekali lagi dan lagi, saya tidak dapat membayangkan NU yang terkerangkeng oleh faham semacam itu. Dengan begitu, realitas yang nampak ialah kemanfaatan dalam NU disebarluaskan menjadi milik dan hak bersama.
Contoh paling sederhana ialah yang terkini. Lagu Satu Abad NU yang liriknya ditulis oleh Gus Mus lalu diaransemen oleh Tohpati Ario Hutomo, telah memberikan manfaat yang luas kepada sapa saja yang kreatif. Gus Mus tidak membentengi karya kreatif tersebut atas dirinya sebagai penulis lirik sekaligus keturunan darah biru NU. Dampaknya ialah dalam masa yang singkat, lagu Satu Abad NU telah menjelma ke dalam banyak genre lagu. Mereka yang hobi rock, segera menggubah lagu tersebut menjadi musik rock. Begitu juga mereka yang hobi jaz, kasidah, dangdut, dan lainnya. Segera mendapatkan kemanfaatan. Amat menarik, tidak ada larangan atas nama karomah atau berkah. Sebab karomah dan berkah dalam faham NU dapat diperoleh oleh siapa saja melalui kepelbagaian kaedah.
Yang menarik juga, selain lagu resmi satu Abad NU, para kreator juga diberikan mendulang kemanfaatan momentum resepsi Satu Abad NU dengan menciptakan lagu sekaligus video clip yang lain. Tak dapat dielakkan, karena karya tersebut mengambil semangat dan momentum yang sama, maka jamaah NU yang lain berduyun-duyun memberikan sambutan dan penghargaan.
Contoh yang lain juga dapat dilihat pada kemajemukan latar belakang mereka yang memperoleh sekaligus memberi kemanfaatan dalam NU. Orang yang merasa sebagai pendosa, datang dari dunia kelam dan dipandang hitam oleh komunitas sosial, dengan senang hati mereka datangi Gus Miftah untuk mendapatkan pencerhaan, misalnya. Sementara itu, Kiai dan jamaah NU yang lain, tidak menentang-melarang Gus Miftah bertindak mengastasnamakan diri sebagai orang berlatar belakang NU. Malahan didorong untuk semakin mengepakkan sayap.
Mereka yang gemar mengaji sambil berhibur, tidak dipaksa masuk pesantren. Karena mereka dengan lapang hati menghadiri forum yang diadakan Cak NUN. Mereka yang senang mempelajari islam dalam perspektif kejawen, pun sudah banyak Kiai mumpuni dalam NU. Amat menarik, tidak ada pertentangan sikap dalam hal tersebut meski berbeda pandangan. Tidak ada doktrin dan larangan, baik secara kultural maupun struktural.
Bahkan yang paling mencengangkan ialah seniman musik dangdut koplo yang terkenal seantero Nusantara bahka dunia, tidak malu dan tak juga segan mengaku diri sebagai NU karena tidak ada pengharaman bagi profesi mereka. Budaya NU mendidik mereka menjadi orang NU yang berNU dengan cara mereka masing-masing. Karena Kiai NU meyakini yang, mereka semua, dari jenis apa pun, tertanam dalam hati terdalam yang sumber berkah ialah Kiai dan NU itu sendiri.
Di samping faktor di atas, tak kalah menariknya ialah NU tidak mengenali faham tokoh tunggal. Tokoh yang diberikan tugas dan beban untuk memanggul NU sendiri. Tokoh yang menjadi pusat segala keputusan dan kebijakan. Tokoh yang segala pikiran, pandangan, dan arahannya mesti didengar, diikuti dan ditaati. Budaya NU memberikan penghormatan kepada keturunan pendiri NU, Kiai, dan tokoh penting dari kalangan struktural, namun tak berarti penghormatan besar tersebut menciptakan faham tokoh tunggal.
Semua Kiai dan tokoh di NU mempunyai kesadaran yang sama sebagai penggerak kemajuan NU. Asas ini tersampaikan secara baik kepada jamaah. Lalu yang terjadi ialah pembagian peran dan tanggung jawab yang sama memikul pemajuan NU dari pusat hingga kawasan terpencil. Dari yang paling atas hingga yang paling bawah.
