“When the elderly die a library is lost and volumes of wisdom and knowledge are gone.”
Ingatan saya akan ibu Ni Marde Darmi tersibak kembali setelah membaca komentar pak David Harnish di halaman LHS. Ada sebongkah rasa malu terlintas. Bagaimana pak David Harnish yang berada jauh di Amerika Serikat begitu menghargai sang maestro tari ini, sementara kita yang berada di sekitarnya tak cukup memberi apresiasi.
Rasa malu inilah yang mendorong saya untuk segera mengunjungi Ibu Darmi. Berbekal rasa masygul akan kesehatan serta usia sang maestro, akhirnya saya tiba juga di rumah beliau, sebuah bangunan tua yang nyaman dan asri di Cakranegara.
Oleh: Aini Ahmad
Belum terlambat. Walaupun di usia yang sudah sepuh ini ingatannya kadang datang dan pergi, namun setidaknya saya masih dapat mendengarkan penuturan beliau.
Halaman rumahnya luas, demikian pula dengan teras rumahnya. Sementara Sanggar Tari Wijaya Kusuma yang didirikannya berada di sisi yang lain. Di teras rumah yang lapang itulah kami berbincang.
Ni Made Darmi lahir di Desa Tonja, Denpasar, pada 31 Desember 1938. Sejak usia sepuluh tahun ia sudah menekuni dunia tari karena dibimbing langsung oleh Mpu tari Bali, I Nyoman Kaler, yang kebetulan juga tinggal di Desa Tonja.
I Nyoman Kaler adalah sebuah nama yang melambung tinggi dan tumbuh menjadi semacam mitos di dunia seni tari dan tabuh. Berbagai kreasi yang diciptakannya mengharumkan nama Bali di seluruh penjuru dunia. Di tangan sang begawan tari inilah Ni Made Darmi ditempa.
Dengan segala keterampilan yang dimiliki, tak heran Ni Made Darmi jadi salah satu murid kesayangan sang begawan. Dua buah ‘bebancihan’ (wanita berpakaian pria) terkenal karya I Nyoman Kaler, yaitu Panji Semirang dan Margapati, selalu diperankan oleh Ni Made Darmi.
Wanita berparas ayu ini memang bukan sekedar penari biasa. Di masa remaja, namanya yang sudah terkenal semakin menjulang tinggi di jagat seni ketika ia sering dipanggil untuk menari di Istana Presiden. Bersama dengan rekan-rekannya seperti Ibu Jero Made Puspawati, Ni Made Darmi dikenal sebagai penari Istana.
Setiap kunjungan Presiden Soekarno ke Bali, ia pasti hadir menari di Istana Tampak Siring dan sejumlah tempat di mana Presiden melakukan kunjungan. Selain itu juga beliau kerap dipanggil ke Istana Negara di Jakarta dan Istana Bogor untuk menjamu tamu negara dengan pentas seni.
Tak sampai disitu, Ni Made Darmi juga ditugasi menjalankan diplomasi kebudayaan. Beberapa kali ia dikirim ke luar negeri sebagai duta seni. Yang masih diingat beliau adalah Amerika Serikat, Colombo (Sri Lanka), Pakistan, dan RRT atau China.
Sosok Ni Made Darmi yang ayu, bersahaja namun mumpuni membuat Bung Karno menyukainya. Dalam perbincangan kami, berulang kali Ni Made Darmi menyatakan bahwa ia sangat disayang oleh Bung Karno. Tak hanya Bung Karno, menurut penuturannya Ibu Hartini (Istri Bung Karno) juga sangat menyayanginya. Bahkan beliau masih ingat diberi satu setel pakaian dan diajarkan berdandan serta cara merawat diri yang baik.
Bung Karno dan Ibu Hartini sudah dianggap sebagai orang tua sendiri. Bahkan beberapa sumber lain menyatakan bahwa Ni Made Darmi sempat akan dijadikan anak angkat oleh Bung Karno dan ditawari sekolah ke jenjang yang paling tinggi. Namun harapan tersebut sirna karena kedua orang tua Made Darmi di Bali menolaknya.
Pindah ke Lombok
Banyak cara memang untuk mempertemukan seseorang dengan jodohnya, termasuk dengan Ni Made Darmi. Berawal dari sebuah kegiatan sosial yang menampilkan pen
Gayung pun bersambut. Sari-sari asmara di antara mereka berdua mulai tumbuh merekah. Sang dara puspita pada akhirnya disunting oleh pemujanya pada 21 April 1958.
Bahtera pernikahan membawa sang maestro tari ini berlabuh di Lombok, di Cakranegara tepatnya, tempat suaminya berasal. Tahun 1958 itu juga bersama suaminya, Ni Made Darmi mendirikan Sanggar Wijaya Kusuma di Cakranegara yang hingga saat ini masih tetap hadir sebagai sentral pelestarian dan pengembangan kesenian tari. Sanggar ini merupakan Sanggar Tari pertama di Lombok, bahkan mungkin di NTB.
Melalui sanggar inilah beliau melahirkan sejumlah nama besar lainnya. Salah satunya adalah NLN Suasthi Widjaja Bandem.
