Perempuan Sasak Pencipta Perang

Alkisah, sejumlah nama perempuan Sasak disebut-sebut sebagai pencipta perang di masa lampau. Tepatnya ketika Lombok berada dalam kekuasaaan Kerajaan Karang Asem Bali.

Perempuan Sasak tersebut adalah Dende Wiracandra yang menjadi pemicu Perang Congah Praya I di Lombok Tengah. Kemudian Dende Aminah yang memicu Perang Kalijaga Lombok Timur dan Dende Fatimah yang mengobarkan Perang Mambalan di Lombok Barat. Siapakah Perempuan Sasak tersebut sebenarnya? Berikut ulasannya bersama Amaq Bambang Miko.

1. Denda Wiracandra (Congah Praya 1)

Dalam buku Naar Lombok disebutkan Peperangan ini berlangsung sekitar tahun 1855. Keinginan Mataram untuk melamar putri Raden Wiracandra ditolak oleh Praya. Maka untuk menyerang Praya, Mataram menghasut desa desa tetangga seperti Kopang dan Batukliang, Rarang, dan Sakra supaya memusuhi Praya.

Mataram di bawah pimpinan Ratu Gde Wanasara yang didampingi oleh Ida Made Rai dan I Gusti Made Kaler bergerak menuju Praya. Untuk menghindari korban yang terlalu banyak terutama anak-anak dan wanita, maka raja Mataram memerintahkan supaya pasukan Praya ditunggu di perbatasan Praya dengan Batukliang.

Keluarga Besar Dende Wiracandra / foto: Lombok Historical Society

Wilayah Praya dikepung oleh pasukan Batukliang, Kopang, dan Mataram yang diperkuat oleh pasukan dari Batujai, Suradadi, Penujak, Jonggat, Puyung, Rarang, dan Sakra. Hampir satu setengah tahun lamanya perang tidak ber-kesudahan ini terjadi, sehingga Praya mengalami kekurangan logistik yg mengakibatkan bencana kelaparan.

Seperti yang telah disebutkan dalam buku Naar Lombok 1896, bahwa distrik Praya adalah salah satu dari 6 kedistrikan (kepunggawaan), yang selalu menawarkan perlawanan paling besar terhadap arogansi Mataram. Sekarang setelah pemberontakan besar pangeran Praja Raden Wiracandra terbunuh, Raja Mataram ingin memusnahkan seluruh keluarga kerajaan. Oleh karena itu dia menyuruh keluarga ini ditipu dhn cara ditawan ke Mataram, pusat kekuasaan Bali. Namun dalam perjalanan, dua putra Raden Wiracandra yaitu Raden Wira Tunggul dan Raden Nuna Ulung dibunuh atas perintah raja.

BACA JUGA:  Papuk Sri: Wanita Misterius Dalam Congah Praya

Putri Raden Wiracandra dan ibunya yang sedang hamil besar tiba di Mataram. Tak lama kemudian janda pangeran Praja itu (Raden Wiracandra)  melahirkan seorang putra yaitu Raden Nuna Ali, yang kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan dan dari pernikahannya lahirlah seorang putra bernama Lalu Soetawang, dia tidak dapat menyandang gelar Raden seperti leluhurnya karena ibunya bukan berdarah bangsawan.

Menurut Neeb, Denda Wiracandra sendiri kemudian menikah dengan Raden Wiranom dari Pringgabaya, tapi tidak memiliki ketutunan. Lalu sepeninggal Raden Noena Ali, Denda Wiracandra membawa keponakannya Lalu Soetawang ikut bersamanya ke Pringgabaya dan mengurus pendidikannya. Sejak saat itu Praya langsung di bawah kekuasaan Mataram. Dan di Praya diangkat seorang pemimpin yg masih memiliki silsilah dari turunan Banjar Getas bernama Mamiq Sapian.

2. Denda Aminah (Perang Kalijaga)

Raja Mataram A.A. Gde Ngurah Karangasem mengutus Gusti Gde Wanasara untuk melamar Denda Aminah. Tetapi lamaran ini ditolak serta dijelaskan bahwa putri itu sudah bersuami, padahal yang sebenarnya belum bersuarni. Peristiwa penolakan lamaran itu sangat menyakitkan hati raja dan yang menyebabkan pecahnya Perang Kalijaga.

Dea Guru dan Dea Meraja berani menolak lamaran itu karena sebelumnya sudah dijanjikan bantuan oleh Raden Amir dari Mamben dan Raden Kardiyu dari Korleko. Apabila Kalijaga diserang oleh Mataram.

