HALO-HALO

Benda itu milik Departemen Penerangan RI yang dipasang di atas atap mobil keliling. Dari depan, bentuknya mirip corong, tapi tidak bundar. Corong segi empat, agak melengkung di setiap sisinya. Persis di tengahnya ada benda kecil seperti tongkat, sama panjang dengan bibir corong.

Untuk pertama kalinya saya melihat fisik pengeras suara sekitar tahun 1975. Orang-orang menyebutnya halo-halo. Dari bagian belakang corong menjulur kabel, ujungnya terhubung dengan sebuah benda kecil yang bertahun-tahun kemudian baru saya ketahui namanya mik.

Mata saya tak berkedip. Takjub memperhatikan seorang lelaki yang duduk di samping sopir yang tak pernah berhenti bicara. Suaranya lalu dihantarkan pengeras suara yang bisa menembus hingga ujung desa. Benda kecil yang sangat dahsyat.

Para penduduk ramai-ramai keluar dari rumah masing-masing, berdiri di pinggir jalan. Mobil yang membawa peralatan itu berjalan lambat-lambat. Petugas yang terus berbicara itu mengumumkan peringatan hari kemerdekaan. Mengajak warga ramai-ramai datang ke lapangan, untuk menyaksikan berbagai hiburan yang digelar setiap malam hingga sepekan.

BACA JUGA:  Legenda Siti Nurbaya 'Menjual' Pariwisata Kota Tua Padang

Tetapi bukan pengumuman itu yang menarik perhatian hampir seluruh warga. Sama seperti saya yang masih belum sekolah, mereka terpesona suara menggelegar dari benda kecil di atas atap kendaraan.

Sebelumnya, tidak pernah ada terdengar suara sedahsyat itu di desa-desa di Kecamatan Alas, Sumbawa. Bunyi petasan pun — petasan bambu betung yang sering kami bunyikan setiap bulan puasa — kalah hebat.

Suara yang sangat keras itu juga membuat panik hewan-hewan peliharaan. Ayam-ayam berkotek-kotek. Anjing-anjing berlari ketakutan sambil melolong-lolong. Burung-burung merpati milik Pak Sarbini, tetangga saya, mendadak terbang setinggi-tingginya.

Sejak itu, mobil kantor penerangan kecamatan sering mengunjungi desa-desa yang sebagian besar belum beraspal. Berbagai pengumuman disampaikan melalui alat dahsyat itu. Mulai dari imbauan menjaga kesehatan, kebersihan, hingga ajakan nonton misbar atau layar tancap.

Hingga akhir 1970-an, orang-orang hanya menyebut halo-halo. Benda yang hanya dimiliki instansi tersebut, yang paling aktif menyebarluaskan berbagai program pemerintah.

BACA JUGA:  Miq Gite: Penjabat Gubernur NTB yang Doyan Sate Pencok

Baru sekitar lima tahun kemudian, halo-halo menjadi alat yang paling diandalkan para pedagang obat, baik di komplek terminal atau pasar. Hampir bersamaan dengan itu, pengeras suara mulai digunakan di beberapa masjid di kecamatan kami. Sejak itulah halo-halo berubah menjadi kata yang hanya terdiri dari tiga huruf saja: toa. Toa identik dengan pengeras suara. Banyak yang tak tahu, sebutan itu adalah merk produsen perangkat teknologi komunikasi di Kobe, Jepang. Berdiri sejak 1934, jauh sebelum negeri penyembah matahari menjajah Indonesia.

Produk teknologi “Saudara Tua” itu tiba-tiba menjadi penting. Tak lama menjadi tren. Setiap perhelatan mesti dihadirkan. Mulai dari pesta sunatan, pesta adat, hingga kematian. Bahkan pengeras suara yang bukan buatan Jepang pun disebut toa.

Dulu disebut halo-halo, karena orang yang bicara di depan mik sangat sering mengucap halo. Halo-halo tidak terdengar lagi, tapi berganti, “Tes, tes,” atau “Berita panggilan ditujukan kepada….” Hingga akhir 2000-an, “berita panggilan” adalah kalimat yang tak tak pernah absen di setiap perhelatan. Orang-orang seolah tak punya tenaga lagi untuk mencari atau menemui seseorang secara langsung, sehingga mesti memanggil melalui loudspeaker, walaupun untuk sesuatu yang tidak penting. Sebaliknya, mereka yang disebutkan namanya merasa sangat tersanjung dipanggil di depan publik. Betapa peralatan berhasil membangun sebuah citra.

BACA JUGA:  Lha, Keren Dagang Cilok Ne..

Beberapa grup musik yang sebenarnya punya sound system yang memadai untuk bisa terdengar di lokasi hajatan, juga menggunakan corong pengeras suara. Si toa memancarluaskan atraksi hingga melewati batas-batas kampung, batas-batas peradaban.

Ada yang datang, tapi ada juga yang pergi, tak pernah kembali lagi. Kampung kami menjadi semarak, tapi sejak itu saya tak pernah mendengar lagi kicau aneka burung di pohon jambu depan rumah. Entah ke mana mereka pergi. Kicauan yang menentramkan hati. Saya merindukan itu.