Menurut David Harnish dalam ‘Defining Ethnicity, (Re)Constructing Culture: Processes of Musical Adaptation and Innovation among The Balinese of Lombok’, kepindahan Ni Made Darmi ke Lombok menjadi tonggak besar dalam sejarah seni pertunjukan. Kolaborasinya dengan seniman tari dan tabuh lokal, Ida Wayan Pasha, memang memberi warna dan merubah banyak hal.
Kemahiran serta kreativitas dalam seni tari ini membawa Ni Made Darmi ke berbagai panggung internasional. Sementara prestasi dan dedikasinya membuat namanya di kenal oleh para peneliti seni tari dan tabuhan kelas dunia di jagat raya ini.
Nama Ni Made Darmi dengan mudah kita temukan dalam buku-buku karya peneliti kelas dunia. Sebut saja buku ‘Balinese Discourses on Music and Modernization: Village Voices and Urban Views’ karya Brita Heimarck Renee, atau ‘Bridges to the Ancestors: Music, Myth, and Cultural Politics at an Indonesian Festival’ karya David D. Harnish.
Sayang ketika kunjungan Presiden Soekarno ke Lombok pada tahun 1950, Ni Made Darmi baru berusia 12 tahun. Jika telah tumbuh remaja, tentu ia yang akan diminta menari saat digelarnya pertunjukan sendratari oleh komunitas masyarakat Bali yang ada di Lombok Barat pada malam kedua kunjungan Bung Karno ke Lombok pada saat itu.
Satu hal yang tidak diketahui orang dan Ibu Darmi pun sudah tak mampu lagi mengingatnya, beliau pernah menjadi bintang film. Setidaknya hal ini diberitakan oleh koran Hindia Belanda seperti De nieuwsgier edisi 29-11-1955, Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode edisi 30-11-1955 dan De locomotief: Samarangsch handels blad edisi 30-11-1955.
Ketiga koran tersebut menulis berita yang sama. Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode menulis judul Balinese Filmster atau Bintang Film Bali. Isinya, “Penari Bali ternama, baik di dalam maupun di luar negeri, Ni Made Darmi, akan diminta untuk menjadi pemeran utama dalam film yang merupakan adaptasi dari buku terkenal karya Anak Agung Pandji Tisna yang berjudul ‘Soekreni Gadis Bali’. Berbagai persiapan untuk pembuatan film ini telah dikerjakan.”
Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan dari pembuatan film tersebut. Ibu Made Darmi pun tak sanggup mengingatnya kembali. Jadi atau tidak dilanjutkannya pembuatan film tersebut, setidaknya beliau telah berhasil menarik perhatian insan perfilman untuk menjadikannya sebagai pemeran utama.
Kini usia ibu Ni Made Darmi sudah meredup memang. Namun semangatnya tetap berpijar ketika berbicara mengenai seni tari dan hasratnya untuk melestarikan kesenian tari tradisional ini.
Setelah lama berbincang saya pun menuntun kembali Ibu Darmi ke peraduannya. Namun begitu saya katakan ingin pamit pulang, beliau langsung bangkit kembali, ingin mengantarkan saya hingga ke pintu. Hal ini menunjukkan bahwa Ni Made Darmi adalah sosok wanita berkelas yang kaya ‘etiquette’ atau etiket ketika berinteraksi dengan orang lain.
Tak hanya itu, dari cara duduknya yang begitu anggun saja telah menunjukkan kelas dari beliau. Pendeknya, dari diri beliau banyak nilai-nilai yang dapat kita petik. Dari etik, etika, etiket hingga etos sebagai seorang seniman.
Sang maestro kini menjalani sisa hidupnya dalam keheningan. Suami yang dicintainya sekaligus juga mitra dalam berkreasi telah lama berpulang dan pernikahannya tidak menghasilkan keturunan.
Nampaknya, Sanggar Wijaya Kusuma menjadi anak tunggal dari mahligai rumah tangganya. Pada sanggar inilah beliau menumpahkan kasih sayang sekaligus harapannya. Torehan prestasi serta kreasinya menjadi warisan bagi kita semua, sebuah legasi yang tak akan lekang oleh waktu dan tercatat oleh sejarah.
Beliau layak mendapat penghormatan dari kita semua sebagai seorang guru, seorang maestro seni tari. Bagi Lombok, dengan kehadiran Sanggarnya yang tetap eksis hingga hari ini, beliau adalah seorang pionir yang layak mendapat bintang.
Kita sudah banyak kehilangan perspustakaan serta punahnya pengetahuan dan kearifan karena berpulangnya para pini sepuh yang tak sempat terekam kehidupannya. Saatnya pemerintah memberi perhatian lebih, tak cukup hanya seremonial penghargaan saja, dan melakukan sesuatu agar legasi sang maestro dapat menjadi mercusuar bagi generasi mendatang. (***)
Tulisan Ian Ahmad ini juga dimuat pada jejaring komunitas halaman pecinta (fanpage) Lombok Heritage Society pada jejaring sosial Facebook.