Dedi Suhadi SSos: KPID Agar Tagih TV Swasta Nasional Penuhi Siaran Lokal 10%

MATARAMRADIO.COM, Mataram – Dedi Suhadi bukan sosok yang asing di kalangan pegiat pers dan media siaran di Nusa Tenggara Barat. Dia terbilang jurnalis senior karena menekuni profesi ini sejak era orde baru, tepatnya tahun 1996 hingga sekarang.

Dia terpilih menjadi salah satu calon komisioner KPID NTB yang meraih golden ticket mengikuti tahap ujian akhir yakni uji kelayakan dan kepatutan di DPRD Nusa Tenggara Barat.

Bila kelak terpilih sebagai komisioner definitif, serangkaian program dan kegiatan sudah disiapkan mewujudkan visi misinya. Salah satu yang jadi sorotannya adalah masih minimnya pemenuhan konten siaran lokal oleh TV swasta Jakarta atau dia menyebutnya TV swasta nasional yang bersiaran jaringan. “KPID agar tagih pemenuhan konten siaran minimal 10% ini karena amanat Undang-Undang,”katanya kepada MATARAMRADIO.COM.

Dalam pengamatannya mencermati siaran TV Jakarta yang membuka stasiun lokal di NTB, ternyata hanya beberapa saja yang memenuhi kewajibannya bersiaran lokal. Walaupun bersiaran lokal, tetapi kerapkali sekedar gugur kewajiban tanpa memperhatikan aspek aktualitas dan jam tayang.”Masak siaran lokalnya ditayangkan jam tengah malam dan isinya itu-itu saja yang diulang-ulang,”keluhnya.

Menurut Dedi, semangat desentralisasi penyiaran merupakan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang menjamin dan melindungi masyarakat dar isi siaran yang kurang mendidik dan menciptakan iklim penyiaran yang sehat serta penghargaan terhadap hak publik lokal.“Melalui siaran berjaringan, spiritnya informasi untuk publik tidak hanya seputar Jakarta atau Jakarta sentris,”kata ayah dari putri semata wayang Ayu Puspita Jurnalis Utami, sang buah hati dari pernikahannya dengan Megawati, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Dikbud NTB ini.

Diakuinya, semangat sentralisasi penyiaran masih kental pada konten siaran TV swasta Jakarta yang membuka stasiun lokal. “Kita tidak ingin masyarakat NTB harus menonton apa yang menjadi selera oleh sekelompok elit Jakarta, selera Jakarta, nilai budaya dan gaya hidup Jakarta, kepentingan ekonomi politik Jakarta dan keuntungan secara ekonomi juga seluruhnya dibawa Jakarta,”bebernya.

BACA JUGA:  Bupati Sukiman Kepincut Komunitas Youtuber Lombok Timur

Jangan sampai, lanjut Dedi, stasiun lokal TV berjaringan hanya sekedar formalitas tetapi memberi nilai lebih termasuk pengelolanya agar memberdayakan SDM penyiaran lokal dan melibatkan pula rumah produksi lokal.”Apalagi sebentar lagi mereka akan bersiaran secara digital sesuai agenda yang ditetapkan pemerintah akan berlaku total tahun depan,”sebutnya.

Ada banyak gagasan lain yang ada dalam benak Dedi Suhadi seputar cetak biru penyiaran NTB lima tahun ke depan.”Saya juga perlu menyampaikan gagasan saya tentang pandemi media sebagai sebuah upaya lembaga penyiaran bersaing di era konvergensi media,”terangnya.

Dedi Suhadi diapit putri semata wayang Ayu Puspita Jurnalis Utami dan Isteri Megawati./foto: istimewa

Disebutkan Dedi, media nasional maupun media lokal harus berjibaku dengan era media sosial. Pasalnya, kecepatan informasi dari media sosial tak perlu menunggu hitungan jam. Hanya hitungan detik infromasi sudah bisa tersampaikan.”Harus dipahami, keakuratan informasi lewat media sosial perlu diverifikasi ulang dan lebih cermat. Walau begitu, informasi dari media mainstream pun tidah bisa dilepaskan dari verifikasi informasi. Karena, di era saat ini, informasi yang bersifat bohong hampir menyerupai bahkan terkadang lebih menarik kemasannya dari media mainstream,”ulasnya.

Untuk mengimbangi kecepatan media sosial dalam penyampaian informasi, lanjut Dedi, bisnis media pun harus mampu menyelaraskan dengan kebutuhan atau kebiasaan masyarakat saat ini. Dimana, masyarakat lebih senang bermain media sosial maka media pun harus bermain di lini media sosial.”Karenanya konvergensi media mau tidak mau harus dilakukan oleh media mainstream agar bisa mengejar ketertinggalan dari media sosial,”sarannya.