Meskipun tidak termasuk ke dalam struktural, Kiai NU yang mengasuh pondok pesantren dan pengajian di kawasan tertentu memiliki kewibawaan dan kehormatan yang sama dengan Kiai dan tokoh struktural lain. Pusat tidak merasa terganggu ketika Kiai yang lain mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan mereka yang berada di struktural. Malahan, struktural NU segera memfasislitasi secara luas agar Kiai tersebut medapatkan tempat yang semakin terhormat.
Misalnya, ketokohan Gus Baha yang begitu populer, tidak lantas meredupkan ketokohan Kiai yang lain. Para video kreator di NU pun tidak kehabisan bahan konten untuk membuat videp pendek karena masing-masing Kiai mempunyai tempat yang sama. Video Gus Baha yang begitu populer tersebar secara luas, pada masa yang sama video Kiai yang lain pun menjamur. Dengan begitu, jamaah NU mempunyai banyak pilihan konten kreaasi untuk ditonton dan dipelajari. Bukan seribu video berisi tokoh yang sama.
Perkara tersebut telah memicu lahirnya ilmuwan NU berkecambah di tiap kawasan. Jamaah mempunyai pilihan yang pelbagai jika berkeinginan mengaji. Pengetahuan dan karakter serta gaya pengajian yang majemuk pun menjadi pemandangan yang tak asing di kalangan NU. Tidak terpusat pada satu tokoh yang berdampak kepada meredupnya tokoh yang lain. Jamaah mengenali semua tokoh tersebut dan menjadikan mereka sumber berkah dan ilmu pengetahuan. Transmisi keilmuan dan perjuangan pun lebih cepat merata karena NU tidak perlu menunggu tokoh yang tunggal hanya untuk satu kegiatan dan keputusan. Bagi jamaah NU, semua sama-sama NU. Dan Kiai NU akan tetap menjadi NU.
Faham Kiai NU akan tetap menjadi NU merupakan kefahaman dasar di kalangan jamaah NU. Dengan begitu, dapat dikatakan, tidak ada dalam catatan sejarah, Kiai atau jamaah lain yang dipecat dari NU. Meskipun pergolakan pandangan, sikap, tindakan di kalangan NU sangat dahsyat, hal ini tidak dijadikan alasan untuk menepikan orang lain. Kalaulah hal ini berlaku, betapa banyak tokoh penting NU yang sudah dipecat karena gentingnya perbedaan.
Masih segar dalam ingatan, sebagai contoh, pertentangan di kalangan PKB yang kala itu dideklarasikan sebagai partai platform perjuangan politik NU. Tidak tanggung-tanggung, Muhaimin Iskandar melawan Gus Dur, bahkan secara perlahan Gus Dur tersingkir dari PKB. Pergolakan sengit tidak dapat dielakkan, namun hal ini, sekali lagi, tidak membuat Muhaimin dipecat dari NU. Karena walau bagaimanapun, faham bahwa orang NU tetap jadi NU sebagai pegangan asas dalam berpolemik.
Bahkan kegentingan lain yang lebih sengit pernah terjadi pada Muktamar NU ke-31 di Boyolali yang menghasilkan Kiai Hasyim Muzadi terpilih kembali sebagai PBNU. Para Kiai yang tidak searah kemudian berbincang dan bersetuju memberikan mandat kepada Gus Dur untuk membentuk PBNU baru yang merupakan PBNU tandingan hasil Muktamar tersebut. Akan tetapi, hingga Gus Dur wafat, mandat itu tidak pernah wujud, bahkan berlalu begitu saja seiring penyatuan pergerakan NU di bawah kesadaran semua orang NU tetap menjadi NU. Endingnya Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi sama-sama mendapatkan kedudukan istimewa di kalangan NU.
Goncangan gelombang sedahsyat apa pun, telah membuktikan yang, NU selalu istiqomah sebagai NU yang satu sejak didirikan. Karena itu, dapat ditegaskan bahwa sejauh ini, ada dua organisasi besar di Indonesia yang berhasil secara cemerlang membawa organisasi keluar dari faham keturunan tanpa mencederai sedikit pun penghormatan keturunan pendiri organisasi. NU dan Muhammadiyah organisasi tersebut.
Sungguh pelajaran bernilai tinggi bagi organisasi kemasyarakatan Islam lain yang berjuang menuju usia satu abad dan memasuki abad kedua semacam NU.
Malaysia, 6 Februari 2023