MATARAMRADIO.COM, Mataram – Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran bukan saja direvisi tetapi harus ditulis ulang.
Demikian pernyataan tegas Dr Agus Purbathin Hadi, Pakar Komunikasi Universitas Mataram yang didaulat sebagai pembicara pertama dalam diskusi terbatas Ngopi dan Ngobrol Hangat KPID dan Masa Depan Penyiaran NTB yang digelar Komunitas Tenda Siar NTB bekerjasama dengan Kanal TV Streaming JamaqJamaqTV dan Radio Online Mataram Radio City di Angkringan Leha-Leha Sayang-Sayang Mataram, Sabtu (10/7).
Menurut Doktor Agus, UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang berusia hampir 20 tahun sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan teknologi informasi dan penyiaran era kekinian. Tidak mengherankan sejumlah kalangan mempersoalkannya bahkan pernah dilakukan upaya peninjauan ulang atau yudicial review salah satu pasal dalam Undang-Undang Penyiaran yang dinilai merugikan lembaga penyiaran TV swasta.” Seperti RCTI dan INewsTV pernah mengajukkan ke Mahkamah konstitusi revisi salah satu Pasal UU Penyiaran yang dinilai merugikan mereka terkait adanya layanan over the top. Khususnya mereka menyinggung Neflix, Youtube dan Video on Demand lainnya. Tetapi itu akan berimplikasi banyak hal,”ulas Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Mataram ini.
Disebutkan, media baru atau media siaran berbasis internet seperti Nefllix, Youtube dan sejenisnya memang belum ada aturan yang mengatur secara keseluruhan. “Baru ada Undang-Undang ITE (Informasi Transaksi Elektronik,red) yang lebih kepada kontennya yang dinilai menyinggung atau meresahkan, Tetapi secara keseluruhan, belum ada aturan yang mengatur penyiaran berbasis internet ini,”paparnya.
Alumni Pendidikan Doktoral IPB Bogor ini juga menyinggung eksistensi KPI dan KPID yang dinilai gamang melaksanakan tugas. Namun demikian lembaga ini masih layak dipertahankan. Hanya saja diperbaiki dan ditingkatkan kewenangan, tugas pokok dan fungsinya.
Menurutnya, KPI dan KPID sampai sekarang ini belum maksimal menjalankan tugas pokok dan fungsinya.“Ya kadang kala seperti pengawasan siaran TV, seperti ada kegamangan apa yang harus diawasi. Kadang-kadang saking ekstrimnya, gambar kartun pun harus diblur, karena takut dituduh pornografi,”ungkapnya.
Doktor Agus mengulas bagaimana penggunaan frekuensi publik diluar kepentingan publik seperti siaran langsung para selebriti atau tokoh tertentu dari acara prosesi menikah hingga melahirkan.”Untung saja tidak ada siaran langsung malam pertama. Itu juga melukai hati publik. Karena frekuensi ini bukan milik personal,”tandasnya.
Dan satu hal terkait dengan KPID, sebut Doktor Agus, hampir 20 tahun, desentralisasi penyiaran juga belum terwujud sampai sekarang. Kewajiban bersiaran dengan 10 persen konten lokal sampai sekarang belum dipenuhi oleh TV swasta berjaringan. Meskipun semua stasiun membangun stasiun lokal tetapi belum terpenuhi.”Sehingga ini juga PR yang belum terselesaikan termasuk menyampaikan himbauan dan larangan tidak bisa memberikan paksaan kepada media ini sehingga menimbulkan kritik publik yang muncul ke KPI dan KPID,”ulasnya.
Dalam pengamatannya, persoalan lain yang juga tidak kalah penting adalah masalah digitalisasi penyiaran yang sudah dilaksanakan mulai dari daerah perbatasan, dan NTB mulai tahun 2021 juga harus beralih dari analog ke digital Televisi.
Hanya saja dia tidak melihat ada masalah pada tingkat konsumen atau masyarakat, tetapi hal ini akan berakibat serius pada kesiapan pengusaha TV lokal. “Mungkin persoalan bisa diatasi dengan memberikan decoder kepada masyarakat di daerah. Yang menjadi kekhawatiran saya TV daerah akan kewalahan dengan TV digital karena mereka bisa jadi tidak mampu menyewa kanal yang disediakan pengelola MUX. Boleh dikatakan digitalisasi ini tidak bisa berpihak pada TV lokal,”ungkapnya khawatir dan memberi analogi mengelola TV lokal itu hanya bisa dilakukan oleh orang gila karena mereka memahami pendapatan yang diperoleh tidak terlalu banyak.
Sentil Seleksi KPID NTB
Di sisi lain, Doktor Agus juga menyinggung proses Seleksi Calon Anggota KPID NTB periode mendatang.
Dalam pengamatannya, Seleksi KPID NTB kali ini tidak semulus pada periode sebelumnya. Bahkan berpolemik di tingkat DPRD.”Harapan saya karena ini lembaga publik, tentu saja proses seleksi agar dilaksanakan secara adil, transparan dan memunculkan orang yang kompeten,”sebutnya.
Namun demikian ia memberikan kritik terkait keberadaan lembaga-lembaga publik di NTB, entah KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) maupun KIPD (Komisi Informasi Publik Daerah).” Kalau orang Jakarta bilang Loe Lagi Loe Lagi. Jadi yang berkompetisi, itu itu saja orangnya,”sentil Akademisi Kelahiran Lombok Timur, 54 tahun silam.
Dia memperhatikan 21 besar yang akan mengikuti Uji Kelayakan dan Kepatutan Seleksi KPID NTB hampir sebagian besar wajah-wajah lama, yang sudah pernah di lembaga-lembaga sebelumnya. Sehingga upaya meningkatkan kualitas dan kompetensi para komisioner harus terus ditingkatkan.”Kita berharap seleksi ini menghasilkan komisioner yang terbaik, yang inovatif dan berpihak pada lembaga penyiaran lokal kita,”harapnya.
Baginya, tentulah penting menegaskan bahwa mereka komisioner baru terpilih adalah komisioner kredibel dan kompeten karena tantangan KPID ke depan lebih berat. Perlu banyak dilakukan perbaikan, bagaimana mereka juga bisa kontribusi dalam perbaikan dan penyusunan ulang UU penyiaran.”Saya bukan yang termasuk bagian yang ingin membubarkan KPI hanya kita ingin ditingkatkan kewenangan dan tupoksinya,’demikian Doktor Agus. (EditorMRC)