Dari Jakarta Hijrah ke Lombok

BACA JUGA:  Radio TV di NTB Dinilai Masih Minim Program Edukasi Covid 19

O ya, Dedi Suhadi lahir dan besar di Cirebon. Sejak kecil menyukai dunia fotografi. Bahkan untuk menunjang kegemarannya, dia selalu memegang kamera saat orang lain lebih senang menjadi obyek foto.
Selepas dari SMAN Sumber Cirebon pada 1992, ia sempat masuk ke pondok pesantren di daerah Ciwaringin Cirebon.

Walau masuk pondok pesantren atas kemauannya, tapi pada 1993 memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Ya…di Jakarta memilih jurusan Jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan ilmu Politik (IISIP) Jakarta di daerah Lenteng Agung Jakarta Selatan.

Di Kampus Tercinta ini, yang sebelum menjadi IISIP berlebel Sekolah Tinggi Publistik (STP) telah melahirkan jurnalis-jurnalis handal karena sejak di bangku kukiah sudah dijejali teori dan praktek jurnalistik.
Terbukti, setelah mengikuti perkuliahan selama 5 semester, pada semester 6 tepatnya awal 1996, Ia sudah terjun ke media nasional, Majalah Misteri yang terbit sejak 1970-an.

Majalah yang membahas dunia misteri ini pada tahun 1996 berjalan seiring dengan majalah remaja yang booming pula pada saat itu.
Liputan berkait dengan budaya, supranatural serta segala macam prosesi budaya di masyarakat dilakoninya. Dan saat gelaran event festival kraton pada 1997 yang diadakan di Cirebon, ia mendapat tugas khusus.

Selain dunia Misteri, liputan di dunia politik pun dijalaninya. Ketika politik di Jakarta mulai memanas pada 1996, terjadinya perebutan kantor PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat hingga gerakan reformasi pada 1998, Ia menjadi saksi dari peristiwa-peristiwa di Jakarta.
Ketika gejolak dimulai pada 11 Mei 1998, ia menjadi saksi demo mahasiswa yang berujung bentrok dengan aparat keamanan di jalan Kyai Tapa Grogol. Yang kemudian dilanjutkan dengan aksi-aksi demo lanjutan hingga pendudukan gedung parlemen oleh mahasiswa dan mundurnya presiden Suharto dari tampuk kekuasaan setelah 32 tahun menjadi presiden.

BACA JUGA:  Sukseskan NTB Maju Melaju, Bunda Lale Dukung Empat Program Pj Gubernur

Dalam meliput peristiwa 1998, banyak kejadian yang dialami mulai terkena gas air mata hingga harus berpikir menyelamatkan diri dari batu yang terlempar.

Riak 1998 tetap mewarnai Jakarta, booming media tak terbendung. Liputan dunia politik, hukum kriminal hingga infotainment dijalaninya.
Pada 1999, disaat booming media mulai kendor, kembali lagi meliput dunia spiritualitas dengan bergabung di Tabloid Mistik. Namun sebelumnya ikut bergabung di Majalah Bea Cukai yang diterbitkan Dirjen Bea Cukai. Di Majalah Bea Cukai inilah, Ilmu jurnalistiknya kembali diasah dibawah pengawasan wartawan senior, Panda Nababan.
Setelah bergabung di kelompok kerja (pokja) Depdiknas, pada 2001 melangkahkan kaki ke Lombok.

Dunia Jurnalistik pun kembali dirambah dengan bergabung di NTB POS, Sumbawa POS, Koran Mataram dan beberpa media lainnya
Pada 2004, bergabung dengan Kantor Berita Radio (KBR) 68 H Jakarta sebagai kontributor di Lombok membawa bendera Radio Kharisma Lombok Timur. Pada 2005, bergabung dengan PLN NTB menerbitkan Majalah Menahtandur dan jabatan Pemimpin Redaksi masih dipegang sama ketika menerbitkan Tabolid OTO NTB. Kemudian menjadi Pemimpin Umum untuk Tabloid Shoot plus yang bergenre hiburan.
Selain sebagai praktisi media, ia juga menjadi akademisi dengan mengajar di Universitas 45 serta menjadi narasumber di berbagai pelatihan jurnalistik.

Pada 2016, lepas dari PLN dan membangun usaha. Namun, dunia jirnalistik kembali menjadi pilihannya dengan terlibat di radio selain sebagai pelatih jurnalistik di SMP 15, SMP 2 Mataram dan mengantarkan salah satu siswanya menjadi juara Satu Lomba Membaca Berita tingkat Kota Mataram.

Dan Kini, dunia siaran dan jurnalistik pun dijalaninya dengan terlibat di Radio Elshinta Jakarta dan Mataramradio.com serta MataramradioCity. (EditorMRC)