Kisah perang Kalijaga ini sedikit terungkap dalam catatan J.P. Freijss ketika berkunjung ke lombok yg dituangkan dalam bukunya  “Reizen Naar Mangarai En Lombok” in 1854-1856. Menurut Freijss sekitar akhir desember 1854 terjadi kerusuhan di Kalijaga Lombok Timur.

BACA JUGA:  MISTERI WALI AMAT (1)

Raja sendiri yang memimpin pasukannya sekitar 10.000 orang pergi ke Kalijaga. Para pemberontak segera ketakutan dan terpencar. Pemimpin perlawanan (Dea Guru) ditangkap dan dipenggal, putrinya Denda Aminah dibawa ke Mataram,  dua lainnya melarikan diri ke Pulau Sumbawa yaitu Dea Meraja bersama putranya Raden Nuna Darmasih.

Masih menurut Freijss Raja Mataram ingin melakukan pengejaran terhadap kedua orang itu ke Sumbawa. Dia meminta saya untuk menghubungi dan berkonsultasi langsung dengan Raja Sumbawa.  Saya menasihati dia untuk tidak melakukan peperangan  terhadap Sumbawa, karena Sumbawa dan Lombok berada di bawah Oritas Nasional Belanda. Dalam akhir kisahnya mengenai perang Kalijaga ini Freijs menceritakan Raja Mataram mengutusnya ke Sultan Sumbawa menyampaikan surat dari Mataram. Freijs sebelumnya terlebih dahulu diajak oleh Raja menuju pancor, lalu berangkat bersama punggawa dan beberapa pasukan pengawal menuju Labuhan Lombok berlayar ke Sumbawa dengan 17 perahu pada 2 Januari 1855.

Dende Fatimah / foto: Lombok Historical Society

Dalam buku sejarah lokal disebutkan Setelah kawin dengan raja Mataram, Dinda Aminah namanya diganti Dinda Nawangsasih (nawang = tahu, sasih = bulan. Diketahui dari petunjuk mimpi kejatuhan bulan). Beberapa tahun kemudian setelah bekas ibukota Singasari (Karangasem) selesai dibangun (1866), Singasari dirubah namanya menjadi Cakranegara. Di situ dibangun Puri yang lebih besar dan indah daripada Mataram. Raja A.A. Ngurah Gde Karangasem pinda ke Cakranegara. Di Mataram tinggal putra mahkota, A.A. Ketut Karangasem. Semenjak raja kawin dengan Dinda Aminah keadaan negara menjadi aman. Dinda Aminah di samping wanita yang taat kepada agamanya, juga sangat besar pengaruhnya terhadap raja. Orang-orang Islam bebas beribadah menurut ajaran hadist dan Qur’an, tidak lagi secara sembunyi-sembunyi. Dari Perkawinannya dengan Raja Mataram, denda Aminah memiliki seorang putri yaitu Denda Ayu Praba, yang meninggal sewaktu puputan dalam perang lombok 1894.

BACA JUGA:  Ni Made Darmi: Legenda Sang Penari Istana

3. Denda Fatimah Van Mambalan

Dalam buku Encycopidie Van Nederlandsch Indie 1935, disebutkan bahwa di Lombok Barat ada sebuah désa yang disebut Mambalan, tempat tinggal sejumlah keluarga datu, yang menurut keluarga-keluarga tersebut, menurutnya, sebagian memiliki leluhur dari Timur (Selaparang) dan  sebagian lagi dari keluarga datu Lombok Tengah (Pejanggik).

Dijelaskan, kedatuan Mambalan tidak memiliki keraton dan datunya bekerja sebagaimana layaknya masyarakat seperti bertani.Kesederhanaannya, membuat rakyat  Mambalan patuh dan hormat kepadanya. Sehingga, Mambalan menjadi kedatuan yang kuat baik dari sisi ekonomi maupun militernya (daerah yang sulit ditaklukan dengan kekuatan senjata).

Guna mengikat kekerabatan, Anak Agung Ngurah Karang Asem mengambil salah seorang putri Mambalan yakni Dende Fatimah untuk dijadikan istrinya.

Datu Mambalan melihat kekerabatan tersebut bisa mengamankan Kedatuan dari serangan Cakranegara. Maka terjadilah pernikahan Anak Agung Ngurah Karang Asem dengan Dende Fatimah. Dari perkawinannya dengan Raja, Denda Fatimah mendapatkan dua anak yaitu AA Made Jelantik Brayawangsa dan AA ktut Oka (keduanya ikut diasingkan ke Batavia)

Setelah perang Lombok 1894. Denda aminah dan Denda fatimah ikut serta diasingkan ke Batavia. Lalu setelah kematian Raja pada Mei 1895, mereka dipindahkan ke Bengkulu selama 8 tahun dan meninggal disana.