MATARAMRADIO.COM, Mataram – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Mataram Prof Dr H Zainal Asikin SH SU ikut angkat bicara menyikapi fenomena kasus pidana yang menjerat Amaq Sinta yang ditetapkan Polres Lombok Tengah sebagai tersangka dalam kasus tewasnya dua pria yang diduga sebagai pelaku begal dan hendak merampas sepeda motor milik tersangka.
Prof Asikin mengungkapkan panjang lebar argumentasi dan pandangan hukumnya serta membuat satu kesimpulan bahwa selayaknya kasus hukum yang menjerat Amaq Sinta agar tidak dilanjutkan dan lebih baik Polisi menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) bila kasus tersebut sudah masuk ranah penyidikan polisi.” Jika Amaq Shinta di dalam fakta fakta hukum terbukti melakukan pembunuhan terhadap begal (korban) karena alasan daya paksaan absolut, relatif dan darurat, maka tindakan Amaq Shinta dapat dimasukan sebagai alasan “ penghapus pidana “, sehingga dianggap tidak melakukan tindak pidana yang dapat diajukan dan dilanjutkan ke tahap penyidikan dan menjadikan Tersangka dalam pembunuhan, Atau jika terlanjur telah dilakukan penyidikan maka padanya patut dan pantas dihentikan perkaranya melalui pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3,”tegas Prof Asikin dalam status terbaru di akun facebook pribadinya.
Diungkapkan, mencermati persoalan hukum yang terjadi di Lombok Tengah, yang ramai diperbindangan di media massa tentang kasus yang menimpa Amak Shinta yang diduga melakukan pembunuhan terhadap begal. Sementara di sisi lain oleh masyarakat “ dianggap sebagai upaya pembelaan diri, sehingga dianggap tidak pantas untuk dilakukan penyidikan dan dijadikan tersangka. Maka Prof Asikin memberikan pandangan hukum dari perspektif kajian teoritis.”Karena saya tidak mengetahui dan tidak memiliki bahan yang cukup secara empiris tentang fakta fakta yang terjadi dalam konteks peristiwa antara “ Amak Shinta versus Korban ( begal),”ulasnya.
Kajian Hukum Pidana Kasus Amaq Sinta
Namun berbekal pemahaman fakta yang terbatas itu, maka Prof Asikin menyampaikan pandangan hukumnya yang dibagi menjadi dua catatan penting.
Pertama, katanya, berdasarkan kajian Pasal 48 KUH Pidana yang berkaitan dengan daya paksa.
Konsep overmacht atau yang sering disebut sebagai daya paksa merupakan konsep yang sudah umum dalam hukum pidana Indonesia. Hal ini tampak pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah mencantumkan hal tersebut di dalamnya. Pada Pasal 48 KUHP, dinyatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. “Dalam Pasal 48 KUHP tersebut diatur mengenai daya paksa yang merujuk pada konsep daya paksa dalam Hukum Pidana. Memorie van Toelichting ( Penjelasan Umum KUH Pidana ), menyatakan bahwa daya paksa merupakan suatu kekuatan, dorongan, ataupun paksaan yang tidak dapat ditahan atau dilawan,”bebernya.
Jika melihat pada rumusan dari Pasal 48 KUHP tersebut, lanjut Prof Asikin, maka dapat dipahami bahwa daya paksa menjadi salah satu alasan dalam hal penghapusan pidana. Akan tetapi, tidak serta-merta daya paksa dapat menjadi alasan penghapus pidana. Hal ini dikarenakan terdapat batasan-batasan yang sekiranya harus dipenuhi agar suatu daya paksa dapat dianggap sebagai alasan penghapus pidana. “Adapun daya paksa yang dapat diterima sebagai alasan penghapus pidana adalah daya paksa yang berasal dari kekuatan yang lebih besar, yaitu kekuasaan yang pada umumnya tidak dapat dilawan,”cetusnya.
Kedua, lanjut Prof Asikin, berkaitan dengan kekuatan yang lebih besar tersebut, maka daya paksa dibagi menjadi tiga bagian yakni paksaan mutlak, paksaan relatif dan paksaan darurat.
Paksaan Mutlak, menurutnya, pada keadaan ini, pelaku tindak pidana tidak dapat berbuat hal lain selain tindakan yang dipaksakan kepadanya. Artinya, pelaku tindak pidana tersebut melakukan sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Prof Asikin menyitir pandangan Andi Hamzah yang menyebutkan daya paksa mutlak atau yang bisa disebut juga sebagai vis absoluta bukanlah daya paksa sesungguhnya. Hal ini tentu masuk akal karena dengan adanya paksaan mutlak, sesungguhnya orang tersebut tidak melakukan tindak pidana. “Oleh karena itu, jika dalam suatu tindak pidana terdapat unsur paksaan mutlak, maka Pasal 48 KUHP ini tidak perlu diterapkan. Contohnya adalah orang yang melakukan tindak pidana, tetapi ia sebagai alat,”sebutnya.
Berikutnya soal paksaan relative, lanjut Prof Asikin,dapat dipahami bahwa seseorang mendapat pengaruh yang tidak mutlak, akan tetapi meskipun orang tersebut dapat melakukan tindakan lain, ia tidak bisa diharapkan untuk melakukan tindakan lain dalam menghadapi keadaan serupa. Artinya, orang tersebut masih memiliki kesempatan untuk memilih tindakan apa yang akan dilakukannya meskipun pilihannya cukup banyak dipengaruhi oleh pemaksa. Oleh karena itu, tampak adanya perbedaan dengan paksaan mutlak. “Pada paksaan mutlak, segala sesuatunya dilakukan oleh orang yang memaksa, sedangkan pada paksaan relatif, perbuatan masih dilakukan oleh orang yang dipaksa berdasarkan pilihan yang ia buat,”tandasnya.
Selanjutnya keadaan darurat, terang Prof Asikin, seringkali disebut juga sebagai Noodtoestand. Keadaan darurat berkembang berdasarkan putusan Hoge Raad pada tanggal 15 Oktober 1923 yang dinamakan sebagai opticien arrest. Berdasarkan putusan tersebut, sebutnya, Hoge Raad membagi keadaan darurat menjadi tiga kemungkinan, yaitu adanya benturan antara dua kepentingan hukum, benturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, serta benturan antara dua kewajiban hukum. Pada dasarnya, jika berbicara mengenai keadaan darurat, maka dapat dipahami bahwa dalam keadaan darurat, suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang terjadi atas pilihan yang ia buat sendiri. “Berdasarkan kajian teoritis ini, maka jika Amaq Shinta di dalam fakta fakta hukum terbukti melakukan pembunuhan terhadap begal (korban,red) karena alasan daya paksaan absolut, relatif dan darurat, maka tindakan Amaq Shinta dapat dimasukan sebagai alasan “ penghapus pidana “, sehingga dianggap tidak melakukan tindak pidana yang dapat diajukan dan dilanjutkan ke tahap penyidkan dan menjadikan Tersangka dalam pembunuhan, Atau jika terlanjur telah dilakukan penyidikan maka padanya patut dan pantas dihentikan perkaranya melalui pemberian SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan,”pungkas Prof Asikin.(EditorMRC)