Bagian ketiga dari Buku SEMAKIN ROMANTIS mengisahkan bagaimana suka duka H.M. Juaini Taofik, M.AP — Sekda Lombok Timur meniti karirnya sebagai abdi masyarakat atau Pamong. Suka duka dan pesan kesan mendalam ketika menjadi Lurah, Camat hingga terpilih Sebagai Sekretaris Daerah Lombok Timur. Apa kesannya tentang sosok Pemimpin Daerah Lombok Timur mulai Ali Bin Dahlan hingga H.M.Sukiman Azmy, semua dicurahkan pada bagian ini. Selamat membaca!
Bagian Tiga: Menjadi Pamong
Sebagai pamong alias abdi masyarakat, Opik mempunyai paling banyak kenangan ketika menjadi lurah di Kelayu. Mereka datang ke rumah Opik karena alasan sederhana “Kangen Pak Lurah”. Walaupun sudah menjadi Sekda, Opik tetap dipanggil Pak Lurah oleh warga Kelayu. Hubungan emosional yang kuat “Pak Lurah” Opik dengan masyarakat Kelayu tergambar saat perpisahan. Seolah masyarakat enggan melepaskannya, ketika Opik pamitan untuk promosi tugas. “Hampir semua orang menangis”, kata Ustadz Jumahir, pemuka masyarakat Kebun Erat, Kelayu. Tokoh setempat, Tuan Guru H.Abdul Hamid sampai menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.
Kedamaian warga terusik oleh konflik dua kubu organisasi sosial keagamaan disana. Kala Opik datang, konflik tersebut sedang genting-gentingnya. Setelah mengenal situasi masyarakat disana, Opik berpikir kalau dirinya membangun jembatan akan bisa mengurangi konflik tersebut. Demi memuluskan rencananya, Opik istilahkan makan pun tugas. Opik menghadiri jamuan makan tidak di rumah salah satu tokoh, tetapi di kedua tokoh dari kubu organisasi yang berseteru. Setelah itu masyarakat mengatakan, “Pak Lurah ini netral”. Opik pun mendapatkan trust, kepercayaan. Begitu Opik angkat soal jembatan itu di musyawarah Kelurahan Kelayu Utara waktu itu, forum musyawarah setuju untuk mewujudkannya. Namanya jembatan Kebun Erat. Alhamdulillah betul-betul berjalan sesuai rencana. Dalam waktu setahun lebih, 13 bulan, jembatan rampung. Anggarannya Rp.327 juta lebih. Jembatan itu dibangun tahun 2001, kata Opik “sudah 20 tahun nggak rusak-rusak”.
Uang kelurahan waktu itu hanya Rp, 5 juta. Opik membangun jembatan tersebut bersama masyarakat dengan dukungan pihak terkait di tingkat kabupaten. Untuk gambar dan RAB jembatan, Opik minta tolong ke PU tanpa dibayar. Masyarakat menyiapkan tenaga. Ada juga masyarakat yang punya dam truk, dipakai untuk mengangkut pasir dan batu. Batu misalnya, diambil dari Pringgabaya sehingga lebih murah. Saat peletakan batu pertama, semua pihak diundang oleh Opik termasuk H.Sukiman Azmy waktu itu Komandan Kodim dan Bupatinya H. Syahdan serta Camat Selong saat itu mantan Sekda Rohman Farli. Sejak mulai peletakan batu pertama jembatan, mereka dari kedua kubu organisasi mulai bertegur sapa. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Masyarakat Kelayu itu terkenal kuat semangat gotong royongnya tapi hanya sebatas dalam membangun masjid dan musala. Opik berhasil mentransformasikan semangat gotong royong itu untuk membangun fasilitas umum. Selain membangun jembatan, Opik juga berhasil mendorong masyarakat merehab satu jembatan, membangun kantor lurah serta menembok keliling kuburan setempat.
Waktu menjadi Camat Jerowaru, ada satu organisasi Pamswakarsa yang disegani banyak orang. “Saya hadapi”, kata Opik. Kala itu ada masyarakat yang ingin masuk Hutan (Gawah) Sekaroh. Mereka minta lahan disitu disertifikat. Sebelumnya mereka sudah menggelar demo. Untuk menghentikan mereka, Opik masuk hutan itu. Opik pun diserang dan dikejar dengan parang. Semuanya lari. Polhutnya lari meskipun membawa senjata. Dia pun bertekad diam. “Untuk apa lari”, pikirnya. Opik lantas menghadapi sekitar 150 orang masyarakat. Mereka bersenjatakan tombak dan parang. Opik mengajak mereka berkomunikasi, bicara baik-baik. Setelah itu, kata Opik, “mereka menunduk semua”. Orang-orang itu akhirnya kalah dengan sendirinya. Mereka minta maaf bahkan mengundang Opik Jumatan ke tempatnya.
