TULISAN ini, hanya untuk MataramRadio. Tidak saya kirim kepada media lain. Pun juga tidak saya muat di kolom Catatan Khas saya, di Bimakini. Begitulah memang seharusnya.
Topiknya, ya seperti judul di atas. Galaunya lembaga penyiaran. Tentu tidak hanya penyiaran televisi, tetapi juga radio.
Gempuran media internet, membuat lembaga penyiaran ini galau. Bahkan levelnya sudah lebih dari itu. Siap-siap lempar handuk. Apalagi kini, pemerintah sedang gencarnya mengampanyekan ASO. Analog mati total untuk siaran televisi.
Implikasi atas kebijakan ini akan dirasakan dampaknya oleh lembaga penyiaran televisi dan juga publik.
Dampak baiknya bagi Lembaga Penyiaran (LP): tidak ada lagi biaya perawatan transmisi dan beban listrik yang tinggi. Lainnya, jangkauan siaran lebih luas.
Misalnya, Selaparang TV yang sebelumnya hanya bisa ditonton di Lombok Timur, kini bisa ditonton di hampir seluruh Pulau Lombok, kecuali Kabupaten Lombok Utara (KLU) dan sebagian wilayah Sambelia. Dampak buruknya: investasi perangkat pemancar dan ikutannya, termasuk tower akan menjadi rongsokan. LP harus menyewa Multiplexer (Mux) yang ditunjuk oleh pemerintah. Biaya ini, bisa lebih mahal.
Bagi pemirsa: akan menerima tayangan dengan gambar bersih, suara jernih. Tetapi bagi pesawat televisi tabung atau layar LCD yang belum digital, harus membeli STB (set top box). Harganya lumayan. Belum ada di bawah Rp150 ribu. Ini juga belum ongos kirim kalau beli di pasar online.
Tetapi kabar baiknya, akan banyak siaran televisi yang bisa diterima oleh publik. Di Lombok misalnya, jika dilihat dari aplikasi Sinyal TV Digital, ada 41 siaran. Dari 41 itu, ada 16 siaran TVRI (TVRI World, TVRI NTB, TVRI Nasional, dan TVRI SportHD) karena siaran dengan 4 Mux. Lainnya, ada group MNC, Group SCM, Group Media Group, Trans Group, Anteve, TV One, dan TV swasta lokal. Kabarnya, Selaparang TV dan TV9 sudah mulai siaran digital. Sementara Lombok TV masih ajukan judicial review ke Mahkamah Agung RI.
Berapa banyak masyarakat yang masih menggunakan pesawat televisi tabung? Pasti banyak sekali. ASO yang akan mati total 2 November 2022 ini, akan menjadi beban tambahan di saat kondisi ekonomi akibat gempuran pandemi Covid-19, belum sepenuhnya pulih.
Untuk wilayah Lombok, ada tiga LP penyedia Mux: TVRI, SCTV, dan Metro TV. Tidak tanggung-tanggung, TVRI menyediakan 4 Mux di wilayah yan saya anggap tumpang tindih. Mataram, Swela Lombok Timur, Seganteng dan Pujut di Lombok Tengah. Sementara Metro TV memasang dua Mux, Mataram dan Pujut.
Untuk Mux TVRI Mataram, Seganteng, dan Pujut menggunakan kanal yang sama, 29 UHF atau frekuensi 538 MHz. Hanya Mux TVRI Swela yang beda: 44 UHF. Penggunaan kanal yang sama, secara teknis tentu akan menimbulkan gesekan. Perlu biaya tambahan bagi TVRI untuk bisa memanfaatkan tiga Mux ini secara bersamaan agar tidak saling mengganggu. TVRI harus mengeluarkan anggaran tambahan untuk pengadaan perangkat Single Frekuensi Network (SFN) yang dilakukan oleh mitra, PT Cipta Karsa Infinia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI saya anggap keliru dalam menentukan lokasi pembangunan Mux TVRI ini. Padahal, dengan Mux Seganteng 2.5 kW saja, sudah bisa menjangkau seluruh wilayah Lombok kecuali KLU dan sebahagian wilayah Kecamatan Sambelia. Artinya, tiga Mux lain bisa dipasang di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), KLU, dan Sumbawa. Sementara untuk wilayah Dompu, sudah bisa dijangkau dari Mux TVRI Bima.
Kebijakan analog mati total, sebenarnya makin memperparah kondisi LP yang sedang sekarat akibat gempuran media internet. Minat publik yang lebih cenderung menonton konten yang tersedia di media sosial, membuat penonton pesawat televisi berkurang drastis. Kue iklan juga ikut tergerus dan mengejar penonton media sosial.
Hal ini bukan hanya dirasakan oleh LP televisi. Tetapi juga oleh LP radio. Gaguk Santoso, pemilik 9 radio di NTB mengakui hal ini. Demikian pula dengan sejumlah pemilik radio lainnya. Bahkan satu-satu mulai tidak siaran seperti Bima FM dan Persada FM di Bima. Mereka sempat curhat kepada Gubernur NTB, Dr Zulkieflimansyah pada 6 Januari 2022 lalu. Harapannya, supaya pemerintah peduli pada LP yang sedang kesulitan saat ini.
Bagi gubernur yang lebih asyik di medsos dengan 82 ribu pengikut di akun Facebook pribadi dan lebih 100 ribu FanPage ini, LP tidak penting-penting amat untuk dibahas. Baginya, selain bekerja, melayani masyarakat di medsos dianggap jauh lebih interaktif.
Lalu bagaimana masa depan LP? Bagi pengelola radio, profesi adalah panggilan jiwa sehingga harus tetap mengudara. Padahal beban tarif listrik makin menyulitkan. Tetapi bagi LP televisi, ini jauh berbeda. Beban pembayaran Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) setiap tahun cukup besar. Belum lagi beban sewa Mux setiap bulan yang tarifnya mulai dari Rp15 juta sebulan. Konten televisi juga mahal dibanding radio. Demikian pula dengan SDM yang harus disediakan.
Bagi saya, sebenarnya ASO itu sudah sangat telat. Bukan hanya bagi LP, tetapi juga bagi pemerintah. Lihatlah bagaimana Kominfo RI misalnya, umumkan ASO tahap pertama, malah lewat media sosial. Ini juga tidak sesuai denga rencana awal mereka. ASO tahap pertama malah sasar wilayah yang belum ada siaran televisi swasta.
Anggota Dewan Penasehat Forum TV Lokal (FTV) NTB, Sukri Aruman meminta ASO ditunda karena akan mengorbankan LP lokal dan masyarakat. Menurutnya, investasi infrastruktur LP yang begitu besar akan menjadi barang rongsokan. Bagaimana tanggungjawab pemerintah terhadap hal ini.
Menerima keluhan FTV NTB, Wakil Ketua DPD RI, Letjen (Pur) TNI Dr Nono Sampono akan memanggil Kementerian Kominfo RI terkait suntik mati televisi analog. ‘’Kami tentu akan memanggil dan meminta keterangan dari pemerintah untuk mengevaluasi kembali migrasi tv analog ke digital,’’ katanya seperti dikutip media.
Bagaimana masa depan LP? Kita tunggu saja. Memanafaatkan celah konvergensi media, juga tidak mudah dan apalagi untuk sukses. Saran saya hanya satu: LP lokal berjaringan. Share program dan iklan. Lakukan siaran bersama, dipasarkan bersama. Bagaimana menurut Anda? (*)