Di masa Bupati Ali BD, Opik ditarik dari kabag umum menjadi kabag pemerintahan. Ketika Opik jadi kabag pemerintahan adalah masa paling banyak pemda membebaskan lahan untuk jalan. Hal itu bisa dilihat dari Rumbuk ke Pancor. Itu dua jalur. Dari Polsek Selong ke Batu Beleq ke arah Keruak. Itu juga di era Opik. Di Lodeq Sorgang, bahkan seribu orang yang terkena dampak. Namun kisah pembebasannya berlangsung lancar dan sukses. Kenapa bisa?.Katanya karena ada modal pengalaman dan pengetahuan waktu menjadi lurah dan camat. “Itu yang saya pakai”,ujar Opik. Ketika Opik yang tengah diseleksi menjadi sekda, pansel sekda, Dr. Rosyiadi bertanya kepada Opik mengenai kelebihan dan kekurangan Pak Ali dan Pak Sukiman. Opik menjelaskan Pak Ali manager yang baik. Efisien gaya pemerintahannya. Kalau pak Sukiman ini memang pemimpin yang baik hati. “Istilah saya”, papar Opik. Pak Sukiman ini pemimpin yang baik. Pak Ali itu manager yang baik. Semua pejabat di era Pak H.M.Sukiman Azmy diturunkan atau dinonjobkan. “Hanya saya yang tidak”, kata Opik. Rahasianya, kata Opik adalah loyalitas. Opik mengaku walaupun dirinya tidak memilih Pak Ali tapi hati kecilnya Opik berkata “Sekarang Pak Ali yang menjadi bupati, saya harus menunjukkan loyalitas yang sama kepada beliau sebagaimana loyalitas saya kepada Pak Sukiman. Jabatan itu maksud saya”.
Jika ditanya siapa yang menjadi role model (idola) pertamanya di kalangan birokrat. Jawabnya:Muhammad Amin. Kisahnya bermula saat dapat tugas di Dinas PMD Lombok Timur, menjadi ajudan Kadis PMD. Namanya Muhammad Amin. Dia tamat Pendidikan Guru Agama (PGA) tapi bisa menjadi kepala dinas. Saking pengalamannya. Menurut Opik dia pribadi yang luar biasa. Salah satu kelebihannya adalah kalau menjelaskan sesuatu itu sangat lengkap. “Beliau role model saya yang pertama”, ujar Opik.
Penggalan cerita diatas merupakan sinopsis bagian ketiga dari buku “Semakin Romantis”. Seperti halnya pada bagian pertama dan bagian kedua buku ini, pada bagian ketiga ini jua penulis buku ini begitu piawai merangkai gaya bahasa, bahasanya mengalir, renyah, enak dibaca dan sangat mengasyikkan. Bagian tiga ini memberikan sejumlah pembelajaran, Opik berhasil membangkitkan modal sosial masyarakat Kelayu dan mentransformasikannya sebagai energi integratif penggerak masyarakat untuk bergotong-royong dalam membangun fasilitas umum berdasarkan apa yang masyarakat miliki. Dan modal sosial inilah yang kini perlu dibangkitkan kembali sejalan dengan merosotnya modal sosial di Amerika (Robert Putnam, 2000) termasuk di Indonesia (Hasbullah J., 2006). Dalam pelaksanaan otonomi daerah diperlukan good governance (UNESCAP, 2017). Yang dimiliki Opik tidak hanya kemampuan komunikasi, melainkan juga kolaborasi yang sangat diperlukan dalam mewujudkan pelaksanaan good governance di era otonomi daerah sekarang ini. Dalam konteks administrasi publik sebagaimana dikemukakan Janet V. Denhardt & Robert B. Denhardt (2007) dalam karyanya The New Public Service, maka pernyataan Opik mengenai Pak Sukiman sebagai pemimpin yang baik hati dimaknai sebagai pemimpin yang melayani masyarakat semaksimal mungkin dengan sepenuh hati.
Seperti kata pepatah “tiada gading yang tak retak”. Begitu pula bagian tiga buku ini. Ada istilah pada bagian tiga buku ini seperti PU, RAB, LSM, dan lain-lain. Boleh jadi ada pembaca yang belum memahami arti istilah tersebut. Karena dalam buku ini istilah tersebut tidak diberikan penjelasan dalam bentuk daftar istilah ataupun cacatan kaki. Keasyikan kita membaca buku ini terganggu oleh sejumlah kata yang salah ketik pada halaman 79 seperti H.Soekiman Azmi seharusnya H.M.Sukiman Azmy dan H.Syahdan Ilyas seharusnya H.Syahdan.
Buku ini dapat diperoleh dengan menghubungi Penerbit Segi 8 di Jl. Bung Karno No.3 Mataram NTB email:penerbitsegi8@gmail.com.